“Mama jangan khawatir, aku pasti baik-baik aja, Ma. Sudah, ya, aku mau mandi.”
Belum selesai sang ibunda bicara, Angkasa lebih memilih menuju kamar. Dia harus bersih-bersih setelah hampir setengah hari berada di bengkel yang penuh asap kendaraan atau kotoran lain. Menjadi siswa tingkat akhir di sekolah SMA, tidak membuat Angkasa sibuk belajar. Dia masih sering mondar mandir ke bengkel saat hari libur.
“Tu cewek baik-baik aja, kan?” Baru saja meletakkan ponsel di meja belajar, Angkasa teringat Myria. Tidak biasanya dia peduli akan orang lain sampai demikian. Namun, entah mengapa, sejak melihat wajah Myria yang bersedih tadi, ada sedikit rasa tidak nyaman di dada. “Sudahlah, nanti juga pada ribut di GC kelas.”
Air membasahi tubuh Angkasa. Dia mengguyur dari rambut sampai ujung kaki. Setiap mata terpejam saat dapat siraman, bayangan kecelakaan melintas di pikiran. Kepala Angkasa selalu dipenuhi akan kejadian tahun lalu yang mengakibatkan dirinya koma dua pekan dan hilang selera menikmati hidup setelah sadar.
Nyonya Nasita sebagai ibu tidak mengizinkan Angkasa mengendarai motor seperti dahulu apalagi balapan. Saat ditanya, beliau akan menjawab takut kejadian yang menimpa putra pertamanya, terjadi pula pada Angkasa. Hal itu makin membuat Angkasa merasa tertekan. Belum lagi, kehilangan pacar di waktu bersamaan.
Akan tetapi, menyadari kesedihan sang ibunda sejak kehilangan sosok kakak di hidupnya, Angkasa tidak pernah bisa membantah. Dia jadi penurut meski harus menelan sepi karena menjauh dari teman-teman yang satu hobi dan tidak lagi berpacaran.
“Kasa.”
Suara dari luar menyadarkan Angkasa agar segera menyelesaikan urusan. Dia matikan shower dan menyambar handuk dari gantungan. “Ya, Ma!” teriaknya dari dalam serta bergegas membuka pintu.
Ketika pintu terbuka, segelas susu telah ada di depan Angkasa. Siapa lagi kalau bukan sang ibunda yang membuatkannya.
“Ma, enggak perlu repot-repot. Aku bisa buat sendiri. Lagi pula ini masih sore, masa sudah harus minum susu?”
“Kamu pernah patah tulang, jadi apa salahnya kalau lebih sering minum susu?”
“Tapi kebanyakan laktosa juga kurang baik, Ma.”
Nyonya Nasita terdiam, tetapi tetap meletakkan gelas ke meja belajar putranya. Wanita bergaun rumah bunga-bunga itu mendekat dan mengacak rambut Angkasa. “Mama hanya khawatir padamu, Kasa.”
Angkasa mengatupkan bibir lalu mengangkat tangan dan menarik lengan sang Mama. “Ma, apa yang terjadi pada Kakak adalah takdir. Jangan terus memandang hal sebuah keburukan. Aku tahu, seberapa sakitnya Mama waktu dia pergi, tapi sekarang ada aku, Ma. Kita cuma bisa doakan dari sini.”
Setiap kali membahas mendiang putra sulungnya, Nyonya Nasita tak mampu menahan air mata. Sebanyak apa pun waktu berlalu, bumi yang dipijak berputar dan siang berganti malam, tetap saja tidak menghapus kesedihan. Kehilangan sosok keluarga adalah luka yang tidak akan pernah sembuh meski bibir sudah bisa menyulam senyum.
Angkasa mengusap pipi sang ibunda, lalu memberi senyuman lembut. “Mungkin aku enggak sehebat Kakak, tapi aku berusaha jadi anak yang baik. Mama bisa lihat, aku enggak lagi balapan sama anak-anak, kan? Mama ingin apa lagi? Aku siap buat penuhi.”
Tatapan mata setenang telaga yang diberikan Angkasa mampu menghentikan lelehan air dari mata Nyonya Nasita. Wanita itu menumpu punggung tangan putranya, lalu membalas senyum yang diterima. “Jadilah baik sesuai versimu sendiri, Kasa. Mama tidak pernah memaksa seperti kakakmu. Meski kalian lahir dari rahim yang sama, Mama tahu kalau kalian tentu berbeda.” Beliau menghirup oksigen cukup banyak. “Minum susumu dan jangan lupa nanti turun untuk makan malam.”
Pintu kamar tertutup. Angkasa bergegas meminum susu buatan ibunya. Setiap tegukan yang masuk perut, saat itu pula dia ikut menelan pilu. Sekokoh apa pun hati lelaki, tetap akan rapuh kala melihat wanita yang berharga di hidupnya menangis. Tidak terkecuali Angkasa. Dia merasakan duka mendalam setiap mata sang ibunda memandangnya.
Tidak jauh berbeda dari keadaan Angkasa yang tengah bersedih, Myria sama-sama merasakan hal demikian. Ditinggalkan satu-satunya orang yang selalu ada di hidupnya selama 18 tahun adalah luka. Dia yang biasa berbagi semua hal pada ibunya, kini tak bisa lagi. Tuhan telah menetapkan jatah hidup ibu Myria cukup sampai sang anak beranjak dewasa.
Setelah makan malam bersama keluarga Friska, Myria sibuk menyalin pelajaran yang sempat tertinggal beberapa hari lalu. Dia memutuskan untuk bersekolah besok karena takut makin tertinggal nanti. Sebenarnya, jatah cuti yang didapat dari pihak sekolah masih tersisa dua hari, tetapi Myria rasa tidak membutuhkannya lagi. Lagi pula, dia tidak ada hal yang dikerjakan.
“Kamu enggak bohong soal pertanyaanku tadi, kan, My?”
Jemari Myria berhenti menulis. Dia mendongak pada Friska yang sedang mengambil tas dari dinding. Myria bertanya, “Pertanyaan apa? Beneran, kok, aku diusir.”
“Bukan soal itu, soal … eum Angkasa. Ya, dia. Apa benar nganter kamu?”
“Iya. Aku juga enggak tahu dia dari mana. Kebetulan aja ketemu.”
Friska manggut-manggut sebagai tanda memahami pembicaraan sahabatnya. Namun, tidak cukup sampai di situ, dia kembali berujar, “Ngobrol apa sama dia?”
Pertanyaan Friska lagi-lagi membuat Myria menghentikan kesibukan belajar. Dia menggeleng. “Enggak ngobrol sama sekali. Kamu juga tahu, Fris, kalau si Kasa enggak kayak dulu. Habis kecelakaan kelas dua itu, kan, dia udah nggak banyak ngomong. Anak-anak sampai enggak ada yang berani ganggu dia kalau lagi tidur, kan?”
“Bener juga.” Friska mengetuk-ngetuk dagunya sendiri dengan telunjuk. Dia tampak berpikir atas apa yang dibicarakan bersama Myria.
“Sudahlah, ngapain, sih, bahas dia? Besok juga ketemu di sekolah.”
Tak lagi menyanggah, Friska ikut bergabung dan mempersiapkan pelajaran. Sesekali dia harus memberi penjelasan kala Myria bertanya tentang catatan yang dia tulis kemarin-kemarin. Namun, itu bukan hal sulit untuk memberi pengertian pada sahabatnya. Myria sosok yang mudah mencerna suatu hal.
Alarm ponsel berbunyi bersamaan dengan azan subuh yang terdengar. Myria tersadar secara perlahan sembari mencoba menggapai ponselnya yang ada di meja kecil dekat ranjang.
“Friska, sudah subuh. Salat,” kata Myria sembari menggoyang tubuh sahabatnya. Kemarin malam, dua gadis itu tidur terlalu larut karena banyak mengobrol selepas belajar. Alhasil, rasa kantuk belum sepenuhnya pudar saat waktunya bangun.
“Duluan aja, My.” Jawaban Friska terlontar seiring gerakannya membalik tubuh membelakangi Myria.
Melihat Friska masih keberatan bangun, Myria memilih salat lebih dahulu. Dia tinggalkan Friska dan akan membangunkannya lagi.
Saat menuju kamar mandi yang ada di belakang, secara kebetulan Myria bertemu ibu Friska. Dia menyapa, tetapi tanggapan wanita dewasa itu hanya tatapan datar. Entah itu hanya asumsi atau memang beliau kurang suka atas kedatangan Myria di rumah itu.
Diremehkan bahkan dibenci orang lain bukan hal baru bagi Myria. Dia alami hal itu sedari kecil sampai tumbuh menginjak usia jelang dewasa. Status anak pedagang kantin dan orang miskin memang menjadi penyebab orang-orang menilai sebelah mata. Bukan sesuatu yang langka di dunia ini jika yang lemah akan mudah tertindas dan sulit membela diri.
Selepas salat dan berhasil membangunkan Friska, Myria ganti bersiap ke sekolah. Hari sebentar lagi terang dan dia harus menuju tepi jalan untuk naik angkutan umum. Namun, sebelum berangkat, sarapan telah siap di meja makan.
“Myria kapan cari indekost?” Di tengah kegiatan sarapan, ibu Friska berceletuk hingga Myria dan anaknya berhenti menyuap makanan ke mulut.
“Bu, Myria masih berduka. Kenapa buru-buru cari kost? Biarkan di sini saja.” Friska yang menjawab.
“Bukan Ibu tidak mau, Fris. Tapi kamu juga tahu kalau keluarga kita ini juga tidak punya banyak persediaan bahan makanan.”
Jantung Myria berdegup mendengar itu. Makanan yang masih di mulut terasa berat untuk ditelan. Dia paham maksud ibu Friska tanpa dijelaskan.
“Bu—”
“Tante, nanti pulang sekolah, aku keliling cari indekost.” Secara cepat, Myria memotong kata-kata Friska. Meski sahabatnya mendelik dan terlihat tidak terima, tidak ada yang bisa Myria lakukan.
“Syukurlah kalau begitu. Bukan maksud Tante mengusir, tapi kamu juga tahu kalau kondisi keluarga ini tidak lebih baik dari kondisi ibumu dulu.”
Myria mengangguk dan tersenyum getir. “Aku paham, kok, Tan. Makasih sudah diizinkan menginap dan makan dari kemarin.”
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Happyy
😥😥😥
2023-10-03
0
iecha fathir
😭😭😭😭
2023-09-21
0
Geta Andesiska
kasiaaan 🥺🥺🥺
2023-08-30
0