“Aaaa …!”
Teriakan histeris mengagetkan Angkasa. Pemuda itu langsung duduk dengan nyawa setengah melayang. Dua mata yang tadi terpejam langsung terbuka lebar. “Ada apa? Kenapa?” tanya Angkasa dengan wajah panik.
Myria yang sudah turun ke lantai mundur. Didekati Angkasa, gadis itu malah ketakutan.
“Lo kenapa , My?”
“Kasa, kamu ngapain aku semalem?” Myria bertanya dengan sentakan nada. Dua mata indahnya membulat penuh dengan raut wajah tidak bersahabat. “Kamu bilang nggak ngapa-ngapain, terus ini tadi apa? Kamu meluk-meluk aku?”
Angkasa mengacak rambut dengan dua tangan. Dia ingin marah, tetapi sadar jika Myria perempuan. “Bikin gue kaget aja.” Dia menyelonong kembali ke kasur dan duduk dengan benar. Kemudian, melanjutkan, “Lo ngigau kemarin malam. Gue awalnya nggak niat tidur, tapi liat lo gitu, ya, udah gue temenin.”
“Kenapa kamu nggak bangunin aku?” Myria menyela. Intonasi bicaranya masih tinggi dan enggan menerima penjelasan Angkasa begitu saja.
“Udah.” Angkasa menyanggah. “Udah, Myria. Tapi lo susah banget dibangunin. Lo terus manggil almarhum nyokap, tapi pas gue peluk, elonya diem. Ya, udah, gue nggak bangunin lagi. Nggak ada niat ngapa-ngapain gue. Swear, deh!”
Penjelasan Angkasa yang tidak hanya satu kalimat membuat Myria diam. Gadis itu masih setia berdiri di dekat ranjang dengan raut khawatir. Angkasa tidak mungkin memeluk untuk menenangkannya lagi atau akan jadi perang pagi-pagi.
“Udah jelas? Jam berapa sekarang?” Angkasa celingukan mencari ponsel. Ternyata benda pipih itu masih di sofa. Suara televisi yang menyala pun memaksa pemuda itu bangkit dan meninggalkan tempat tidur.
“Hampir jam lima, My. Mandi terus wudu, gih!”
“Astaghfirullah.” Gara-gara syok dipeluk Angkasa, Myria lupa untuk segera beribadah. Dia lekas ke kamar mandi untuk berwudu seperti perintah suaminya.
Angkasa di luar membereskan kekacaun di kamar. Dia memunguti sampah dari lantai, mematikan televisi, dan hendak melipat selimut. Namun, belum sampai selesai, Myria telah keluar dan memintanya untuk wudu.
“Biar aku yang bereskan.”
“Nanti aja. Ambil alat salat lo di tempat kemarin. Kalau mau salat di musala rumah, keluar kamar ini belok kiri lurus aja nanti ketemu. Kalau mau di kamar, gelar sajadah di situ.” Satu space yang biasa dipakai Angkasa beribadah ditunjuk. Pemudai itu tidak bicara apa pun lagi dan langsung masuk kamar mandi.
Myria mengamati tempat yang dimaksud Angkasa. Dia bergegas mengambil mukena dan sajadah dari stand hanger di mana pakaiannya disiapkan kemarin. Setelah itu, dia menyiapkan tempat salat.
“Kasa sering salat berjamaah nggak, ya?” Pertanyaan itu muncul di kepala Myria ketika dia menyentuh sajadah yang biasa dipakai Angkasa. Akan tetapi, kalaupun sering berjamaah, pagi ini subuh telah terlewat. Orang-orang di masjid dipastikan sudah bubar.
Daripada pusing dan memikirkan hal yang memakan waktu, Myria segera fokus dan menyiapkan tempat untuk Angkasa di depannya.
“Lo mau jadi makmum gue?”
Myria menoleh bersamaan Angkasa keluar dari kamar mandi. Pemuda itu sudah terlihat segar dan pakaian telah rapi.
“Iya. Kamu, kan, imamku.”
Bibir Angkasa mengukir senyum. Lesung pipinya terlihat jelas dan menambah kadar kemanisan yang ada pada dirinya. Dia maju dan mengusap kepala Myria. “Thanks, istri gue satu-satunya.”
Myria menunduk. Ada rasa hangat yang muncul tiba-tiba dari dada ke pipi. Angkasa melihat itu justru menahan tawa.
Tidak ada waktu lebih banyak untuk menggoda Myria, Angkasa segera menempatkan diri dan menunaikan ibadah untuk pertama kali bersama sang istri. Ketika pasangan lain yang baru menikah mungkin malam pertama sudah diisi salat sunah lebih dahulu sebelum ke hal intim, tetapi berbeda dengan pasangan muda ini. Mereka salat bersama di salat wajib.
Dua rakaat selesai dengan penuh kekhusyukan. Angkasa dan Myria sama-sama berzikir dan memanjatkan doa masing-masing setelahnya. Dua insan itu kemungkinan memiliki mimpi yang sama tanpa berani mengungkapkan secara langsung.
Tubuh Angkasa berputar 180 derajat. Dia menghadap Myria yang juga memandang padanya. Cowok itu diam beberapa detik dan balas memandangi istrinya tanpa kata.
“Kasa.”
“My, dengerin gue.”
Dua mata bulat yang ditumbuhi bulu mata lentik itu mengerjap teratur. Myria mengangguk tanpa menyela. Dia harus belajar memosikan diri kapan jadi istri dan teman bagi Angkasa.
“Gue tahu kalau kita masih begitu muda. Gue juga sadar kalau ilmu agama gue nggak seberapa. Tapi, gue mau ngajak lo sama-sama belajar. Papa ngasih nasihat kemarin kalau pernikahan itu ibadah terlama, di mana butuh kekompakan, butuh juga satu pikiran. Ntar atau kapan itu andai gue salah, lo bisa ingetin. Tapi dengan catatan, gue nggak suka lo ninggiin nada bicara.”
Fokus Myria masih di satu titik. Dia pandangi wajah Angkasa yang tampak lebih dewasa jika bicara demikian. Entah dapat dari mana pemikiran yang diutarakan sang suami, Myria tetap menghargai itu. “Ya, insyaallah.”
Senyum muncul di wajah Myria lalu menular pula pada Angkasa. Cowok itu mendekat sedikit dan berkata, “Gue tahu ini telat, seharusnya udah dari kemarin malam gue lakuin ini. Tapi daripada enggak sama sekali, gue tetep mau lakuin.” Tangan Angkasa terangkat dan berhenti di atas kepala Myria tepat di ubun-ubun, sementara tangan lain menengadah.
Myria tahu situasi itu segera menunduk dan ikut mengangkat tangan.
“Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih, wa a’udzubika min syarri haa wa syarri maa jabaltahaa ‘alaih.” Doa mengalun lirih dari bibir Angkasa. Keheningan seolah menyelimuti kamar yang sempat riuh kemarin malam. Udara sejuk di pagi hari begitu mendamaikan hati layaknya embun yang menetes dari dedaunan.
Jam terus berputar. Orang-orang telah disibukkan dengan urusan masing-masing. Myria turun dari kamar dan langsung ke dapur.
“Bi, aku bantu.”
“Ah, Non, tidak perlu. Sebentar lagi selesai.”
“Tidak pa-pa, Bi.”
Myria memaksa, dua asisten rumah tangga yang ada di dapur itu agak canggung untuk memberinya pekerjaan. Namun, karena didesak terus menerus, akhirnya mereka pasrah.
“Tuan Muda lebih suka sarapan roti daripada nasi, Non. Jadi nasi goreng ini untuk Nyonya dan Tuan saja. Kalau Non Myria mau apa?”
“Oh, aku suka apa aja, Bi.”
Dua asisten rumah tangga itu tersenyum ramah. Salah satunya menimpali, “Kalau begitu, Nona bisa memilih. Bibi ambilkan tempatnya.”
Piring sudah tertata rapi. Menu sajian untuk sarapan telah lengkap dan siap disantap. Dibantu dua pekerja rumah, Myria mengangkat makanan itu ke meja makan.
“Sudah, Nona jangan capek-capek. Nanti kami dimarahi Nyonya dan Tuan. Non Myria panggil Tuan Muda saja, ya.”
“Aku udah di sini.” Angkasa menyahut. Ternyata, pemuda itu sudah berjalan mengarah ke meja makan. Entah sejak kapan datang, orang-orang dari dapur tidak ada yang mendengar.
“Oh, Tuan Muda sudah di sini. Silakan sarapan kalau begitu.” Dua pekerja itu mundur dan hendak kembali ke belakang.
Myria hendak ikut lagi, tetapi ditahan Angkasa. “Ke mana lo?”
“Ambil minumnya.”
“Udah sini aja. Bibi bisa ambilkan itu.”
“Tapi ….”
“Kalau lo pengin sibuk, mending sibukin diri lo buat layani gue. Olesin selai ke roti itu, kek, atau suapin gue sekalian.”
Myria mendelik, tetapi tidak mungkin berteriak apalagi debat.
“Nggak mau pahala, lo?”
Luntur sudah kekesalan Myria jika membahas status. Akhirnya wajah yang sempat tegang itu harus dipaksa tersenyum manis. “Baik, Tuan Muda Narendra,” jawab Myria dengan suara lembut setengah menahan geram. Namun, itu justru membuat suaminya bahagia pagi-pagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
‼️n
" Enggeh ndoro.....!".....🤭
2023-10-21
0
Geta Andesiska
gila aku di buat senyu2 terus wkwkwk
2023-08-31
0
biru langitt
kak lanjutkan ceritanya mpe tamat
2023-03-12
0