“Myria, kamu sudah pulang, Nak?”
Langkah Myria terhenti kala mendengar ibu mertua menyapa. Dia urungkan ke kamar dan berbelok arah ke ruang tengah. “Bunda masak apa?”
Wanita berjilbab merah bata itu mengulas senyum. Nyonya Nasita mengusap kepala Myria. “Mama mau ke butik, ini camilan buat para pekerja yang di sana nanti. Ada cheese cake dan brownies. Kamu mau yang mana?”
Mata Myria menelusuri piring-piring berisi potongan kue. Dia melipat bibir sembari berpikir. “Enggak perlu, Bun.”
“Kenapa? Kamu tidak suka ini?”
“Suka, kok, Bun. Tapi kemarin, kan, udah makan kue dari Papa Aji.”
“Oh.” Nyonya Nasita mengangguk. “Tapi bawa aja dikit, ya? Kalau kamu tidak mau, bisa dimakan Kasa. Oh, iya, di mana dia? Kalian tidak pulang bersama?”
Myria menggeleng. Dia bahkan tidak tahu ke mana suaminya. Angkasa diam saja dan belum memberi kabar sejak tadi. Padahal, biasanya Myria menunggu angkutan sembari berbalas pesan dengan pemuda itu.
Tiba-tiba, Myria teringat obrolan siang tadi di kantin. Apa jangan-jangan Angkasa keluyuran dan balapan? Waswas dengan pikiran sendiri, Myria memilih bertanya pendapat pada ibu mertua. “Bunda, apa dulu Angkasa dibebaskan balapan?”
Aktivitas Nyonya Nasita terjeda sejenak. Wanita itu mendongak dan memandang penuh wajah Myria. “Balapan?”
“Iya, Bun.”
Sebelum menjawab, Nyonya Nasita menghela napas cukup panjang. Beliau lantas meminta Myria duduk agar tidak lelah karena terus berdiri.
Myria menurut. Dia duduk di kursi meja makan terdekat, lalu meminum segelas air. Dua matanya masih memperhatikan Nyonya Nasita dengan penuh ketenangan.
“Papa dan Mama dulu selalu memberi kebebasan pada anak-anak keluarga di sini, My. Tapi, sejak putra pertama Mama pergi, Mama selalu khawatir pada Angkasa. Kamu tahu, Sayang, puncak kekhawatiran Mama?”
Myria menggeleng dengan bibir terkatup rapat.
Lagi-lagi Nyonya Nasita menghela napas. “Mama khawatir, sedih, bahkan depresi kambuh saat Angkasa koma. Pikiran Mama selalu dihantui rasa takut, takut kalau Mama harus kehilangan anak untuk kedua kali. Angkasa satu-satunya yang masih tersisa. Semua pengobatan dan saran dari dokter, berusaha Papa dan Mama penuhi agar Kasa tetap selamat. Setiap hari Mama menangis di depan kamar ICU, bahkan kewajiban sebagai istri hampir terabaikan saking terpuruknya kala itu.”
Cerita panjang lebar dari Nyonya Nasita menyita perhatian secara penuh dari Myria. Gadis itu membisu tanpa ingin menyela sedikit pun. Beberapa hari tinggal di rumah yang sama, baru kali ini Myria mengobrol santai dengan ibu mertua.
“Tapi Mama beruntung karena punya suami seperti Papa. Beliau pengertian dan sangat sabar. Papa terus menemani, terus memberi semangat pada anak dan istrinya ini meski sebenarnya Mama tahu, kok, kalau Papa juga sama-sama hancur.”
Lengkungan bulan sabit terbit di bibir Nyonya Nasita setiap ingat kebaikan Tuan Aji. Beliau menaruh pootongan kue terakhir ke dalam kotak kardus makanan. “Tapi, ya, Alhamdulillah Kasa selamat. Jadi, setelah itu, Mama dan Papa sepakat menghapus kebebasannya. Anak itu awalnya protes dan selalu merengek, tapi Mama berusaha kuat dan tidak luluh dengan rayuan. Sebagai ibu, Mama sering tidak tega melihat Kasa harus seperti itu, tapi ini demi kebaikan.
Gara-gara balapan juga dia kecelakaan sampai begitu parah. Mama merasa kecolongan jadi orang tua karena tidak memantau pergaulan anaknya. Tahu-tahu, Kasa sudah di rumah sakit menjalani operasi. Ibu mana yang tidak kaget?”
Myria mengangguk-angguk. Sedari tadi tidak ada respons lain lagi yang dia berikan. Gadis itu tahu sekarang bahwa suaminya tidak sebebas dahulu. “Jadi, kalau Kasa sekarang mau balapan lagi, nggak dibolehin, ya, Bun?”
Kotak-kotak kue masuk ke dalam tas kain berbahan kanvas. Nyonya Nasita langsung menatap Myria dengan serius. Menantunya sampai mengerut karena takut.
“Apa Kasa bilang akan balapan lagi, Myria?”
“Eh? Enggak, kok, Bun. Itu, tadi Myria cuma nanya.”
Napas kelegaan terembus dari bibir Nyonya Nasita. Wanita itu hampir saja khawatir pada perkataan sang menantu. Bagaimanapun juga, beliau tidak akan mengizinkan putranya berada di arena balap dengan alasan apa pun.
“Sudah sore. Istirahatlah, Sayang. Jangan lupa bawa camilannya ke atas, ya. Kasa mungkin pulang magrib, anak itu pasti ke bengkel. Kalau kamu takut kesepian, telepon saja dia.”
“Eh, enggak pa-pa, kok, Bun. Myria udah biasa sendiri, lagi pula ini juga di rumah.”
“Ya, sudah. Bawa ini.” Beberapa potong cheese cake dan brownies tertata rapi di piring. Nyonya Nasita menyodorkannya sambil berkata lagi, “Minumnya ambil sendiri. Mama mau siap-siap.”
“Iya, Bunda. Terima kasih.”
Belum salat Asar, Myria bergegas ke kamar dan mandi. Dia bersihkan tubuhnya yang lengket karena keringat dan segera menunaikan kewajiban sebelum mentari tenggelam.
Baru saja Myria selesai berdoa, pintu kamar terbuka tanpa diketuk. Gadis itu tidak kaget karena hafal siapa yang datang.
“Kamu capek?” Buru-buru Myria menghampiri Angkasa yang tengah meletakkan ransel di meja belajar.
Dahi Angkasa mengerut melihat sikap istrinya. Baru kali ini Myria bertanya demikian. Memang, ini pertama kali Angkasa pulang terlambat karena biasanya dia lebih dahulu tiba atau berbarengan dengan sang istri. “Enggak juga. Kenapa?”
“Mau minum apa?”
Angkasa makin merasa aneh. Dua matanya memicing dan mengamati Myria dari bawah sampai atas. “Lo kenapa?”
Dapat pertanyaan demikian, bukannya menjawab, Myria justru ikut bingung. Dia tidak merasa ada yang salah akan sikap yang ditunjukkan. “Emangnya kenapa? Aku nggak pa-pa.”
Senyum miring terlukis di bibir Angkasa. Pemuda itu menarik kursi belajar dan duduk. Dia sepertinya sudah bisa menebak maksud dari sikap sang istri. Demi membuktikan dugaan, Angkasa memerintah, “Bisa tolong ambilin gue handuk?”
“Ya.” Myria meninggalkan tempat tanpa membantah. Dia berjalan menuju tempat handuk tersimpan.
“Ah, bener tebakan gue. Ni anak pasti mau ngelayani gue sebagai suami. Uhuy!” Ditinggalkan Myria, Angkasa heboh sendiri. Dia ganti berteriak dari posisi, “My, ambilin baju ganti sekalian di lemari. Kaus aja sama celana pendek.”
Sahutan dari arah kamar mandi terdengar, Myria muncul dengan selembar handuk. “Baju di lemari sini?”
Kepala Angkasa menengok sedikit. “Iya, situ. Ambilin aja warna abu-abu, celana krem. Jangan lupa dallamannya juga.”
Enteng sekali Angkasa bicara, padahal Myria sudah terpaku di tempat mendengar kalimat terakhir. “Hah? Ambil sendiri kalau itu.” Protesan keluar dari bibir gadis itu.
“Gue maunya elo yang ambil.” Tanpa memperhatikan Myria, Angkasa berujar santai. Dia abai dan memilih bermain ponsel.
Langkah Myria tertuju ke meja belajar. Dia tumpuk pakaian dan handuk jadi satu. “Ini,” katanya sembari membuang muka. Wajahnya pun sedikit bersemu merah.
Perhatian di ponsel terhenti sejenak, Angkasa melirik apa yang ada di tangan Myria. Dia tersenyum tipis, apalagi melihat tingkah istrinya. “Lucu banget lo.”
“Buruan, sih, Ka, ini diambil.”
“Lo pegang baju udah kayak lihat apa aja, My. Belum juga isinya.”
“Kasa!”
Tawa yang sejak tadi ditahan, akhirnya meledak. Angkasa berdiri dan menyahut tumpukan baju yang dibawakan. Bukan segera pergi dan mandi, melainkan Angkasa menaruh semua itu ke meja. Dia melangkah maju dan sengaja memegang kedua bahu sang istri. “Kalau lo tiap hari ngegemesin gini, gue takut kalap sebelum waktunya, My.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Azka Putra
sangt bgus unt dbca kak,
yang semangt yaaa
2023-12-11
1
@ Mmh adil @
sabar atuh kasa
2023-09-26
1
Geta Andesiska
😂😂😂😂tingkah mu kasa
2023-08-31
0