“Yaelah, Rik. Kenalan, ya, tinggal aja dateng ke kelas. Kalau nggak, dua cewek tu suka ke perpus. Lo samperin aja mereka terus bilang mau temenan.” Pemuda satu kelas dengan Myria berceletuk. Dia mengusap keringat di wajahnya karena rasa pedas dari bakso yang baru saja dihabiskan.
“Lagian kenapa lo tiba-tiba pengin kenal?” Satu teman yang lain berceletuk.
“Ada, deh.”
“Jiah.”
“Udahlah, Bro. Palingan ujung-ujungnya mau dapetin si Kasa lagi pakek cara temenan sama para tu cewek.” Teman lain tak kalah heboh. Mereka bicara blak-blakan seolah sudah paham watak Erika. Gadis berwajah oval itu memang selalu punya cara untuk kembali mendekati Angkasa. Bahkan, Erika rela pindah sekolah demi mengejar dan dapat maaf dari mantan kekasihnya itu.
Obrolan riuh para siswa geng motor itu berakhir karena bel pelajaran berbunyi. Gerombolan yang terdiri dari lima siswa dan dua siswi itu kembali ke kelas masing-masing. Erika sempat meminta nomor ponsel Myria, tetapi teman sekelas Angkasa belum sempat memberikan.
“Lo nekad banget, sih, Rik, sampai mau temenan sama cewek-cewek yang penampilannya gitu? Kita beda tau dari mereka.” Teman perempuan yang satu kelas dengan Erika bicara cepat karena penasaran. Selama di kantin, dia sibuk memperhatikan cowok idamannya bernama Sakti.
“Jangan brisik lo. Gue punya cara sendiri atas apa yang gue bilang barusan.”
“Jadi yang dibilang si Sakti bener kalau lo mau deket si Kasa lewat itu cewek? Atau jangan-jangan lo mau tobat, lagi, jadi cewek muslimah yang sesungguhnya?”
“Risti, kalau lo nggak bisa diem. Gue lakban beneran itu mulut.”
Cewek yang dipanggil Risti itu menutup mulut. Dia tak lagi menggoda saat Erika sudah tidak bisa diajak bercanda. Padahal, gadis itu pikir, apa salahnya bertanya?
Sepanjang pelajaran, Myria tidak bisa fokus. Otaknya masih berputar mencari tempat-tempat yang nanti akan dituju. Meski Friska sudah menyarankan toko bunga depan sekolah, Myria tidak ingin bergantung di situ secara penuh. Gadis itu sadar akan status dirinya masih pelajar, mungkin akan sulit mencari pekerjaan. Jangankan itu, orang lain yang jelas-jelas lulus berijazah dan punya sertifikat keahlian saja masih banyak yang menganggur.
“My.”
“Hah?”
“Hah, heh, hah, heh.” Friska menggerutu. Mukanya cemberut dengan dahi berkerut. “Kamu dengerin penjelasan guru nggak, sih? Disuruh nyalin terus kerjakan soalnya, malah bengong.”
Myria langsung menoleh sekitar. Dia dapati semua siswa sudah serius dengan buku dan alat tulis masing-masing. Hanya dirinya yang diam sejak tadi.
Dapat protes dari Friska, Myria menyengir sambil menarik jilbab. Dia bergegas melakukan perintah sang guru sebelum tepergok bahwa selama pelajaran tidak memperhatikan. Sejenak, beban pikiran harus ditinggalkan agar bisa fokus pada apa yang ada saat ini.
“Oke, kalau belum selesai. Kita akan bahas jawabannya besok. Karena waktu pelajaran Ibu sudah habis, jadi pertemuan kali ini cukup sampai di sini. Selamat siang.”
“Siang, Bu.” Semua siswa bersorak riang. Masing-masing dari mereka bergegas pulang.
“My, kalau pikiran udah buntu banget, tuh, cerita. Udah nggak anggep aku sahabatmu, ya, sampai diem mulu dari pagi.”
Myria yang masih sibuk menulis terganggu. Kepalanya terangkat untuk melihat Friska. Dia menjawab, “Kok, kamu ngomongnya gitu, Fris?”
Tidak peduli teman lain mulai meninggalkan kelas, Friska masih melanjutkan pertanyaan, “Habisnya kamu hari ini kayak bukan Myria yang biasa. Banyak diem dan ngelamun. Aku aja kamu abaikan.”
Jawaban Friska membuat Myria menghela napas. Gadis itu menegakkan posisi duduk, lalu berakhir menyandarkan diri di kursi. “Dari hari Ibu meninggal, aku nggak yakin bisa hidup sebaik-baiknya kayak apa yang dibilang Bu Guru kemarin. Aku masih menganggap kalau aku anak kecil, Fris. Umur kita belum ada 20 tahun, tapi aku udah ditakdirkan hidup sendiri.”
Wajah ketus Friska berubah perlahan-lahan usai mendengar sedikit kalimat dari Myria. Dia bisa lihat sahabatnya itu masih kalut dan sulit untuk bangkit. Andai ujian itu menimpa dirinya, Friska mengira akan merasakan kesedihan mendalam seperti itu pula.
“My ….”
Myria menoleh. Dua indra penglihatannya sudah berkaca-kaca, tetapi sebisa mungkin tersenyum. Dunia terasa begitu berat dijalani dengan badannya yang mungil. Dia yang masih belia dipaksa berdiri di atas kaki sendiri tanpa bisa menolak.
“Aku ada buat kamu.” Friska melanjutkan kalimatnya. Dia mendekat dan berakhir memeluk. Tak kuasa lagi untuk pura-pura, Myria menumpahkan segala beban yang menyesakkan dada beberapa hari pasca kematian sang ibunda.
“Aku bingung, Friska. Mau dibawa ke mana hidupku ini? Semua teman kita punya keluarga meski hanya satu atau dua orang, sedangkan aku?”
“My … jangan bicara gitu lagi. Keluargamu itu aku.”
Tak lagi menjawab, hal yang dilakukan Myria adalah meneruskan tangis. Dia ingin dadanya lega kembali setelah ini. Hidup memang kadang terasa tidak adil, tetapi kembali lagi bahwa sifat Sang Pencipta salah satunya ialah Maha Adil.
Puas menangis hampir satu jam dan mengakibatkan mata sembab, akhirnya Friska mengajak Myria pulang. Sesuai kesepakatan siang tadi di kantin, dua gadis itu ingin mencoba mencari pekerjaan. Toko bunga yang pertama kali mereka tuju.
Setelah masuk beberapa menit dan bertemu pemilik toko, ternyata Myria dan Friska keluar tanpa harapan. Tidak ada lowongan kerja sampingan karena tempat tersebut sudah memiliki karyawan. Dua gadis itu ganti pergi ke tempat lain. Namun, nyatanya memang tidak semudah itu mencari kerja. Sampai sore pun, mereka pulang sia-sia.
“Chat aku kalau udah sampek rumah.” Pesan terakhir dari Friska sebelum gadis itu naik angkutan lebih dahulu dibanding Myria. Sahabatnya itu pun mengangguk dan berdiri seorang diri di pinggir jalan untuk menunggu angkutan lain.
“Nggak pulang lo?”
Myria berjingkat saat mendengar suara orang lain di dekatnya. Dia menoleh dan mendapati Angkasa. Entah datang dari mana cowok itu, selalu saja muncul. “Ini mau pulang.” Myria menjawab santai demi menutup keterkejutan.
“Mau bareng nggak?”
“Nggak,” jawab Myria tanpa pikir panjang.
“Serius?”
“Dua rius.” Myria kembali menolak penuh kepercayaan diri.
Angkasa tak lagi bertanya. Dia melangkah pergi menuju motor yang teparkir di bahu jalan, sementara Myria memandanginya dari belakang. Baru dapat beberapa meter, cowok itu memutar tubuh secara cepat dan sukses membuat Myria kelabakan.
“Lo mau ikut nggak?” teriak Angkasa sekali lagi. Namun, apa yang didapat? Tetap saja penolakan dari Myria. “Bentar lagi ujan, lo mau basah kuyup di sini kayak kemarin-kemarin?” sambungnya lagi.
“Nggak sampek hujan, angkotnya pasti udah dateng.” Myria tetap ngeyel dengan pendapatnya. Dia sengaja tidak ingin tertipu lagi atas kebaikan Angkasa yang jelas-jelas ada maksud tersembunyi.
“Kayak dukun aja lo tau kalau angkot datang pas belum hujan.”
“Kasa!” Dari jarak beberapa meter, Myria memelototi teman sekelasnya itu. Angkasa tertawa miring dan memakai helm.
Mesin motor menyala hingga kendaraan melaju. Sampai di depan Myria, lagi-lagi Angkasa menawarkan diri. “Alergi lo sama gue sampai gak mau dibonceng?”
“Nggak.”
“Gue baikin nggak mau. Aneh lo, padahal kemarin oke-oke aja.”
“Males. Kamu modusin aku doang.”
“Modus apaan?”
“Pikir sendiri.” Myria melengos. Dia bergeser ke samping menjauhi Angkasa. Namun, tetap saja diikuti.
“Buruan naik!” Bukan mengajak lagi, melainkan Angkasa berubah memerintah.
“Nggak mau.”
“Gue tarik lo.”
“Kasa!” Myria nyaris mengentakkan sepatunya ke trotoar yang dipijak saat ini karena geram. Namun, tidak jadi. Dia menarik napas dan membuangnya pelan untuk mengontrol diri. “Kenapa kamu banyak ngomong kalau cuma berdua gini?”
“Karena gue tertarik sama lo.”
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Happyy
😚😚
2023-10-03
1
@ Teh iim🍒🍒😘
Waduh Angkasa nembak Myria
2023-09-03
0
Geta Andesiska
jujur banget c amu Kasa
2023-08-30
0