“Assalamualaikum, Bang. Maaf ganggu! Saya mau tanya Abang punya café favorit tidak di Kota Paru?”
“Walaikumsalam, ada sih! Nama cafenya ‘ReTweet’ tahu gak?” balas Fadil tanpa tahu kalau Dewi sedang menggali sebuah informasi tersembunyi.
“Tahu banget, Bang. Itu kan langganan anak-anak Paru. Tapi Saya jarang ke sana. Ya udah, nanti kita ketemunya di sana saja, bagaimana?”
“Boleh juga tapi jam-jam 10 ya! Karena Abang ada janji sama orang setelah itu.”
“Okay! Jam 10, saya sudah teng di sana.”
“Okey! Sampai ketemu!”
Dewi tersenyum penuh kemenangan saat balasan pesannya membuahkah hasil. Kini dia tidak perlu bertanya-tanya di mana mereka akan bertemu. Malam ini, Dewi tidur begitu nyenyak karena besok dia akan bertarung kembali dengan kenyataan pahit di masa lalu.
Di rumah yang lain…
Eva sedang berbicara dengan Fadil melalui sambungan telepon. “Kita ketemu jam 1 kerena Abang ada perlu dengan orang sebelum itu. Nanti kalau selesai lebih cepat, Abang akan langsung jemput kamu ya!”
“Memangnya Abang ketemu sama siapa?”
“Peserta seminar. Dia minta bantu bimbingan dari Abang.”
“Cewe apa cowo?”
“Kenapa? Cemburu?”
“Tidak sih! Cuma tanya aja.”
“Gak apa-apa juga kamu cemburu. Abang suka! Kapan kamu kenalin Abang sama sahabat F4 mu?”
“Kapan-kapan deh!”
“Kenapa? Takut Abang naksir salah satu dari mereka?”
“Naksir saja! Mereka jauh lebih cantik dari aku.”
“Tapi kamu yang paling cantik.”
“Itu karena Abang belum bertemu mereka. Aku yakin Abang akan menarik kalimat tadi kalau sudah bertemu mereka.”
“Hei, kenapa arahnya jadi ke perdebatan begini. Sudah, kita bahas yang lain saja! Abang sukanya hanya sama kamu.”
“Oh ya? Tapi aku gak merasa Abang menyukai aku?”
“Kenapa? Karena Abang tidak ngungkapin cinta? Kamu masih ingin mendengar kata cinta dari Abang dari pada semua yang Abang berikan?”
“Tau ah, gelap!”
“Dek, jangan begini! Abang kan sudah bilang, cinta Abang cukup kamu rasakan dari perhatian dan kasih sayang bukan sekedar kata-kata semata. Buat apa kata cinta tapi perhatian dan kasih sayang tidak kamu dapatkan?”
“Bang, sudah malam. Kita tidur yok! Besok lanjut lagi!”
“Nah, ngambek kan?”
“Gak ngambek, Bang.”
“Terus? Abang kangen!”
“Besokkan ketemu!”
“Tapi malam ini juga kangen!” Akhirnya malam itu mereka kembali memperpanjang pembicaraan sampai tengah malam.
Keesokan harinya…
“Baterai penuh! Bensil penuh, dompet kurang penuh!” gumam Dewi saat hendak menyalakan motornya. Ia akan berangkat ke café ReTweet untuk menemui Fadil di sana. Lima menit Dewi sampai di sana, Fadil juga sudah tiba.
“Assalamualaikum, “Sini, Bang!” ucap Dewi seraya melambaikan tangan sembil memegang ponsel.
Fadil tersenyum kemudian datang menghampiri Dewi yang sudah berdandan semaksimal mungkin supaya tidak membuat Fadil malu karena menurut yang Dewi dengar, café ReTweet merupakan café tempat berkumpul para pemuda yang sedang pacaran.
“Maaf ya, Abang telat!” ucap Fadil seraya mengulur tangannya.
“Bukan Abang yang telat melainkan saya yang terlalu cepat saking semangatnya buat ketemu Abang.” Ucap Dewi dengan pujian yang tidak kalah membuat ego Fadil membungbung ke langit tinggi.
“Bisa saja, kamu! Sudah pesan?”
“Sudah tapi belum siap!” Fadil mengangkat tangannya memanggil pelayan. Setelah memesan, Fadil kembali fokus pada Dewi.
“Jadi inilah Abang! Tidak ada yang istimewa kan?” tanya Fadil.
“Yang istimewa itu selalu tersembunyi, Bang. Abang sih biasa-biasa saja tapi isi otak Abang yang luar biasa!”
Deg…
Fadil menatap Dewi dengan perasaan yang sulit dijabarkan. “Kamu pandai memuji juga!”
Dewi menggeleng, “Itu bukan pujian tapi cobaan buat Abang supaya tetap mempertahankan semua pengetahuan dengan baik dan berbagi sebanyak yang Abang bisa agar bermanfaat buat orang banyak.”
“Yap…betul sekali seperti yang kamu bilang.
“Baiklah! Jadi apa yang kamu ingin saya bagikan sekarang?”
Dewi terlihat berpikir lalu tersenyum, “Sebenarnya, saya hanya ingin ketemu Abang secara personal begini. Ingin kenalan saja dan kalau beruntung bisa dapat ilmu gratis tentang membangun usaha dari nol karena saya baru berencana tapi eksekusinya belum tahu kapan akan terealisasi. Abang tahu sendiri kalau semua usaha itu butuh modal.”
Fadil mengangguk pelan, “Modal memang kunci utama. Saya juga tidak akan sampai sejauh ini tanpa modal dari orang tua. Jadi saya sangat paham tentang apa yang kamu rasakan saat ini.”
Mereka terus berbincang hingga tanpa sadar sudah lebih dua jam.
Dreettt….
Getaran ponsel Fadil menyedarkan keduanya, “Sebentar ya!”
Fadil mengangkat ponselnya menjauh dari meja. “Hallo, -“
“Abang mana? Katanya mau jemput. Aku sudah siap ini.”
“Maaf, Dek. Satu jam lagi Abang ke sana. Kamu mau nitip apa? Nanti Abang bawakan.”
“Terserah Abang aja!”
Tutttt….
Fadil menghela nafas lalu kembali bergabung dengan Dewi. “Maaf ya, tadi-“
“Tidak apa-apa, Bang. Saya rasa kita juga sudah terlalu lama bicara. Saya tahu Abang sibuk jadi kita cukupkan di sini dulu pertemuan kita. Kapan-kapan kalau saya perlu lagi mungkin lebih baik lewat pesan saja supaya tidak menyita waktu Abang.” Fadil merasa tidak enak hati dengan perkataan Dewi.
“Maafkan saya, Dewi! Bagaimana kalau akhir minggu depan kita bertemu lagi? Saya pastikan hanya ada waktu untukmu,” Dewi tersipu malu dan tentu saja itu akting semata di depan Fadil.
Mereka berpisah di depan café. Fadil langsung mengendarai mobil menuju kediaman Eva. Sebelum ke rumah Eva, Fadil lebih dulu mampir ke supermarket untuk membeli beberapa camilan dan tanpa sepengetahuannya, Dewi terus mengikuti mobil Fadil dalam radius aman. Dewi bahkan mengganti pakaiannya dengan sebuah daster lusuh dan sandal jepit. Sangat berbeda dengan penampilan Dewi sebelumnya.
Untuk mencegah kecurigaan, Dewi lebih dulu melintasi jalan menuju rumah Eva. Ia berhenti di depan sebuah warung yang tidak jauh dari rumah Eva sambil membeli minuman dengan mata sesekali melirik ke arah rumah sahabat palsunya.
“Neng bukan anak sini ya?” tanya pemilik warung.
“Iya, Buk. Saya lagi mutar-mutar nyari rumah yang mau disewakan untuk kakak saya.”
“Ouh, di sini tidak ada rumah kosong, Neng.”
“Rumah di situ kelihata sepi. Apa tidak disewakan, Buk?” tanya Dewi seraya menunjuk ke arah rumah Eva.
Si ibu pemilik warung tersenyum, “Oh itu rumah si Eva. Rumahnya memang sepi karena dia tinggal sendiri. Abangnya yang tinggal di luar kota kadang datang ke sana untuk menjenguknya. Kadang teman-teman kuliahnya juga datang. Ya maklum saja namanya juga anak yatim piatu. Ibunya sudah setahun meninggal jadi hanya dia sendiri yang tinggal di rumah itu. Abang-abangnya sudah lama tinggal di luar kota dan sangat jarang pulang.”
“Ibu tidak kenal sama Abangnya?”
“Kurang, Neng. Karena mereka jarang pulang. Kalau pulang pun jarang ke luar. Ya maklum saja namanya juga pulang dari jauh apalagi laki-laki. Mana pernah ke warung kecuali dia membawa anaknya baru ke sini buat beli jajan.”
“Anak Abangnya?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Cut SNY@"GranyCUT"
suka dengan ceritanya
2023-07-31
0
istrinya Taehyung 💜
semangat nulisnya
2023-02-17
0