Ruang makan keluarga Angkasa pagi ini terasa begitu berbeda dengan bertambahnya satu orang. Myria belum pulang sejak kemarin malam turut bergabung karena dipaksa Nyonya Nasita. Awalnya, dia izin makan di dapur bersama para pekerja, tetapi Nyonya Nasita melarang. Alhasil, gadis bermata hitam itu bisa duduk di situ.
Semua makan dengan tenang tanpa ada pembicaraan. Hanya Nyonya Nasita yang kadang sibuk menawarkan makanan untuk anak dan sang suami. Selepas itu, kondisi sepi kembali. Angkasa juga tidak bicara apa pun. Pagi tadi bertemu Myria, dia berjalan santai seolah tidak terjadi apa pun kemarin malam.
“Kamu sudah pikirkan perkataan istriku, Nak?”
Suara dari ujung meja mengalihkan perhatian semua orang. Myria yang ikut mengangkat kepala tersadar bahwa pertanyaan itu mengarah padanya. Dia menaruh sendok yang ada di tangan ke piring, lalu menjawab, “Sudah, Om.”
Nyonya Nasita tersenyum saat mendengar Myria. Wanita bergamis krem itu mendekat dan memberi usapan lembut di tangan Myria.
“Apa keputusanmu? Kamu siap tinggal di sini?”
Angkasa yang tadi santai buru-buru mengambil air dan minum. Makanan di piring, dia abaikan sementara. Hatinya tengah penasaran atas apa pembicaraan yang dilontarkan sang ayah. Pasti ada sesuatu hal yang tidak dia ketahui.
“Bunda akan senang kalau punya anak perempuan,” kata Nyonya Nasita menenangkan. Usapan tangannya pindah ke kepala Myria yang tertutup jilbab merah muda pagi ini.
Sempat terjadi kontak mata antara Myria dan Angkasa. Begitu pula dengan Nyonya Nasita dan Tuan Aji. Semua orang yang ada di sana sedang membahas hal serius, tentu sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan.
“My, lo mau, kan, nikah sama gue?” Mulut Angkasa gatal sendiri. Dia tidak sabar menunggu jawaban dari Myria karena gadis itu terus diam.
Semua orang pindah perhatian. Tuan Aji langsung berdehem dan saat itu pula menghentikan tingkah Angkasa.
“Maaf, Pa. Aku khawatir banget sama dia.”
“Kasa, kamu bilang tidak akan memaksa. Mamamu sudah bicara kemarin, soal keputusan itu tetap harus diucap Myria sendiri tanpa desakan dari siapa pun.”
Kalimat sang ayah tidak untuk diperdebatkan. Angkasa diam lagi setelah itu. Namun, ganti Myria yang mencuri perhatian. Gadis itu mulai menggerakkan bibir dengan dua tangan saling menaut. “Om Aji, insyaallah saya mau menikah sekarang. Tapi kalau untuk jadi saudara Angkasa, sepertinya memang tidak pantas, Om.”
Senyum Angkasa mengembang sempurna sampai lesung pipinya terlihat jelas. Dua mata indahnya turut menyipit. Angkasa nyaris berdiri dan menghampiri Myria karena ingin memeluk, tetapi sang mama sudah menahan lebih dahulu dengan kata-kata larangan.
“Papa akan berkunjung ke rumah ustaz nanti untuk dijadikan wali. Mama sudah bicara soal statusmu sebagai anak di keluarga. Tapi karena kalian juga belum cukup umur untuk mendaftar di KUA dan tidak bisa pakai wali hakim, sementara ini pakai wali muhakkam dulu.”
Angkasa manggut-manggut meski sedikit penasaran tentang pembicaraan sang mama dan Myria kemarin malam. Namun, cowok itu berpikir akan menanyakan nanti kalau urusan telah selesai. Menikah muda sebenarnya tidak ada di pikiran pemuda itu karena akhir-akhir ini dia jalani hidup bagai manusia tanpa nyawa. Tidur, bangun, tunaikan kewajiban dan selesai. Tidak ada cita-cita menggebu dari diri Angkasa sejak kedua orang tua membatasi pergaulan.
Dahulu, Angkasa masih bisa dimanja sebagai anak bungsu, semua hal dituruti. Akan tetapi, sekarang tidak lagi. Perlu banyak pertimbangan bagi Tuan Aji dan Nyonya Nasita kala mengabulkan permintaan Angkasa.
Matahari merangkak naik dan nyaris berada di atas kepala saat Nyonya Nasita berniat membawa Myria keluar. Wanita matang berusia 44 tahun itu mengarahkan Myria untuk naik mobil. Diantar sopir keluarga, Nyonya Nasita membawa Myria ke sebuah tempat.
Waktu tempuh sekitar 40 menit untuk perjalanan sebelum akhirnya Myria turun dari mobil. Ada satu bangunan cukup besar bertuliskan butik pakaian di depannya. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap saat mengeja nama butik yang didatangi.
“Ayo, Myria. Di luar panas,” kata Nyonya Nasita usai menutup mobil dan berpesan pada sang sopir. Wanita bergamis teracota itu merangkul bahu Myria penuh kelembutan dan membawa masuk.
“Siang, Nyonya.” Begitu pintu butik dibukakan oleh sekuriti, sebagian karyawan yang ada di dalam telah siap menyambut. Myria yang melihat itu sampai takjub.
“Ah, kalian sudah menunggu, ya?” Nyonya Nasita menyapa ramah. “Aku butuh dua orang untuk membantu mendadani gadis ini. Berikan pakaian yang tadi aku minta dan temani dia mencobanya.”
“Baik, Nyonya.” Dua pekerja perempuan maju dengan sigap dan mengarahkan Myria untuk ikut.
“Bu–Bunda.” Myria tergagap lantaran bingung karena tidak dijelaskan apa pun. Tubuhnya kaku dan enggan dibawa.
Nyonya Nasita mendekat dan mengusap jilbab Myria. “Dia karyawan Bunda. Kamu butuh pakaian yang pantas untuk acara malam ini. Sambil nunggu kamu, Bunda akan cek laporan penjualan di ruanga kerja.”
“Ta–tapi, Bun.”
“Sudah. Bunda tidak akan lama.”
“Mari, Nona.” Dua pekerja itu turut berusaha meyakinkan Myria. Mereka begitu ramah dan terlihat sabar dalam melayani.
Daripada merepotkan banyak orang, Myria menurut dan ikut masuk lebih dalam ke bangunan bernuansa putih dan hijau tersebut. Kemudian, dia mencoba sattu demi satu pakaian yang dibawakan pekerja. Myria mencobanya sendiri di dalam ruang ganti, lalu keluar untuk memperlihatkan pada dua karyawan itu.
“Apa ini nyaman, Nona? Semua sangat pas di badan Nona. Saya akan memanggil Nyonya, agar beliau ikut memilih.”
Belum sempat Myria menjawab. Satu pekerja muslimah itu meninggalkan tempat. Tidak berselang lama dari itu, benar saja dia datang bersama Nyonya Nasita.
“Masyaallah, Nak. Kamu cantik. Pakai ini saja. Segera bungkus biar kita masih ada waktu untuk mencucinya nanti.”
Pilihan Nyonya Nasita jatuh pada gamis putih dengan rok A-line dan potongan lengan puff. Pakaian berbahan satin duchess itu terlihat sempurna di tubuh Myria yang tidak terlalu kecil ataupun besar. Beliau mendekat, lantas memutari Myria dari arah depan, ke belakang, dan kembali lagi sampai depan. Senyum wanita itu terbit semanis senyum putranya. “Ambilkan gamis seri ini dengan warna lain.”
“Baik, Nyonya.”
Satu pekerja pergi. Nyonya Nasita segera meminta Myria berganti lagi dengan pakaian asalnya dari rumah.
***
Azan isya telah terlewat hampir satu jam lalu. Di kamar tamu tempat Myria menginap kemarin, telah selesai para perias menjalankan tugas. Dua pekerja itu sengaja tidak keluar dan menemani Myria menunggu akad nikah di ruang tamu selesai. Tepat ketika kata ‘sah’ dari para saksi terdengar sampai kamar, Myria ingin pingsan rasanya.
Belum usai perasaan campur aduk yang Myria alami, Nyonya Nasita masuk setelah mengetuk pintu. Beliau mendekat pada Myria yang masih duduk di atas ranjang dengan penuh rasa gugup. “Sempurna. Kamu memang salah satu bukti keindahan yang Allah ciptakan, Nak.”
Ingin rasanya Myria mengucap terima kasih atau berkata lain untuk menanggapi Nyonya Nasita. Akan tetapi, dia kesulitan melakukan itu karena terlalu gugup. Bibirnya terus bergetar sembari melafal zikir, sementara dua tangan saling menggenggam dengan penuh keringat dingin. Tak hanya itu, jantung Myria pun berdebar tidak karuan.
“Kamu menantu Bunda sekarang. Ayo, keluar sebentar untuk mengucap terima kasih pada para tamu.”
Dengan seluruh tenaga yang ada, Myria bangkit dan mengikuti ibu mertua. Dia berjalan di gandengan Nyonya Nasita secara hati-hati.
Ketika kaki memijak ruang tamu, dua pasang mata indah Myria bertemu dengan Angkasa. Tidak seperti hari-hari di sekolah saat bertemu cowok itu, kini perasaan biasa saja pada teman berganti kecanggungan. Myria menoleh ke arah lain untuk menghindari tatapan Angkasa. Dia menyapa beberapa tetangga dan pejabat RT setempat, lalu ikut duduk di dekat Nyonya Nasita.
Beberapa nasihat dan obrolan diterima keluarga Tuan Aji. Mereka sengaja tidak mengundang banyak kerabat atau orang satu komplek agar kondisi tetap kondusif. Acara berlangsung tertutup dan penuh rasa haru.
Nyonya Nasita yang memiliki anak tinggal Angkasa seorang, harus merelakan dia pada perempuan lain. Bukan maksud beliau tidak mengizinkan putranya menikah, tetapi sampai kapan pun, perasaan seorang ibu anak tetaplah bayi kecil baginya.
Acara akad nikah ditutup dengan makan bersama. Orang-orang duduk di karpet dengan banyak hidangan. Sebenarnya meja makan kosong, tetapi para tamu memilih duduk di bawah agar lebih akrab.
“Myria, Bunda antar kamu ke kamar.” Nyonya Nasita menarik mundur Myria ketika gadis itu ingin membantu beres beres saat tamu sudah pulang.
“Tapi, Bun, Myria masih ingin bantu ini dulu.”
“Tidak pa-pa. Bibi bisa menyelesaikan ini.”
“Benar, Nona.” Satu asisten rumah tangga menyahut dan diikuti anggukan asisten rumah tangga yang lain.
Myria akhirnya pergi dengan rasa sungkan. Dia melangkah pelan menapaki anak tangga ke lantai dua. Kemudian, berbelok ke kiri dan masuk kamar sesuai arahan Nyonya Nasita.
“Kamarmu sekarang di sini. Ini juga rumahmu. Besok, biar Kasa membantumu mengambil buku dan seragam dari kost.”
“Baik, Bun.”
“Oh, ya. Kamu bisa ubah panggilan jadi mama, tapi kalau nyaman panggil bunda, itu tidak masalah.”
Myria mengangguk lagi. Dia tak bisa banyak bicara sejak tadi.
Nyonya Nasita tersenyum dan mengusap kepala Myria. Wanita itu sepertinya memang hobi demikian sejak pertama kali bertemu. “Tunggu Kasa di sini. Mama panggilkan dia.”
“I–iya, Bunda.”
Akan tetapi, belum sempat Nyonya Nasita keluar ruangan, pintu kamar sudah terbuka lebih dahulu dari luar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
nuri
g ngapa2in tp g sbr pngen ketemu yg halal ya..
2024-01-05
1
@ Mmh adil @
yang datang pasti kasa
2023-09-26
1
Gusty Ibunda Alwufi
kasa ngak sabaran nih dtng ke kmr myria hehe hayo ngak boleh ngapa2in kasa hihi
2023-04-02
0