“Buruan!” Angkasa berdecak. Dia sampai turun untuk menarik Myria dan menyerahkan helm. “Nih, pakek juga.”
Tangan Myria terangkat ragu. Bahkan, sebelum menyentuh penutup kepala warna maroon yang diberikan, dia masih menyempatkan diri melihat Angkasa. Cowok itu membalas tatapan Myria dengan ekspresi sama. Tetap tidak ada senyum atau yang lain.
Motor melaju perlahan meninggalkan gang pemukiman penduduk sekitar sekolah. Myria di belakang terdiam sama seperti Angkasa. Meski sebenarnya di hati tentu bertanya-tanya akan dibawa ke mana, tetapi sebisa mungkin dia bersikap tenang.
Sekitar sepuluh menit berkendara, Myria mencoba cari tahu lokasinya sekarang. Dia sejak tadi mengamati jalan yang dilalui Angkasa, tetapi tidak terlalu paham. Saat mulai masuk area perumahan, tanda tanya di dalam kepalanya makin besar.
Akhirnya, cewek berseragam SMA itu menyeru, “Kasa, kita mau ke mana?”
Angkasa menoleh sedikit ke belakang, lalu kembali fokus melihat jalan di depan sehingga membuat Myria kembali menanyakan hal yang sama.
“Nyari kost. Elo butuh tempat tinggal, kan?”
“Iya, tapi aku enggak tahu daerah sini.”
Lagi-lagi Angkasa diam. Cowok itu terlalu irit bicara. Myria yang ada di balik punggungnya makin kebingungan.
Akan tetapi, kebingungan Myria harus terjeda karena Angkasa menghentikan kendaraan. Cowok itu berhenti di depan bangunan dengan banyak pintu yang terlihat seperti indekost.
“Ayo, jalan. Lo nggak pengin istirahat? Mandi-mandi gitu? Badan lo bau seharian nggak kena air.”
Mendengar omongan Angkasa, sontak, Myria mencium jilbab dan lengannya secara malu-malu. Dia jadi berpikir aneh-aneh, apakah sejak tadi cowok teman sekelasnya itu mencium bau tidak sedap? Namun, kenapa diam saja dan baru menyampaikan sekarang? Myria ingin mengubur diri karena kehilangan setengah harga dirinya.
Satu dari banyaknya pintu kamar kost yang tertutup, Angkasa mengarahkan diri ke pintu nomor dua dari kanan. Kemudian, dia mengeluarkan anak kunci dari saku. Myria yang melihat itu membuka mulut lebar-lebar.
“Kasa, kok, kamu punya kuncinya?”
“Kenapa? Keren, ya, gue?”
Myria makin syok. Di balik sikap yang pendiam, Angkasa ternyata memiliki kepercayaan diri yang terlalu akut hingga ke level narsis. Myria lupa jika cowok di depannya itu dahulu memiliki sikap yang mudah bergaul dan berisik. Mungkin sikap asli Angkasa memang demikian.
“Lo bisa tidur di sini malam ini. Daripada muter-muter nggak jelas. Besok yang punya kost dateng.”
Kunci diserahkan pada Myria. Tanpa bicara lagi, Angkasa beranjak keluar. Ternyata, teman sekelasnya mengikuti hanya untuk mengucap terima kasih.
“Gue yakin mulut lo nggak ember. Pasti nggak akan cerita ke anak-anak soal ini.”
“Um. Tenang aja.”
“Termasuk Friska. Awas aja kalau temen lo yang berisik itu bicara sembarangan.” Angkasa mengancam dengan nada rendah, tetapi wajahnya yang datar cukup membuat Myria menghela napas.
“Iya, iya, Saudara Narendra Angkasa Sastra,” jawab Myria setengah gemas. Dia sudah lelah berputar-putar mencari tempat tinggal, sekarang harus adu pendapat lagi.
Jawaban Myria tidak diacuhkan oleh Angkasa. Cowok itu kembali menghidupkan mesin dan melajukan motor lurus ke depan. Myria sempat termenung dan berpikir, apa rumah Angkasa ada di perumahan ini?
Daripada sibuk memikirkan hal tidak penting, lebih baik Myria bergegas mandi dan salat. Azan magrib telah terlewat dan sebelum waktu habis, dia harus segera menjalankan kewajiban sebagai muslim.
***
Kamar kost yang ditinggali Myria cukup nyaman sehingga bisa membuatnya tidur nyenyak. Entah karena faktor itu atau karena rasa lelah. Azan subuh membangunkan Myria. Dia bergegas salat lalu mengulang pelajaran yang telah dipelajari kemarin malam agar tidak hilang dari ingatan. Setelah itu, dia pikir akan berangkat sekolah lebih pagi karena harus mencari angkutan umum.
Menuju gerbang keluar area perumahan harus berjalan kaki. Mau tidak mau, Myria wajib melakukan itu. Namun, dia tidak mengeluh karena sudah terbiasa menggunakan kakinya untuk ke mana pun. Kendaraan tidak punya, dia hanya berharap tetap sehat agar kuat berjalan sejauh apa pun jarak yang perlu ditempuh.
Sampai sekolah, kondisi sudah cukup ramai. Myria kira, dia datang terlalu pagi. Namun, nyatanya tidak. Waktu standar pelajar sampai di sekolah.
Friska datang setelahnya. Gadis itu buru-buru menginterogasi Myria tanpa jeda.
“Aku baik-baik aja, Fris. Kamu juga lihat kalau aku masih utuh.”
“Udah dapat kost? Di mana?”
Belum sempat menjawab, Angkasa masuk kelas. Myria langsung kicep dan justru melamun karena memperhatikan Angkasa. Friska di sampingnya sampai diabaikan.
“My!” Panggilan terlontar bersamaan tepukan di lengan. Alhasil, Myria gelagapan.
“Ah, oh, itu. Ada pokoknya.”
Melihat Myria demikian, Friska mengerutkan kening. Dia nyaris bertanya lagi, tetapi sahabatnya sudah beralasan sibuk ingin belajar.
Pulang sekolah dan sampai kost, Myria mendapati wanita dewasa berjibab hijau sedang membersihkan kamar lain. Dia berhenti sebentar dan hendak menyapa. Belum sampai Myria menyapa, wanita itu sudah membalikkan badan lebih dahulu serta menghampiri.
“Kamu anak kost yang baru, ya, Nak?” tanya wanita itu sembari memperhatikan.
Myria mengangguk dan memberi senyum. “Iya, Bu. Saya yang baru masuk kemarin malam diantar Angkasa. Nama saya Myria.”
“Namamu cantik, ya, Nak. Sama seperti wajahmu. Nama Ibu, Nasita. Kamu bebas panggil apa saja. Panggil ibu kost, atau panggil bunda seperti anak kost lain, tidak masalah.”
Myria mengangguk-angguk lagi. Dia kemudian mengajak Nyonya Nasita ke kamarnya karena ingin menyerahkan uang sewa.
“Ibu harap kamu betah di sini. Kalau butuh bantuan atau yang lain, katakan saja. Ibu kasih nomor ponsel.”
Myria segera mengambil ponsel dari tas sekolahnya, lalu mengetik angka sesuai yang disebut Nyonya Nasita. Setelah itu, dia mencoba mengirim pesan instan agar nomornya diketahui pula oleh wanita dewasa itu.
Obrolan bergulir dan mengalir akrab. Beberapa penghuni kamar lain sempat lewat dan menyapa. Di penilaian Myria, Nyonya Nasita orang yang baik dan begitu ramah. Dia harap bisa betah dan dapat perlakuan baik ke depannya jika menyewa kost di situ.
“Angkasa bilang, kamu hidup sendirian. Apa benar?”
Myria sedikit terenyak atas pertanyaan itu. Namun, dia tak pikir panjang karena mungkin Angkasa memberi penjelasan sebelum menyewa. “Benar, Bu. Ibu saya baru meninggal seminggu lalu, dan ayah saya entah di mana. Dari kecil, saya tidak pernah tahu wajah beliau.”
Ekspresi Myria sedikit muram. Nyonya Nasita mengusap kepala gadis itu dengan pelan. “Tidak pa-pa. Kamu bisa anggap Ibu ini ibu kamu sendiri. Anak-anak yang di sini begitu, kok. Jangan sungkan, ya.”
Senyum Nyonya Nasita terihat begitu tulus. Baru kali ini Myria mendapat perlakuan dari orang lain begitu baik. Sebelum-sebelumnya, dia lebih banyak direndahkan.
“Terima kasih, Bu.”
“Ma, assalamualaikum.” Tiba-tiba Angkasa muncul dan menyalami Nyonya Nasita penuh kesopanan. Sementara wanita dewasa itu menyambut tak kalah senang. Beliau mengusap rambut Angkasa dan memeluk.
Myria yang melihat pemandangan itu terpaku karena tidak paham. Otaknya bekerja keras mencerna apa yang baru saja didengar. Dia hendak bertanya, tetapi terpikirkan bahwa itu terkesan tidak sopan dan terlalu ikut campur.
“Myria, Kasa adalah putra Ibu. Berhubung dia sudah sampai, Ibu pulang dulu. Kalau mau main ke rumah, boleh. Rumah kami di ujung gang ini.”
Myria melongo tak berdaya. Dia kira, Angkasa menolongnya tulus. Namun, nyatanya, sikap cowok itu semata mata untuk mendapat keuntungan pula.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
nuri
ntar jg kmu yg untung my...
2024-01-03
1
Qaisaa Nazarudin
Perhatian tapi kok dingin banget..
2023-10-27
0
Happyy
😎😎
2023-10-03
0