Siang ini, mentari di kota Bekasi bersinar amat terik. Safa mendatangi sebuah kedai makanan bertema saung. Beberapa waktu tadi, ia menerima panggilan telepon dari wanita yang pernah ia tolong dulu.
Awalnya dia heran, tahu nomornya dari mana wanita paruh baya itu. Namun, ia tak ingin banyak bertanya. Toh, Beliau orang baik. Dan hanya ingin mengajaknya bertemu di luar jam kerja. Tidak masalah.
Gadis berhijab biru muda itu berjalan di sebuah jalan setapak di sisi kolam. Seorang wanita cantik walau usianya sudah tidak muda lagi melambaikan tangannya sebentar yang di sambut senyum Safa.
"Assalamualaikum, Bu."
"Walaikumsalam warahmatullah. MashaAllah, senangnya bisa ketemu kamu lagi." Bu Ayattul langsung memeluk tubuh Safa.
"Saya sempat terkejut saat menerima telepon dari Ibu. Nggak nyangka aja–" Safa tertawa.
"Hahaha, sebenarnya saya dapat nomor kamu dari kepala sekolah tempat kamu mengajar. Maaf kalau ibu lancang."
"Enggak, kok, Bu. Aku hanya terheran-heran saja. Karena kita nggak pernah ketemu sebelumnya. Berarti ibu kenal Bu Fajriah?" Tanyanya, yang belum paham seperti apa wajah Ditjen GTK tersebut. Bu Ayattul hanya tersenyum sebelum memanggil pelayan untuk melayani pesanan mereka.
Beberapa menit berlalu. Safa hanya memesan Es kelapa muda saja. Ia tidak enak hati untuk memesan makanan. Walau sudah di paksa namun ia tetap tidak mau. Hingga Bu Ayattul pun sama. Beliau hanya memesan minuman dingin saja untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
"Kamu pasti heran, kenapa saya sampai meminta kamu untuk bertemu disini," tuturnya sambil mengaduk minuman menggunakan sedotan.
Safa baru menyadari tubuh ramping Bu Ayattul terbalut baju batik dinas. Apa mungkin Beliau juga guru?
"Sedikit, Bu. Apakah ada hal penting? Sampai-sampai Bu Ayattul meminta nomor saya ke Bu Fajriah."
"Sebenarnya ada. Ini berkaitan dengan hal pribadi."
"Maksud, Bu Ayattul?" Safa mengangkat satu alisnya.
"Ibu langsung aja, ya, ngomong-nya. Jujur Ibu takut, akan menyinggung kamu."
Safa bergeming. Bagian keningnya berkerut.
"Semua udah ibu pikirkan matang-matang. Dan ibu sadar ini pasti bakalan nggak sopan, Nak."
"InshaAllah, enggak papa, Bu." Safa menunggu, ia duduk dengan posisi amat sopan.
"Kamu belum menikah, kan?" Tanyanya. Safa menggeleng pelan.
Wanita di hadapan Safa kembali terdiam untuk menyiapkan kata-kata. Dalam hati menyimpan kekhawatiran. Alih-alih mendapatkan hati gadis itu untuk anaknya. Kalau Safa malah jadi tersinggung bagaimana?
"Ibu?" Panggil Safa lirih hingga membuyarkan lamunan wanita di hadapannya.
"Begini. Ibu mau cerita sedikit, ya. Tentang seorang pemuda yang memiliki nama besar di kancah hiburan. Ia tak hanya memiliki nama beken dikalangan anak-anak muda. Namun, dibalik ketenarannya ia justru terjerumus dalam lubang hitam."
Safa mendengarkan dengan cermat. Walau ia belum paham, arah pembicaraan ini kemana. Namun, ia berusaha untuk tetap mendengarkan.
"Pertanyaan ibu, apa laki-laki seperti itu masih berhak mendapatkan kebaikan dari Allah SWT."
Gadis berjilbab panjang itu tersenyum manis. "Semua orang berhak mendapatkan kebaikan, Bu. Juga kesempatan untuk berubah."
"Tapi, bagaimana kalau dia benar-benar pelaku dosa besar? Karena yang ibu tahu, manusia baik-baik hanya akan berpasangan dengan manusia yang baik-baik juga."
"Tidak semua..., terkadang manusia di beri pasangan yang mana pasangannya itu di jadikan ujian untuknya. Contoh, Nabi Nuh as, dan Nabi Luth as. Istri mereka Durhaka padahal Suaminya adalah Nabi. Contoh lainnya, Asiyah yang beriman kepada Allah ia justru mendapatkan Fir'aun yang terlaknat. Intinya, kita tidak bisa menafsirkan kata-kata yang baik maka akan mendapatkan yang baik, dengan pemikiran kita. Baik bagi Allah terkadang tak terlihat baik bagi kita. Ini hanya faktor sudut pandang saja. Mau melihat kebaikan itu dari sisi mananya."
"Jadi semua orang boleh berharap untuk mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik di atasnya?"
"Tentu, Bu. Karena manusia tidak berhak memvonis dosa seseorang. Allah SWT lebih berhak menilai orang bukan mahluk. Kalau jodoh, mau bagaimana lagi."
Bu Ayattul tersenyum lega. Semoga ini adalah awal untuknya bisa menjodohkan Arifin dan Safa.
"Nak..," tangan Bu Ayattul menggenggam tangan Safa. "Menurutmu, apakah masa lalu dari orang yang akan jadi pendampingmu itu penting?"
"Emmm, tergantung, Bu. Kalau dia sekarang sudah baik sesuai kemauannya. Maka akan baik pula jalan kedepannya. Karena, Safa itu perempuan. Yang harus di didik juga oleh pasangan Safa nantinya."
"Begitu, ya?" Bu Ayattul kembali kehilangan harapan.
"Maaf, kalau boleh tahu. Kenapa Ibu berkata seperti ini?"
"Sebenarnya, ibu mau mengenalkan kamu sama anak Ibu. Tapi ibu takut, kamu akan menolaknya. Karena dia bukan anak yang alim dan paham agama," tuturnya. Safa sendiri hanya diam saja. Menggigit bawah bibirnya. "Tapi, ibu berharap sekali. Kamu mau berkenalan dengan anak ibu itu."
Di luar dugaan, pernyataan itu lantas membuat Safa tercenung. Sudah beberapa saat berlalu, gadis di depannya tak menjawab selain menyedot isi buah kelapa utuh di hadapannya. Apakah dia tersinggung karena ini...
"Ibu benar-benar minta maaf, Nak Safa. Mungkin kamu sudah tersinggung karena pernyataan mendadak ini. Apalagi, kita belum saling kenal terlalu jauh. Ibu hanya merasa jatuh hati pada akhlakmu. Dan amat teringin mendapatkan menantu seperti kamu."
"Safa bukan tersinggung. Hanya bingung ingin menjawab apa. Safa juga merasa gugup, Bu."
Wanita paruh baya itu tersenyum. "Tempo hari saya bertemu Ayahmu dalam acara rapat. Dan, saya juga janji mau mendatangi keluargamu. Kita akan bicarakan ini lebih dalam. Sekalian, kamu bisa melihat anak ibu."
Sepertinya ibu Ayattul benar-benar serius. Tapi seperti apa anak laki-lakinya. Apakah cerita pemuda tadi merupakan gambaran putranya? Kalau ternyata iya?
Mereka masih melanjutkan pembicaraan hingga tak terasa sudah terlewat waktu satu jam. Sehabis berbincang merekapun pergi ke tujuannya masing-masing.
🍃
🍃
🍃
Setelah beberapa hari mendekam di tahanan. Arifin mendapatkan keringanan hukuman. Permintaan untuk rehabilitasi di setujui. Arifin bisa bebas dengan syarat wajib lapor. Ia juga masih dalam pengawasan BNN. Serta wajib tinggal selama sekurang-kurangnya satu bulan di rumah rehabilitasi. Demi menghilangkan ketergantungannya pada obat-obatan terlarang ity.
Dalam perjalanan dari rumah rehabilitasi, Bunda tak banyak bicara. Suasana mobil hening. Tak da yang berbicara satupun. Sebuah helaan nafas terdengar seraya tangan Bunda menyerahkan selembar foto untuk putranya.
"Namanya, Safa..., hari ini kita akan langsung ke rumah orang tuanya. Untuk melamar."
"Apa? Sekarang juga?" Arifin tercekat ketika mendengar perkataan ibunya baru saja.
"Kamu udah sepakat sama, Bunda!"
"Ya, tapi nggak sekarang juga, Bun? Arifin baru keluar dari rehabilitasi. Biarlah Arif berpikir dulu. Menikah nggak seperti kita mencari barang kesukaan. Arif harus siap lahir dan batin." Bantahnya tanpa melirik apalagi menyentuh foto yang tergeletak di pangkuannya.
"Bunda nggak peduli. Keputusan Bunda udah tepat. Kita akan datangi keluarganya dan melamar putrinya untukmu."
"Tapi, Bun?! Please...!" Arifin terlihat frustasi dengan permintaan ibunya. Sementara Bu Ayattul tak lagi menggubris rengekan anak semata wayangnya. Ia tetap teguh pada janjinya untuk datang siang ini ke rumah Ulum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀senjaHIATᴳ𝐑᭄⒋ⷨ͢⚤🤎🍉
benar2 seperti langit dan bumi kelakuan afin dan shafa😔
2023-07-01
0
Nurmalia Irma
yaaa ampuun thoor...kalau sudah baca karya islami karyamu aku suka jafi
2023-04-07
2
meE😊😊
bner2 ujian yg berat klo shafa mnikah ssma arif..smoga km bs sbar ya fa n mnjdii ladangg pahala mu
2023-04-04
0