Bel pulang sekolah menjadi momen yang ditunggu para siswa setelah berkutat dengan pelajaran sehari penuh. Jarum jam di dinding berada di angka tiga. Myria bergegas membereskan buku dan alat tulis karena hampir satu kelas telah keluar, termasuk Angkasa. Gadis itu memang meminta sang suami bersikap wajar tanpa berlebihan meski sudah menikah.
“Kamu masih mau kerja di tempat Erika, My?” Suara Friska terdengar sampai bangku-bangku sebelah. Hati gadis itu masih panas gara-gara insiden jam istirahat tadi.
“Iya. Mau gimana lagi?”
“Nyari tempat lain, kek. Kamu bisa-bisanya temenan sama cewek modelan si Erika. Apa kehadiran aku nggak cukup buat hidup kamu, My?”
Selesai sudah memasukkan buku-buku ke tas. Myria berhenti dan menatap Friska dengan saksama. Dia membuang napas. “Temen, kan, boleh banyak, Fris. Kalau sahabat, cukup yang bisa dipercaya aja.”
Dapat jawaban demikian dari Myria, Friska mengalah. Dia tidak ingin adu mulut perkara beda pendapat dan merenggangkan hubungan persahabatan. Perlahan, tangan gadis itu meraih tangan Myria. “My, aku gini bukan bermaksud ngelarang. Tapi lihat, deh, si Erika tiba-tiba curiga sama kamu cuma gara-gara dihukum bareng Angkasa. Dia kelihatan enggak rela lihat cewek dekat Angkasa. Kamu mau berurusan sama hal kayak gitu?”
Myria melipat bibir. Dia memutar ulang ingatan yang baru saja terjadi beberapa jam lalu. Meski sempat tebersit pemikiran yang sama seperti Friska, tetap saja Myria berusaha netral. Dia tidak ingin mengotori hati dan pikiran atas praduga yang belum tentu benar.
“Udah, ah. Kita pulang aja dulu. Aku kemarin enggak kerja di catering. Kalaupun hari ini dipecat, ya, terima aja. Jadi kamu nggak perlu khawatir lagi, kan?”
Napas pasrah terembus pelan dari mulut Friska. Dia menggendong ranselnya dan berdiri, lalu meninggalkan kelas bersama Myria.
Angkutan yang membawa Friska telah hilang dari pandangan. Tinggal Myria seorang diri. Dia memang izin pada Angkasa untuk berangkat dan pulang sendiri tanpa dibonceng atau diantar sopir keluarga. Awalnya, mertua dan sang suami tidak terima, tetapi Myria bicara pelan-pelan mengutarakan alasan.
Ponsel bergetar. Myria lekas mengalihkan perhatian dan melihat nama Angkasa terpampang di layar. Dahi otomatis mengerut karena mengira suaminya sudah pulang lebih dahulu.
“Di mana lo?”
Suara sahutan dari seberang membuat Myria langsung beristigfar. Dia mundur dan menuju halte untuk duduk. “Nunggu angkutan.”
“Di halte?”
“Iya.”
“Tunggu di situ, gue susulin elo.”
Panggilan terputus sepihak. Padahal, Myria belum sempat menyahut. Tidak seberapa lama, cowok berseragam SMA sama dengannya telah tiba.
Myria mendekat. “Kan, udah bilang nggak perlu bareng. Aku masih mau ke tempat kerja.”
“Gue nggak ngasih izin lo kerja!”
Mata bulat Myria melotot. “Ka, tapi kemarin kamu nggak bilang gini.”
“Gue kira elo cuma nggak mau berangkat pulang bareng, ternyata masih nekad kerja. Nggak kapok lo dikejar preman?”
“Pulangnya bisa minta jemput kamu,” jawab Myria dengan langgam tenang karena berusaha mempertahankan pendapat.
Angkasa berdecak keras. Dia membuka kaca helm dan menatap intens Myria. “Masih berani ngomong terus elo, My? Nggak inget kata Rasulullah tentang ketaatan istri yang diminta sujud pada suaminya andai itu boleh?”
Myria kicep. Dia menunduk. “Ma–maaf.”
Mendapati wajah muram Myria, ketegasan Angkasa melemah. Dia membuang pandangan dan menghela napas. “Gue gini karena khawatir." Cowok itu menurunkan intonasi bicara. "Sebagai suami, mana tega hati gue biarin elo sibuk tanpa jeda. Sekolah seharian, masih mau kerja. Di rumah, elo tetap harus belajar lagi sambil ngurus gue. Ya, gue nggak nuntut diurusi, tapi apa pun itu, gue nggak setuju. Lo butuh uang? Tinggal bilang, nggak perlu susah-susah kerja lagi.”
Lalu lalang kendaraan tidak mengusik Angkasa sedikit pun untuk terus memberi nasihat. Meski kondisi sangat tidak tepat, tetapi cowok itu telanjur geram. Maka dari itu, Angkasa melampiaskan kekesalan di situ agar bisa membawa istrinya pulang. Beruntungnya tidak ada orang lain lagi di halte tersebut.
“Naik! Gue anter lo ke tempat catering buat pamitan ngundurin diri.”
Meski bukan kemauan hati, Myria menurut. Dia harus terima bahwa sekarang apa-apa yang akan dilakukan perlu persetujuan suami. Gadis itu naik perlahan ke boncengan dan memakai helm yang dibawakan Angkasa.
“Pegangan!” perintah Angkasa lagi.
Myria membisu. Dia masih tahu berada di mana sekarang. Lagi pula, sebelum menikah, Myria tidak terlalu dekat dengan Angkasa dan tidak semua orang begitu mudah menghapus kecanggungan.
“My.”
“Kasa, kita di sekolah. Maaf aku nggak mau.”
Angkasa diam. Dia lirik wajah istrinya dari spion beberapa detik, lalu menurunkan kaca helm. Pemuda itu mulai menyalakan mesin dan segera menarik tuas gas motor hingga kendaraan itu melaju.
Kepergian Angkasa dan Myria, ternyata tidak luput dari penglihatan Erika. Gadis dengan rambut legam itu sengaja membuntuti Angkasa sedari tadi. Dia awasi mantan kekasihnya dari parkiran sampai menguping pembicaraan di telepon. Dua tangan mengepal, Erika menatap penuh kebencian ke arah depan di mana motor Angkasa sudah melaju.
“Gue nggak percaya kalau mereka nggak ada apa-apa. Mana mungkin kalau cuma temen, tapi bisa boncengan gitu.”
“Tenang, Rik. Kebetulan aja kali. Angkasa emang dari dulu suka nolong, kan?”
Jawaban Risti tidak menenangkan hati sama sekali. Meskipun yang dikatakan benar perihal Angkasa suka menolong, tetap saja Erika curiga. Pikiran Erika masih menerka, benarkah sikap Angkasa kali ini murni tolong menolong?
“Nggak mau tahu gimana caranya, gue harus dapat jawaban soal mereka. Bantu gue cari tahu ada apa sebenarnya, Ris,” kata Erika sembari melangkah pergi. Dua kakinya mengentak trotoar jalan karena tidak terima atas apa yang baru saja disaksikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Alanna Th
salut atas sikap tegas kasa thdp erika. skali brkhianat cinta, sulit tobatnya
2024-02-23
2
Qaisaa Nazarudin
Calon2 Jalang,,Dia yg berkhianat tapi sekarang seakan dia yg tersakiti dan kd korban nya..
2023-10-28
1
Qaisaa Nazarudin
#Suami
#Tanggung jawab
2023-10-27
0