Sehari, dua hari hingga sepekan bekerja, Myria merasa belum terbiasa. Beberapa kali dia hampir ketumpahan kuah panas. Namun, penanggung jawab catering yang telah dipercayai oleh ibu Erika cepat tanggap. Wanita itu segera memindah Myria ke bagian yang lebih mudah.
Gadis 18 tahun itu kini pindah ke bagian pembungkusan dan pengiriman. Hari pertama pindah bagian, semua baik-baik saja. Hanya rasa lelah yang memang tidak berkurang sedikit pun. Hal itu wajar karena Myria bekerja usai sekolah.
“Myria, besok akhir pekan. Aku dengar sekolahmu libur, jadi bisa full time untuk kerja besok.”
Myria mengangguk. Memang seperti itu aturan yang disepakatinya dengan ibu Erika sebelum masuk kerja. Dia akan bekerja sebentar dari jam empat sore hingga jam sembilan malam kala week days. Namun, saat akhir pekan tiba, jam kerja bertambah dari sembilan pagi ke sembilan malam. Dua belas jam Myria gunakan untuk mencari penghasilan.
Gaji memang tidak sebanyak karyawan tetap di usaha catering milik keluarga Erika, tetapi masih cukup untuk hidup dan menabung biaya sekolah. Myria terpaksa memangkas keinginan. Dia harus terima hidup apa adanya tanpa bantuan dari siapa pun.
“Bu, aku pasti bisa melewati kehidupan ini meski enggak ada saudara. Aku bisa rasain sekarang, gimana jadi anak tunggal tanpa ada orang tua. Ibu pasti dulu sangat kuat.”
Rasa lelah harus segera dibayar dengan istirahat. Myria melangkah menuju pinggir jalan raya untuk mencari angkutan. Jalanan mulai sepi karena sejak sore hujan. Para pekerja sebenarnya disediakan mess untuk tinggal, tetapi lantaran masih sekolah dan butuh tempat untuk fokus belajar, Myria tetap ingin tinggal di kost sendiri.
Udara yang awalnya sejuk berubah dingin serasa menusuk tulang. Myria mengeratkan jaket dengan dua tangan menyelip di kantung kanan dan kiri. Sepatu sekolah yang masih membungkus kakinya turut lembab karena melewati jalanan becek.
Ketika hampir menjangkau ujung gang dan tiba di pinggir jalan raya, Myria dikagetkan oleh sekumpulan pria asing. Baru kali ini dia melihat orang-orang dengan tampilan menyeramkan seperti itu ada di sana. Sebagai perempuan, tentu saja Myria waswas.
Akan tetapi, seperti apa pun kondisi, tidak mungkin Myria kembali berbalik arah. Dia menunduk sambil berdoa saat kakinya terus melangkah agar bisa melewati kumpulan pria asing itu.
“Cewek.”
Satu suara yang ditangkap telinga mampu membuat debaran jantung. Myria pura-pura tidak mendengar dan mempercepat langkah. Namun, nyatanya, takdir tidak selalu baik. Empat pria dengan dandanan kaus hitam dan jeans sobek-sobek itu kompak mendekat.
“Eits, kenalan dulu, dong,” Satu cowok berambut merah dengan dua tindik di telinga kiri mengadang. Myria refleks berhenti dan mencengkeram jaketnya erat-erat. “Kita-kita baru liat ada cewek semanis elo lewat sini. Warga baru, ya?” kata pria itu dengan senyum menakutkan dan tersusul tawa teman-temannya.
“Kok, diem?” Pria lain menyahut dan sukses membuat Myria makin mundur hingga kesulitan untuk pergi.
“Masih hujan. Gimana kalau lo neduh dulu bareng kita di sini. Dijamin nggak akan kedinginan karena kita bisa bikin lo anget.”
Myria terdiam sembari menggeleng. Toh, menjawab akan ada masalah. Dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu menyelip dan berlari ke sebelah kiri dari gerombolan. Kaki kecilnya selain harus kuat menopang hidup, ternyata harus siap untuk menghindari bahaya.
“Eits, ke mana lo!”
Ransel Myria tertarik bersamaan jilbab yang dipakai. Dia sampai mendongak dan kesakitan atas perbuatan pria berambut merah tadi. “Tolong, Kak, lepasin aku,” kata Myria dengan suara bergetar. Sekuat tenaga dia menahan rasa takut dan berusaha bicara baik-baik.
Akan tetapi, bukan kebebasan yang didapat Myria. Nyatanya, suara gadis itu makin membuat empat pria tadi tersenyum bungah. “Bukan cuma tampang lo yang manis, suara lo juga ternyata.”
“Apalagi tubuhnya, Bro.” Teman lain menyahut dan lagi-lagi tersusul gelak tawa.
Myria terus menggeleng serta berusaha menarik diri. Dia tendang satu kaki pria yang menarik tasnya, lalu memukul para pria lain dengan siku. Saat lepas, dia harus segera berlari tanpa melihat arah.
Gerimis makin deras dibarengi malam kian sunyi. Jam terus bergerak, sementara angkutan sulit sekali dicari. Myria kebingungan. Para lelaki yang mengganggunya tidak mau menyerah dan terus mengejar. Padahal, kakin mulai lelah seiring napasnya yang tersengal.
“Ya, Rabb, tolong hamba.”
Doa melangit dari mulut Myria. Saat itu pula sebuah motor berhenti dan pengendaranya berteriak, “Naik, My!”
“Kasa.”
“Buruan!” Angkasa berteriak lebih kencang lagi. Dua matanya masih awas melihat ke belakang agar tahu seberapa dekat para pria pengejar yang masih mengincar. “Myria!”
Buru-buru Myria berlari dengan mengangkat rok. Bahkan, trotoar jalan yang tidak rata hampir membuatnya terjerembap. Sementara itu, Angkasa masih mengawasi, lalu segera mengulurkan tangan agar Myria mudah menaiki motor.
“Woi!” Teriakan salah satu pria pengganggu yang nyaris sampai, menimbulkan kepanikan bagi Angkasa. Dia segera siap-siap untuk melaju. Bagaimana tidak panik? Meski Angkasa juga lelaki, tetapi satu lawan empat orang bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
“Pegangan, My,” kata Angkasa dan segera menarik tuas gas. Motor melesat di tengah hujan dan meninggalkan tempat menyeramkan itu.
Saat kendaraan sudah melaju beberapa kilometer, Myria di belakang justru terisak. Pikiran gadis itu langsung kalut andai hal buruk benar-benar menimpa dirinya. Angkasa, cowok itu selalu ada di saat dirinya butuh. Entah sengaja atau tidak, Myria sudah sepantasnya bersyukur dan mengucap terima kasih.
Dari kaca spion sebelah kiri, Angkasa terus mengamati. Pendar lampu jalanan tidak bisa memperjelas wajah Myria. Namun, cowok itu tahu kalau teman kelasnya tengah menangis. Dia diam dan menunggu keadaan tenang.
“Lo yakin nggak mau nikah sama gue, My?” Angkasa bicara setelah menurunkan Myria tepat di depan kamar kost. “Gue bisa anter lo ke mana pun dan nggak perlu kayak gini. Ini terlalu bahaya, Myria.”
Myria mengangkat wajah. Seluruh mukanya memerah karena terlalu lama menangis. Bahkan, gadis itu masih sesenggukan lantaran kejadian yang baru saja menimpa nyaris menghancurkan segala masa depan kehidupannya.
“Lo nggak perlu kerja lagi. Biaya sekolah atau semua hal, bisa dibantu Papa sama Mama. Kita masih muda, My. Seharusnya bisa fokus belajar tanpa mikir kerasnya hidup ini. Gue nggak maksud ngremehin lo atau gimana, tapi gue pengin lihat lo hidup wajar kayak anak-anak seumuran kita.”
“Kasa ….”
“Jangan bilang kalau lo udah terbiasa.” Angkasa menukas. Dia seolah enggan mendengar pembelaan dari Myria. “Sedewasa-dewasanya orang di umuran kita gini, gue yakin di lubuk hati lo juga pengin hidup kayak anak muda lain.”
Myria membisu. Dia tidak menjawab apa pun. Berbeda dari hari-hari sebelumnya yang sering mendebat, bibirnya kini seakan terjahit akan benang takdir.
“Ikut gue ke rumah sekarang kalau lo setuju.” Angkasa membuat keputusan. Masih di tempat yang sama dengan kondisi rintik hujan mulai hilang, dia menunggu jawaban.
Bak dikejar dan terdesak keadaan , Myria bimbang. Pikirannya buntu dan berhenti di tempat.
“Percaya sama gue. Gue nggak akan ngapa-ngapain lo meski kita nikah. Gue tunggu lo siap.”
Sebanyak apa pun perkataan diucap Angkasa. Myria hanya mengamati tanpa membalas. Bibir gadis itu mulai membiru karena menahan dingin. Belum lagi, kondisi seragam tak kalah memprihatinkan, semua basah sama halnya dengan Angkasa.
“Ganti baju lo. Gue tunggu di sini.”
Tawaran Angkasa tidak dijawab saat itu juga. Myria masih menunduk dan meremass ujung jilbab yang dikenakan. Namun, setelah itu, dia melakukan apa yang dikatakan cowok di depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
nuri
lah.. emangnya mau ngapain sih Sa? 😀
2024-01-05
0
@ Mmh adil @
emng ibu sama bpnya s kasa setuju
2023-09-26
1
Indo Mie
Terima, terima,,, aku ja mau kok wkwkwkwk
2023-09-16
0