Dalam kesedihannya, gadis itu tertidur semalaman tanpa sadar di atas alas sujud. Dan terjaga di pukul tiga pagi. Memang seperti apapun kondisinya, alarm dalam tubuhnya selalu aktif untuk membuatnya terbangun di jam-jam tersebut. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, yang membuat Safa sudah tidak merasakan kesulitan untuk bangun di malam hari.
Ia selalu ingat sebuah nasihat, bahwa Allah SWT selalu datang ke langit bumi untuk menemui hamba-hambaNya yang terjaga di waktu sepertiga malam. Menanyakan, apa para hambaNya menginginkan ampunan? Ataukah ada hajat yang ingin di penuhi?
Bukankah itu bentuk kasih sayang Allah untuk para pejuang Tahajud. Menemani mereka, mendengarkan rintihan mereka. Bahkan mengamalkan istighfar paling baik pun di bacakan di waktu sebelum subuh.
Dialah Allah yang tanpa pernah absen sekalipun, walau hanya sedikit orang yang terjaga, untuk mengadu kepadanya. Allah akan tetap hadir menemani para hamba-hambanya setiap malam.
Dalam kamar Aida yang berada di ruang tengah. Ia mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Wanita itu pun terjaga, setelahnya duduk menghalau kantuk. Menoleh sejenak ke sisi kiri, tempat Ulum tertidur di sisinya menghadap ke arahnya seraya memeluk guling.
"Hoaaaaam... Astaghfirullah al'azim." Aida menutup rapat-rapat mulutnya dengan satu tangan, kemudian turun dari ranjang mereka tentunya setelah mendengar langkah Safa yang baru saja melewati pintu kamarnya dan Ulum.
Biasanya, Aida jarang bangun tengah malam. Ia akan bangun sepuluh menit atau bahkan tiga puluh menit sebelum subuh. Tapi untuk malam ini, entah mengapa tubuhnya terasa segar hingga ia memutuskan untuk sholat malam saja.
Sehabis mengambil air wudhu, Aida kembali membuka gorden kamarnya hendak masuk. Namun, sejenak ia mendengar suara sesenggukan dari kamar depan. Ya, kamar Safa.
Safa nangis?
Terdiam sejenak, lalu berjalan pelan sebelum mengintip kedalam kamar anak sulungnya itu. Safa masih berada di dalam sholatnya pada posisi berdiri.
Anak itu memang biasa menangis ketika sholat malam. Beruntungnya kamu, Nak. Yang memiliki hati lemah lembut. Hingga mudah menangis ketika sholat.
Aida tak ingin mengganggunya yang sedang khusyuk berduaan dengan Rabbnya dalam sholat. Ia pun memilih untuk kembali ke kamar dan menjalankan sholat malam juga seperti Safa.
Mentari pagi menyapa...
Keluarga sederhana itu kembali di sibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Aida memasak, Safa membantu ibunya setelah selesai mencuci pakaian. Qonni membersihkan ruang tengah dan ruang tamu. Sementara Ayah Ulum membersihkan pekarangan rumah mereka dan di susul mencuci tiga unit motor yang biasa di pakai Beliau dan anak-anaknya.
Gadis dengan bergo tak begitu panjang hanya sebawah dadanya itu nampak sedang memotong-motong terong ungu di meja makan. Sementara Aida sedang membuat adonan perkedel kentang yang sudah siap untuk di goreng.
"Nduk, terongnya di goreng dulu, sini. Nanti minyaknya mau ibu buat goreng perkedel soalnya," titah Aida tanpa menoleh, tangannya yang sejak tadi menguleni adonan kentang terangkat untuk mencicipi rasanya sebelum di beri telur.
Merasa tak mendapatkan respon, wanita paruh baya itu menoleh ke belakang.
"Safa?" Panggilnya lagi dengan nada pelan. Sama seperti tadi, Safa masih terdiam. Bahkan tatapannya terlihat kosong sambil memotong terong ungu. "Baitus Safaaaa–"
"Ya?" Safa yang sedikit terkejut tak sengaja mengiris sedikit kulit jari telunjuk sebelah kirinya. "Aaaaah..."
"Astaghfirullah, kamu ngelamun, Fa?" Aida langsung mendekati putrinya dengan tangan yang masih terkena adonan.
"Astaghfirullah al'azim," gadis itu meringis kesakitan.
"Kamu kenapa sih, lagi motong terong sambil ngelamun gini? Apa yang kamu pikirin?"
"Eng–enggak, Bu. Nggak ada yang Safa pikirin, kok." Gadis itu beranjak untuk mencuci tangannya yang mulai keluar banyak darah.
"Darahnya banyak sekali. Agak dalam kayanya." Aida turut meringis melihat luka di jari putrinya itu. "Qonni...! Nduk sini, Nduk! Ambilin obat merah sama plester!"
"Udah nggak usah, Bu. Biar Safa aja yang ambil sendiri." Si pelita indah di rumah itu tersenyum pada ibunya yang terlihat khawatir. Hingga terdengar suara langkah kaki mendekati.
"Kenapa, Bu? Qonni kurang jelas tadi, dengernya..." gadis itu berlari kecil sambil memegangi alat bersih-bersih ketika mendengar ibunya memanggil.
"Nggak papa, Dek. Mbak aja, kamu lanjutin aja pekerjaanmu." Safa melewati adiknya di depan pintu.
"Astaghfirullah! Darahnya banyak sekali, mbak kena pisau?" Qonni langsung menyusul kakak perempuannya itu.
"Iya, tapi nggak papa, kok."
"Biar Qonni bantu obatin, Mbak duduk sana. Gini-gini Qonni kan punya cita-cita jadi perawat, walaupun akhirnya nggak jadi sekolah perawat."
Safa tersenyum ia mengangguk pelan dan duduk di kursi ruang tamu. Membiarkan sang adik tengah sibuk mondar-mandir mengambil kotak obat.
"Mbak Safa tenang aja. Tanganku udah bersih, kok." Dengan cekatan gadis itu duduk di sebelah Safa, meraih tangan Kakaknya dan membuka jari yang terbungkus kain untuk menghentikan pendarahan.
"Nggak terlalu dalam, 'kan?" Tanya Safa.
"Nggak sih, cuma dikit," jawabnya sambil mengoleskan obat merah setelah di bersihkan dengan cairan pembersih luka. "Mbak?"
"Heeeem?"
"Bagaimana dengan, Kak Rumi?" Ledek Qonni membuka obrolan. Sebenarnya ia sudah penasaran dengan jawaban kemarin. Safa yang mendengar pertanyaan itu hanya diam saja. "Kalian jadi, kan? Huhuhu, senangnya yang bakal di nikahin pangeran impian," goda Qonni yang masih sibuk membalut luka Kakak perempuannya.
Hingga setitik air mata terjatuh tepat di hadapan Qonni. Gadis itu pun buru-buru menaikan kepalanya.
"Loh, kok nangis? Lukanya sakit ya? Maaf Mbak..."
"Nggak, kok, Dek. Udah selesai, kan? Mbak mau bantu ibu lagi." Gadis itu beranjak sambil menyeka air matanya yang tentu memunculkan tanda tanya di kepala sang adik.
"Kenapa tiba-tiba Mbak Safa nangis? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" Qonni garuk-garuk kepala ia pun menggeleng cepat sebelum membereskan kembali obat-obatan yang sedikit tercecer di atas meja.
–––
Waktu sarapan pagi tiba, setelah semuanya selesai mereka pun menyantap hasil masakan dua koki handal di rumah itu. Aida dan Safa.
Di tengah nikmatnya hidangan sederhana yang tengah mereka santap. Aida mulai membuka kembali perihal acara kemarin.
"Safa, gimana? Kemarin Rumi bilang apa?" Tanya Aida yang membuat Ulum menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukan sesuap nasi kedalam mulut. Setelah itu menggeser pandangan pada Safa. "Ibu benar-benar nggak nyangka. Kita akan berbesanan dengan keluarga Ustadz Irsyad."
"Emmmmmm, Bu. Kita makan dulu aja. Habisin makanannya habis itu baru bahas ini." Ulum mencoba mencairkan suasana ketika melihat Safa tertunduk sambil memasukkan sedikit nasi ke dalam mulutnya dengan gerakan pelan.
"Loh, kan nggak papa, Yah. Sekalian buat persiapan. Iya kan, Fa?" Tanya Aida lagi dengan wajah berseri-seri.
"Bu–" Safa membuka suaranya pelan. "Safa dan Rumi sudah sepakat untuk tidak menerima ta'aruf ini."
Deg! Aida yang sedari tadi tersenyum lebar langsung meredupkan senyumnya. Matanya yang laksana danau bening langsung keruh begitu saja.
"Ke–kenapa? Apa kalian nggak saling suka? Ibu pikir selama ini kamu?"
Safa tersenyum tipis, dengan gerakan pelan ia menghabiskan satu suapan terakhirnya tanpa menjawab. Setelah itu bangun dengan sedikit dorongan kursi kebelakang.
"Safa, na–nanti kita bicara, ya." Aida terlihat khawatir dengan ekspresi diamnya Safa walau di kemas dengan senyum yang manis. Namun, jika dicermati kedua matanya nampak berair. Menyimpan kesedihan yang begitu dalam.
Sekarang di meja makan itu ketiganya hening. Terlihat Aida yang sudah tidak bernafsu untuk menghabiskan sisa makanannya yang tinggal sedikit. Ia berpikir sejenak setelah itu bangkit.
"Bu, mau kemana? Habisin dulu makannya."
"Ibu udah kenyang, Yah. Sekarang tinggal hati ini yang merasakan ketidaknyamanan." Wanita paruh baya itu mengangkat piringnya. Membuang sedikit yang tersisa ke dalam tong sampah setelah itu mencucinya.
Aku sudah menduga, ada yang tidak beres dengan putriku. Semenjak acara kemarin.
Aida mengibaskan tangannya yang basah sebelum buru-buru berjalan keluar dari area dapur tersebut.
"Ayah, beneran Mbak Safa sama Kak Rumi nggak jadi berjodoh?" Tanya Qonni dengan nada berbisik setelah ibunya keluar. Ulum sendiri tak menjawab selain meletakkan telunjuk kirinya di bibir.
"Makan aja, habisin nasinya," jawab beliau kemudian dengan suara berbisik juga. Qonni tahu, ini bukan ranahnya untuk ikut-ikutan. Biarlah, nanti juga ia akan tahu jawabnya sendiri.
Namun, sangat di sayangkan juga. Jika Mbak Safa tidak jadi dengan Rumi. Bukankah beliau cinta pertama Kakak perempuannya itu. Ah, memang kalau sudah menyangkut masalah jodoh dan maut sebagai manusia biasa kita tidak akan pernah tahu misteri yang sudah Allah siapkan. Mau seperti apapun hati ini menjerit memanggil nama seseorang, jika pemiliknya tidak ridho mau di bilang apa?
Tanpa kembali bertanya Qonni langsung melanjutkan makannya. sambal balado terong, perkedel kentang, dan tempe mendoan. Adalah hidangan paling nikmat yang menjadi favoritnya di rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
ꪶꫝ𝐀⃝🥀🍁senjaᴳ᯳ᷢᏦ͢ᮉ᳟ଓε⒋ⷨ͢⚤❣️
huhu ikutan nyeseek.sayang sekali rumi lebih memilih debby😩 semangat shafa kamu pasti akan dapat yg lebih baik dari rumi
2023-06-29
1
KURINGdu MINd0@n B0NGkr€k..🤤
Ga papa ga dapat Rumi, nanti dapatnya yg jauh lebih ganteng, walo akhlaknya agak mines..
tapi masih mending akhlak mines trs tobat, dr pada alim trs jd mines..
Fighting Safa, Rumi bukan akhir segalanya, mati satu tumbuh seribu..
2023-04-02
2
Sholicha
benar sekali sekuat apapun memaksakan pasti kalo bukan takdir nya pasti terlepas
2023-03-31
0