Setelah pertemuan kemarin, Reja tiba-tiba berubah. Seperti siang ini, Reja tiba-tiba mengajak eva bertemu. “Ada apa Abang tiba-tiba ngajak ketemu?” tanya Eva menghempaskan duduknya di depan Reja.
Tatapan Reja sangat berbeda kali ini dari terakhir mereka bertemu. “Abang ingin mengakhiri hubungan kita.” Kening Eva bertaut.
“Kenapa tiba-tiba? Apa karena Dewi?”
“Tidak ada hubungannya sama Dewi. Abang menyadari jika hubungan ini terlalu tergesa-gesa.” Eva bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan Reja tanpa jawaban.
Eva benci dicampakkan apalagi oleh laki-laki yang masih berkaitan dengan Dewi. Di saat yang sama, Dewi sedang berbicara dengan kekasih hatinya melalui sambungan telepon di kos Ayi. Dewi bercerita tentang sidang dadakan hingga tawaran beasiswa dari kampus. Tanpa Dewi ketahui, rasa percaya diri Fiqi semakin jatuh mendengar semua yang dirinya katakan.
“Dia bicara sama siapa?” tanya Eva yang baru tiba.
“Siapa lagi, Akhi!”
“Masih jadian? Kemarin bilangnya mau istirahat sejenak.” Sindir Eva.
“Biarin aja lah!”
Setelah puas bicara dengan Fiqi, Dewi keluar dari kamar Ayi. “Balikan?” tanya Eva singkat yang disambut senyum sumringah Dewi.
“Ya gitu deh! Kamu dari mana? Janjian sama Bang Reja?”
“Hem,”
“Kenapa mukamu seperti kulit ayah terbakar? Kalian berantem?” Dewi sengaja memancing Eva.
“Kami putus!” Ayi dan Rani bangkit dari tidurnya.
“Kenapa?” tanya mereka serentak.
“Ya gak cocok lagi. Buat apa dipertahankan. Lagian dari awal, aku juga tidak terlalu suka sama dia.”
“Terus kenapa jadian?”
“Penasaran rasanya pacaran sama senior apalagi Bang Reja itu banyak digilai sama adek-adek leting seperti kita.” Jawab Eva jumawa.
“Cuma karena itu? Wah, sahabat kita ini ternyata playgirl sejati.” Sahut Dewi lantang. Eva tersenyum kecil. ia tidak marah karena sejujurnya ia bangga dengan predikat itu. Toh, pada kenyataannya dia memang playgirl. Pacaran dengan Fadil dan Reja di waktu yang sama.
“Gimana dengan Beasiswamu, jadi?” tanya Eva penasaran. Dalam hatinya, Eva kesal dan iri karena Dewi yang mendapatkan beasiswa itu bukan dirinya. Padahal dari segi kepintaran, ia dan Dewi hampir sebanding.
“Jadi tapi aku tanya ke orang tua dulu.”
“Kamu belum bicara dengan orang tuamu?” Dewi menggeleng.
“Rencana malam ini.”
Malam harinya di kediaman Dewi, Dewi sudah duduk di ruang TV bersama ayah dan ibunya setelah makan malam. Dewi melihat kondisi dan situasi memungkinkan untuknya bicara, “Ayah, Ibu, aku dapat beasiswa dari kampus!” orang tua Dewi menatap lekat wajah sang putri. Tidak ada raut wajah terkejut atau senang dengan berita yang dia sampaikan.
“Selesaikan saja S1 mu lalu menikah. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya di dapur juga.”
Jleb…
Dewi panik, bukan ini yang dia harapkan. Di masa lalu yang sudah pernah ia lewati dulu. Dewi tidak mengalami hal ini karena dulu otaknya pas-pasan. Jangankan beasiswa, nilai IPK dapat B saja sudah sangat aman untuknya. Tapi masa lalu yang kedua ini berbeda, dia memiliki prestasi dan cerdas berkat pengetahuan di masa lampau sesi pertama.
Di sesi kedua ini, Dewi harus berjuang untuk mendapatkan keinginannya selain menikah dengan Fiqi. “Ayah, tidak semua mahasiswa dapat tawaran beasiswa. Banyak kok mahasiswa S2 yang sudah menikah bahkan punya anak.” Protes Dewi.
“Karena kamu membahas sekarang maka Ayah dan Ibu juga harus membahasnya. Sebenarnya kami sudah menemukan calon suami yang tepat untukmu. Dia saudara jauh kita. Hidupnya sudah mapan secara ekonomi. Jadi, kamu tidak perlu memikirkan lagi tentang pendidikan. Cukup selesaikan S1 dan setelah itu menikah dengan calon yang kami pilihkan itu. Dia akan mencukupi semua kebutuhanmu tanpa perlu bekerja lagi.” ujar sang Ayah.
“Ayah, aku tidak mau seperti itu. Aku juga punya cita-cita. Aku ingin jadi dosen dan hidup mandiri serta punya penghasilan sendiri.”
“Penghasilan suami juga penghasilan istri. Begitu kamu menikah dengan orang yang ekonominya sudah mapan maka kamu tidak perlu lagi memikirkan uang.”
“Ayah, aku tetap ingin melanjutkan S2ku dan menjadi dosen setelah itu!” Dewi bangkit dari duduknya lalu pergi ke kamar. Dia tidak mau berdebat panjang lebar dengan orang tuanya karena Dewi sadar, sekuat apa pun dia melawan, dia tetap kalah seperti sebelumnya.
“Ini baru soal beasiswa, bagaimana kalau aku menambahkan Bang Fiqi di dalamnya? Tambah tidak setuju tuh si Ayah!” gerutu Dewi di kamarnya.
Ting…
“Bagaimana? Ayah dan Ibu setuju?” Dewi mengerutkan kening.
“Tumben dia kepo begini?” guman Dewi menatap pasan dari Eva.
Tiba-tiba Dewi menjadi penasaran dengan sikap Eva tapi ia tetap memendam rasa tersebut sambil memikirkan langkah selanjutnya.
Hari-hari berlalu, tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dewi mengurus segala sesuatu untuk keperluan beasiswanya. Ia juga menjadi lebih sibuk karena harus loncat semester untuk mempercepat kelulusannya. Ia mengambil SKS semester depan di awal sehingga jadwal berkumpul dengan sahabatnya semakin berkurang.
Kecerdasan Dewi tidak berkurang walaupun ia berada di ruang para senior semester atas. Saat ini, Dewi sedang mengikuti kelas bersama para senior termasuk Bang Reja di dalamnya. Keaktifan Dewi dalam menjawab pertanyaan serta diskusi serta berbagai pertanyaan yang ia lontarkan kepada dosen mata kuliah membuat para senior terkagum-kagum.
“Nyesal di akhir tiada guna.” Bisik Iskandar pada Reja yang sedari tadi mencuri-curi pandang terhada Dewi.
“Kamu mahasiswa loncat semester itu ya?” tanya Pak Kaifan.
“Iya, Pak.”
“Saya dengar kamu pintar, bisa jawab soal ini? Kalau kamu bisa, maka kuliah dengan saya cukup sampai di sini dan kita bertemu di kuis dan ujian akhir."
Semua mulut para senior menganga. Pak Kaifan ini termasuk dosen paling profesional dalam hal memberi nilai. Dewi berjalan ke depan lalu mengambil selembar kertas HVS berisi soal dari Pak Kaifan.
“Iskandar, bawakan satu bangku ke depan!”
Dewi duduk di sana lalu mengerjakan soal sambil mengingat-ingat jawabannya di masa lalu. Ini bukan soal bahasa inggris melainkan statistik. Pak Kaifan adalah dosen mata kuliah statistik yang terkenal kritis dan pelit soal nilai. Suasana kelas mendadak tenang begitu Dewi mengerjakan soal-soal tersebut.
Satu jam setengah waktu yang diperlukan Dewi untuk menyelesaikan soal-soal statistik yang diberikan Pak Kaifan.
“Kembali ke tempat sementara saya akan langsung memeriksa jawaban kamu!”
“Baik, Pak.”
Seisi kelas menunggu dengan rasa penasaran akan hasil tes dari Dewi. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk Pak Kaifan memeriksa jawabannya.
“Apa kamu menyukai matematika?” tanya Pak Kaifan pada Dewi.
“Iya, Pak.”
“Kenapa tidak mengabil jurusan matematika atau akutansi saja?”
“Saya juga suka bahasa inggris, Pak.”
Pak Kaifan menganggukkan kepala, “Baiklah! Sesuai yang sudah saya katakan. Setelah ini kamu tidak perlu lagi masuk kelas. Kamu hanya perlu mengikuti kuis dan ujian akhir itupun sebenarnya tidak diperlukan lagi karena soal yang saya berikan tadi adalah soal untuk mengikuti tes S2.”
“APAAAAA???”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments