“My, tunggu, dong!” Friska bicara setengah berteriak seiring kakinya yang melangkah tergesa. Dia dan Myria hampir telat gara-gara angkutan yang membawanya ke sekolah selalu penuh dan baru dapat setelah hampir 40 menit menunggu.
Bel pelajaran sebentar lagi berbunyi, tentu saja Myria khawatir jika dia harus terlambat dan berdiri di depan kelas disaksikan teman-temannya. Meski semua kenal, tetap saja malu.
“Buruan, Friska! Tinggal berapa menit lagi waktu kita.”
“Iya, iya. Makan apa, sih, dirimu bisa jalan secepat ini?”
Friska terus menggerutu sepanjang koridor depan kelas. Dia sampai ingin mengangkat roknya agar bisa lebih cepat lagi. Namun, beruntungnya ada Myria yang selalu mengingatkan.
Pintu kelas nyaris terjangkau, tetapi Myria masih sibuk menanggapi Friska yang terus mengoceh. Baik dirinya maupun Friska sampai tidak sadar jika dari arah berlawanan ada orang yang akan masuk pula ke kelas. Alhasil, terjadi tabrakan tanpa sengaja.
“My ….” Friska langsung diam dan menangkap Myria meski sahabatnya hanya mundur satu langkah. Dia mendongak dan hendak mengatakan sesuatu. Akan tetapi, belum sampai satu kata pun keluar dari mulut Friska, seseorang yang ada di depan sudah melenggang pergi. “Kamu nggak ngigau kemarin dianter itu cowok, My? Kamu lihat, kan, yang baru aja terjadi? Udah mau nabrak dan hampir bikin kamu jatuh, bukan minta maaf tapi justru nyelonong gitu aja? Dia waras nggak?”
“Hush! Bicara apa, sih, Fris? Udahlah, buruan masuk!” Bel berbunyi berbarengan selesainya perdebatan Myria dan Friska. Dua gadis itu segera masuk dan langsung dapat perhatian siswa satu kelas.
“Myria.” Sekelompok siswi menghampiri Myria. Salah satu dari mereka memeluk. “Kita ikut berduka atas kepergian nyokap lo. Sorry kalau enggak semua yang ada di kelas ini bisa datang ke rumah lo.”
Myria menarik diri dan mengusap sudut mata yang tiba-tiba berair. Hati gadis itu mudah tersentuh akan suatu hal. Apalagi, hampir semua siswa di kelas begitu kompak dan menyukainya. “Thanks, ya. Aku udah makasih banget ada perwakilan yang datang ke rumah.”
“No worries. Kita-kita tahu apa yang lo rasain. Yang kuat, ya,” kata siswi berambut panjang dan terikat rapi yang sejak tadi memeluk. Sikap hangatnya disambut teman lain dengan anggukan kepala.
Dapat dukungan begitu banyak dari teman-teman, semangat Myria mulai tumbuh perlahan meski bayang kepergian belum hilang.
Acara peluk-pelukan para siswi selesai saat guru masuk kelas. Myria dan yang lain segera menuju tempat duduk masing-masing.
Saat menuju kursinya, Myria bertatapan dengan Angkasa beberapa detik dikarenakan bangku mereka yang berurutan depan belakang. Baru kali ini Myria merasa canggung, sementara Angkasa tetap dengan wajah cueknya tanpa ambisi.
Satu siswa yang menjabat jadi ketua kelas memberi instruksi untuk melakukan penghormatan. Kemudian semua siswa yang lain mengikuti berdiri dan memberi salam pada sang guru.
Sebelum pelajaran dimulai, guru pelajaran Matematika itu menyampaikan belasungkawa pada Myria seperti yang dilakukan murid-muridnya tadi. Beliau menambahkan sedikit nasihat agar Myria dikuatkan dan tetap percaya takdir adalah yang terbaik.
“Diri kita ini adalah tokoh utama di kehidupan kita sendiri. Baik itu Ibu atau kalian.” Guru itu berkata sembari berdiri di tengah kelas. Kemudian, beliau melanjutkan, “Ibarat film atau series drama, kita adalah aktris dan aktor utamanya, sementara Tuhan adalah penulis skenario. Dan skenario itu berbentuk takdir. Tentu kalian tahu kalau sebuah cerita pasti akan bertemu kata tamat, dan itu sama halnya tentang kehidupan kita yang akan bertemu kematian.”
Semua siswa terdiam dan menaruh perhatian saksama pada guru berjilbab cokelat pagi itu. Tidak ada yang berani menyanggah atau bertanya sebelum dipersilakan.
“Selama perjalanan cerita dari bab pembukaan sampai bab ending, ada banyak kejadian yang terangkai. Baik itu masalah, kebahagiaan, atau hal lain. Dan itu yang dinamakan bumbu kehidupan.
Hari ini satu dari kalian memiliki sesuatu, belum tentu besok apa yang kalian miliki masih ada. Sebaliknya, hari ini kalian kehilangan, mungkin akan terganti dengan hal yang lebih bagus dari apa yang telah hilang kemarin.”
Guru Matematika itu memutar badan dan mengambil spidol, lalu tangannya bergerak menggores tinta di papan tulis. Beliau menuliskan kalimat sesuai ucapannya: “Tetaplah berusaha hidup sebaik-baiknya, meski masalah atau apa pun terasa berat bagimu. Karena sebenarnya, kamu adalah orang pilihan.”
“Kalian tahu apa yang Ibu tulis di situ?”
Siswa perempuan yang tadi memeluk Myria sekaligus menjabat sebagai sekretaris kelas mengangkat tangan. Dia menjawab, “Apakah pilihan yang Ibu maksud adalah kita ini mendapat musibah atau kesenangan, semata-mata Tuhan sudah tahu kadar kemampuan makhluk-Nya?”
“Benar!” Ibu guru menyahut cepat hingga fokus siswa kembali padanya. “Kita orang yang dipilih Tuhan untuk menerima musibah ataupun kebahagiaan dari-Nya. Kapasitas kita pasti sesuai atau melebihi beban yang ada. Hanya saja, semua itu berproses dan tidak instan. Di sinilah titik terpenting manusia, bisa bertahan atau gagal karena menyerah.”
Semua siswa mengangguk-angguk. Ada yang termenung sepintas dan ada pula yang melempar pandang pada teman sekitar. Mereka terdiam, termasuk Angkasa. Pemuda itu tiba-tiba memutar ingatan dan menelaah hidupnya setahun belakangan setelah menginjak bangku sekolah tingkat akhir.
Kehilangan kebebasan adalah salah satu beban yang Angkasa pendam di dada. Dia tak sampai hati ingin menyampaikan penolakan atas permintaan ibunya.
“Oke, pembicaraan kita sampai sini. Buka buku kalian di bab geometri. Kita akan belajar itu hari ini.”
“Kasa, buka buku lo. Malah ngelamun!” Cowok berparas rupawan yang ada di samping Angkasa menyenggol. Dia sampai geleng-geleng melihat ekspresi teman sebangkunya sedikit kaget.
Jam terus bergulir. Setiap pergantian guru dan mata pelajaran, Myria selalu dapat ucapan belasungkawa. Gadis itu berusaha menanggapi dengan senyum meski hati kembali menangis.
Ketika bel pulang berbunyi, semua siswa bersorak riang. Ada yang mengangkat tangan, menghela napas, atau tertawa melihat teman yang lain bertingkah konyol.
Akan tetapi, kekonyolan dan seramai apa pun kelas, tetap tidak menarik bagi Angkasa. Entah ke mana selera hidup cowok itu sebenarnya.
“My, serius kamu mau muter-muter sekarang? Kita ke rumah aja, deh. Aku nanti bilang sama Ibu lagi.”
Saat tengah merapikan buku-bukunya, telinga Angkasa menangkap obrolan Friska dan Myria. Dia berhenti bergerak untuk menajamkan pendengaran.
“Enggak perlu. Aku bisa cari kost sekitar sini. Jangan khawatir, aku udah gede kali, Fris.”
“Tapi, My ….”
Telunjuk Myria sudah menempel di bibir Friska. Alhasil, sahabatnya itu terdiam. Sementara itu, Friska mengembuskan napas pasrah dan segera membereskan semua buku.
Angkasa di belakang masih memperhatikan, tetapi fokusnya teralihkan oleh satu dari beberapa temannya yang datang. “Ka, lo ikut kita nongkrong nggak?”
“Ke mana?”
“Si Rion menang balapan kemarin malam, dia mau traktiran. Gimana?”
Penglihatan Angkasa bergeser pada pemuda di paling ujung kiri yang akan menraktir. Dia diam, tetapi tidak memberi jawaban dan langsung berdiri sembari menenteng ranselnya. “Enggak dulu. Gue cabut sekarang.”
“Tapi, Ka! Kasa! Woi, kali in … argh, itu anak udah gak seru banget hidupnya.” Pemuda yang mengajak itu mengomel. Bukan hanya kali ini ditolak, tetapi dia masih belum terbiasa.
Myria yang masih duduk ikut memperhatikan kepergian Angkasa. Sebenarnya sikap cowok itu tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Namun, entah mengapa, sejak ditolong Angkasa, ada hal yang menarik perhatian.
***
Friska telah pulang sendiri ke rumahnya, sementara Myria masih berkeliling mencari tempat tinggal. Hari nyaris gelap, tetapi belum juga menemukan indekost yang pas sesuai keuangan dan jarak tempuh ke sekolah. Beberapa menit lagi azan magrib berkumandang, Myria berniat menuju masjid terdekat.
Baru mengayunkan kaki beberapa kali, langkah Myria terhenti lantaran ada sebuah motor sport mengerem mendadak di depannya. Dia sampai mundur dan siap lari andai itu orang jahat.
“Napa muka lo tegang gitu?” tanya si pengendara motor sembari membuka kaca helm.
“Kasa!” Mata Myria yang bulat makin membulat saat dia kaget. “Ngapain, kamu ….”
“Naik!” perintah Angkasa tanpa menjawab pertanyaan.
“Hah? Mau ke mana?”
“Naik aja, buruan! Udah mau malem, lo mau tidur di emperan toko kayak gelandangan?”
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Zurnia Fathurrahman
aku baru Nemu ini..liat iklannya di toktok
2024-10-08
0
lizulfa anjani
ini kisah tersedih yang pernah aku baca
2024-02-09
0
Hulwatul Fitri
nyesek banget gaes
2023-10-18
0