Hampir sepekan Myria menghuni kost baru. Dia mulai bisa berinteraksi dengan penghuni lain. Hari-harinya masih diisi dengan kegiatan belajar dan menulis cerita fiksi via online.
Ya, Myria memang menekuni hobi menulis sejak almarhum sang ibu masih ada. Kegiatan tersebut tentu menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. Selain menyenangkan, dia bisa mendapat teman baru dari dunia maya.
“My, nggak makan kamu?” Friska menaruh kembali sendok makannya ke mangkuk bakso. Dia baru sadar jika sahabatnya sejak tadi hanya mengaduk-aduk makanan dengan tatapan kosong. “Myria!” panggil Friska lebih tegas lagi.
Lagi-lagi Myria terperanjat. Hampir setengah hari di sekolah, sudah berapa kali dia kaget atas panggilan orang lain yang mengganggu lamunannya. “Makan, kok. Tadi masih panas aja.” Myria menjawab asal. Dia tidak mungkin mengaku karena banyak hal yang dipikirkan.
“Jadi gimana, aku boeh ke kostmu pulang sekolah ini nanti?” Friska bertanya sembari memasukkan bulatan bakso. Mulut gadis itu penuh saat mengunyah.
Myria menggeleng. Dia belum ada pikiran untuk memberi tahu Friska di mana sekarang tinggal. Gadis itu khawatir, sahabatnya berpapasan dengan Angkasa saat ada di komplek yang sama.
“Jangan dulu, deh. Pulang sekolah aku mau cari kerjaan. Tabunganku mau habis.” Akhirnya, Myria berkata jujur. Tak ada yang perlu disembunyikan lantaran keadaan memang demikian adanya.
Friska syok mendengar itu. Dia mendorong mangkuk baksonya dan segera menyeruput es teh. “Ya, ampun, My, kenapa diem aja kalau kamu kehabisan uang?”
Mulut Friska terlalu sembrono. Sadar atau tidak, gadis itu telah mengundang perhatian siswa lain yang sama-sama istirahat di kantin. Meski Myria bergerak cepat membungkam mulut Friska, tetapi sepertinya semua orang mendengar jelas.
“Fris, apaan, sih, kamu?” Myria mendelik. “Sekarang aku masih ada uang, tapi kalau cuma ngandelin ini, lama-lama juga habis. Aku perlu kerja sampingan.”
“Kamu, kan, nulis online.”
Ditariknya tangan dari wajah Friska, Myria mengembuskan napas berat dengan bahu merosot lemas. “Iya, tapi enggak bisa ngandelin itu doang. Nulis, kan, nggak tentu. Kadang ada yang baca, kadang sepi. Jadi aku nggak ngarepin itu banget.”
Friska manggut-manggut, lalu kembali menarik mangkuknya mendekat. Dia mengunyah sebutir bakso sambil berpikir. “Eum … gimana kalau kita tanya di toko bunga depan sekolah itu. Siapa tahu butuh pekerja?”
Pendapat Friska tak lekas ditanggapi oleh Myria. Gadis berjilbab krem seperti seragamnya itu masih berpikir dan mengingat toko yang dimaksud. Selang beberapa detik, dia baru mengiyakan.
“Bagus, aku juga mau kerja.” Friska mengacungkan jempol dan disambut tawa oleh Myria. Sebenarnya, Friska tadi tidak kepikiran untuk bekerja, tetapi tiba-tiba ingin ikut. Dia pikir, uang hasil pekerjaan bisa dipakai untuk tambahan jajan dan membantu ibunya sedikit-sedikit.
Myria dan Friska kembali sibuk melahap makanan, sementara Angkasa baru datang. Cowok itu muncul seorang diri, padahal biasanya bersamaan dengan teman sebangku.
“Ka, duduk sini!” Panggilan berasal dari salah satu meja kantin. Saking kerasnya panggilan itu sampai mengundang perhatian.
Angkasa berhenti, lalu menoleh ke sumber suara. Ternyata pemuda yang berteriak adalah teman satu geng motornya dulu. Meski Angkasa tak lagi pernah bergabung, teman-temannya masih begitu solid dan menanti kedatangan pemuda itu kembali. Setiap ada acara perkara motor, baik balapan atau hanya sekadar agenda keliling kota, Angkasa selalu dikabari.
“Duduk sini aja, yang lain penuh.” Pemuda itu berteriak kembali sambil berdiri. Angkasa nyaris menghampirinya, tetapi entah mengapa tidak jadi. “Kenapa lagi, tu, anak?” Dia nyaris memanggil untuk kesekian kali, tetapi sudah ditarik salah satu cewek yang duduk di sebelah. Alhasil, pemuda itu kembali duduk.
“Gue boleh duduk sini?”
Friska dan Myria yang sejak tadi cekikikan, langsung diam dan mendongak. Mereka kompak tercenung beberapa detik saat tahu siapa yang bicara.
Belum dapat jawaban dari Friska atau Myria, orang yang bertanya tadi langsung duduk dan meminum minumannya tanpa beban.
“Napa nggak jadi duduk bareng geng lo? Gara-gara ada mantan lo, ya?” Entah bertanya atau mengejek, tetapi ucapan Friska membuat Angkasa malas menanggapi. Pemuda itu diam dan bersiap makan.
Friska mulai geram karena diabaikan. Dia protes, “Kasa! Gue ngomong kali, sama lo.”
“Tapi gue nggak pengin ngomong sama lo!”Jawaban Angkasa telak mengenai jantung. Friska yang mendengarnya sampai tercengang.
“Astaghfirullah, cowok ini! Ka—”
“Fris!” Myria menarik lengan Friska. Sahabatnya yang ada di sebelah langsung berhenti dan menoleh. Myria menggeleng. “Jaga adabmu kalau ada orang lagi makan. Lagian itu bukan urusan kita.”
Akhirnya Friska menurut. Dia diam meski masih dongkol dengan pemuda yang duduk berseberangan dengannya. Sesekali saat menghabiskan sisa bakso, dia mencuri pandang pada Angkasa tanpa sepengetahuan cowok itu.
Makanan habis tidak berselang lama dari kedatangan Angkasa. Myria nyaris berdiri dan membayar makanan, tetapi dihalangi oleh Friska. “Aku aja, My. Ini, kan, jadwalku.”
“Bayarin punya gue juga.” Angkasa memotong pembicaraan dua gadis di depannya. Dia mengeluarkan uang dari saku, lalu menyodorkan pada Friska.
“Iiih, ni, cowok. Ogah!”
“Kembaliannya buat lo,” tawar Angkasa lagi. Uang masih tetap disodorkan agar diambil Friska, tetapi belum ada tanggapan sampai beberapa detik.
“Lo kira gue mudah disogok? Nggak!” Friska kukuh dengan pendapatnya, sementara Angkasa menangapi dengan wajah datar dan satu alis terangkat.
Myria yang ada di tengah-tengah mendadak bingung. Gadis itu ikut berdiri. “Kasa, biar aku bayarin punyamu.”
Uang nyaris diambil, tetapi Angkasa menarik tangannya lebih dulu. Cowok itu menjawab, “Kalian duduk aja di sini. Gue yang bayar.”
Belum sempat ditanggapi dan dicegah, Angkasa sudah angkat kaki dan menuju pedagang bakso. Sementara itu, Friska dan Myria terpaku di tempat.
“Kesambet apa, sih, itu anak?” Friska bertanya setengah sadar, sementara Myria terdiam dan memandangi punggung Angkasa dari tempatnya berdiri.
Berbeda dengan Myria dan Friska yang terheran-heran, di meja lain seorang gadis memperhatikan interaksi ketiganya sejak Angkasa duduk di satu meja dengan mereka.
“Dua cewek itu siapa?” tanya gadis berambut panjang bergelombang itu.
Satu temannya menoleh, lalu berceletuk, “Oh, Myria ama Friska. Temen sekelas gue. Temen si Kasa jugalah maksudnya. Duduk di depan Kasa dua cewek itu.”
“Cuma temen?”
“Iyalah, Erika. Lo kira apaan? Sejak Kasa putus dari lo, gue gak pernah denger dia punya gebetan. Apalagi cewek yang penuh kain penutup di tubuh kayak mereka gitu. Bukan selera si Kasa kali.”
“Woi, siapa tahu selera Kasa berubah kayak sikapnya.” Satu pemuda lain menyahut. Hal itu seketika membuat semua teman satu mejanya menoleh bersama, termasuk Erika. Cowok itu langsung menyengir sambil mengacak rambut. “Becanda gue, kalian juga tahu sendiri kalau sekarang Angkasa cueknya kebangetan.”
“Kenalin gue sama mereka,” kata Erika dengan tatapan penuh mengarah pada Myria dan Friska yang lewat hendak kembali ke kelas.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Happyy
🤔🤔
2023-10-03
0
@ Teh iim🍒🍒😘
Angkasa sukanya bikin jantung Myria nggak stabil neh...
2023-09-03
0
Geta Andesiska
moga aja c Erika gak ada niat jahat
2023-08-30
0