Selama lebih dari dua jam keluarga Ustadz Irsyad di rumah Ulum. Dan pulang sebelum waktu semakin larut.
Ulum mengantar hingga keluar pagar, sementara Aida, Safa, dan Qonni hanya sampai di depan pintu. Terdengar Ulum masih mengobrol di sisi samping ruang kemudi bersama Ustadz Irsyad. Kebiasaan bapak-bapak sebelum benar-benar berpisah mereka akan mengobrol basa-basi lagi.
"Fa, Ibu mau bicara sama kamu," ajak Aida sambil melangkah lebih dulu kedalam rumah. Safa terdiam ia melirik kearah adiknya yang turut memandang kearahnya. Setelahnya menghela nafas sejenak, lalu menyusul sang ibu yang sudah menunggunya di kamar.
"Kayaknya, ada yang bakal dapet ceramah panjang nih, dari Ibu." Gumam Qonni. Ia pun mengedigkan kedua bahunya sebelum kembali menggeser pandangan ke depan sebentar, dan tersenyum ketika Rahma membuka jendela mobil melambaikan tangan. Qonni turut melambaikan tangan dengan ceria.
–––
Di dalam kamar...
"Ibu mau bicara apa?" Tanya Safa pelan, sambil menghempaskan bokongnya ke permukaan kasur.
"Ibu nggak habis pikir sama kamu. Kenapa sih kamu harus bilang ke mereka kalau kamu mau mendampingi calon istrinya Rumi saat ijab qobul? Buat apa, Fa?" Ujarnya sambil menggoyangkan tangan Safa.
Safa sudah menduga, perkataannya tadi akan menimbulkan reaksi tidak suka dari ibunya. Apalagi semenjak masalah kemarin-kemarin. Ibu sempat tak tegur sapa dengan Ayah selama beberapa hari. Sebab, Ayah yang terlalu berpihak pada mereka dan justru menegur sang ibu dengan cukup keras setelah berbicara dengan sedikit memaki pada Ustadz Irsyad yang sempat datang sendirian.
"Ibu kan tahu Debby temenku juga," jawab Safa lirih.
"Teman? Teman mana yang mau menerima lamaran laki-laki. Padahal ia tahu, pada hari itu seharusnya laki-laki itu melamar mu."
"Aku nggak masalah, Bu. Safa udah iklhas."
"Lantas kalau sudah ikhlas, apa harus kamu duduk di sebelah Dia sambil nunggu Rumi berikrar! Jangan macam-macam, lah. Jangan cari penyakit!"
"Aku nggak nyari penyakit, Bu. Apa yang Safa lakukan. Kurasa nggak ada yang salah. Lagian, seorang laki-laki kalau mau poligami aja di perbolehkan. Apalagi yang belum menjadi milikku? Apa hak ku untuk membenci mereka, bahkan sampai menjauh, Bu?"
"Kamu tahu nggak, sih. Hati ibu itu sakit, Safa!" Aida menepuk dadanya pelan. Suaranya pun tak terlalu keras. Ia hanya tidak mau Ulum mendengar pembicaraan mereka. Karena itu akan memunculkan perselisihan antara dirinya dan suami lagi.
"Jangan begitu, Bu. Namanya aja nggak jodoh. Mau gimana lagi?"
"Susah ngomong sama kamu ataupun Ayah. Kalian itu nggak paham dengan perasaan Ibu." Perempuan paruh baya itu memalingkan wajahnya. Memutar sedikit tubuhnya membelakangi Safa. "Ibu jadi merasa dikhianati."
Safa tersenyum tipis, ia memeluk lengan ibunya lalu menyandarkan kepala di bahu Beliau.
"Safa nggak mengkhianati, Ibu."
"Lalu apa namanya?" Menoleh kebelakang sebentar, sebelum kembali memalingkan wajahnya. "Ibu masih sakit hati, tapi segampang itu kamu malah bilang sudah ikhlas dan mau mendampingi wanita itu. Kamu mau bikin Ibu tambah sakit hati? Melihatmu menemani gadis itu?"
"Sudah ya, Bu. Beneran Safa itu udah nggak papa. Aku hanya ingin menunjukkan, bahwa aku bukan gadis pendendam. Dengan melihat langsung prosesi akad nikah mereka. Akan membuatku semakin sadar dan ikhlas kalau Rumi bukanlah jodohku."
"Terserah kamu aja. Ibu cuma nggak mau liat kamu nangis setiap solat."
"Enggak, Bu. inshaAllah!" Safa menarik pelan tangan ibunya agar menoleh kearahnya. "Aku pasti akan baik-baik saja. Ada Allah, kok."
Aida menghela nafas panjang. Tidak bisa lagi berkata-kata jika Safa sudah menutup pembicaraan dengan kata-kata itu.
"Aku yakin! akan ada masanya, aku bisa menemukan jodoh terbaik nanti."
"Harus lebih Soleh daripada anaknya Ustadz Irsyad!"
Safa tersenyum, menyeka lembut pipinya yang basah. "Aamiin, ku anggap ini doa dari wanita paling ku hormati di dunia ini. Semoga Allah ijabah."
"Ya Allah, sini ibu peluk dulu. Anak ibu ini cantik, kok. Bisa-bisanya nggak di pilih, sih." Aida memeluk tubuh Safa yang tertawa saat mendengar kata-katanya. Mengusap punggungnya sambil terus sesenggukan. Sementara yang di peluk sudah tidak lagi menangis. Karena, ia memang sudah benar-benar menerima takdirnya itu.
***
Beberapa bulan berlalu. Tepatnya, satu Minggu sebelum hari H pernikahan Rumi.
Arifin baru saja menghadiri acara podcast di salah satu channel sahabat. Ini sudah yang ke tujuh kali ia berpindah dari tempat satu ke tempat yang lainnya dalam satu hari ini.
"Fin, langsung ke apartemen gua, ya?" Pinta Brody sambil menyentuh bagian dengkul laki-laki di sebelahnya.
"Gua capek, Brod." Menghela nafas. Kepalanya yang menyandar menatap kearah jendela sama sekali tak menoleh. Terserah laki-laki di sebelahnya mau apa.
"Sekalian infus booster di sana, buat stamina. Gua udah siapin."
"Sore aja, kesana-nya. Gua mau ke tempat lain." Arifin menoleh ke depan. "Jack! turunin gua di depan gedung Star agensi. Mau ambil mobil gua."
"Mau kemana, habis ini?" Tanyanya.
"Gua mau booster pikiran."
"Ke masjid lagi. Cuma buat tidur?!" Tanyanya sebelum tertawa. Tubuhnya yang besar itu berguncang. Lengan besar bertato itu tertekuk lalu menyikut dada bidang Arifin. "Gua takut Lu lama-lama insaf! Hahahaha."
Pria di sebelahnya tak menanggapi. Hatinya benar-benar tak nyaman beberapa bulan belakangan ini. Dan mobil mereka pun berbelok ke kantor agensi milik Brody.
"Lu beneran nggak mau masuk dulu? Istirahat, minum-minum?"
"Nggak, sore aja gua datang."
Brody tersenyum sinis. Lalu menepuk pundaknya. "Daddy suka, sih. Anak yang patuh. Tanpa harus di ingatkan. Dia tahu jatah Daddy-nya."
Arifin menatap dingin pada laki-laki yang sedikit menggunakan riasan maskulin. Walaupun dengan brewok dan tubuhnya yang besar, terkesan maco. Terkesan humble juga, dan banyak tertawa. Tapi siapa sangka, justru laki-laki itu masuk dalam daftar orang yang perlu di hindari. Arif melenggang pergi mendekati mobilnya dan masuk ke dalam.
Pria bernama Brody itu masih memandangi mobil Arifin hingga keluar dari area agensi. Setelahnya tersenyum tipis sebelum kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam gedung.
***
Mobil terus berjalan menerjang kemacetan ibukota. Ia juga mendengarkan kembali hasil videonya tempo hari yang sudah tayang hari ini.
"kasih kita saran, dong, Fin. Gimana caranya supaya bisa menjadi Teenigers sukses kaya, Lu."
"Usaha lah, gila! apa lagi? Hidup itu jangan cuma di nikmati aja. Jangan cuma mimpi jadi orang berduit tapi maunya cuma rebahan. Apalagi Lu bukan anak orang kaya. Jangan jadi sampah di tengah-tengah sampah."
"Weeeh, jadi harus jadi emas, ya."
"Emas! Jangan mau jadi sampah mulu. Walau Lu harus sinting di depan kamera."
"Hahaha. Selalu Savage, ya. Omong-omong makin langgeng dengan Camelia. Ada issu kalau Lu bakal nikah sama dia."
Dalam sesi itu Arifin hanya tersenyum cool tak menjawab.
"kalau udah senyum-senyum gini kayanya iya."
"menurut, Lu? Hahaha."
"Wah-wah, kayaknya bakal kondangan berjamaah nih netizen. Lia Afin mau mirage. Woy!" Tertawa.
"Siapin aja kado yang keren buat kita." Arifin mengedipkan sebelah matanya ke arah kamera, menggoda. Yang di balas riuh orang-orang di studio podcast.
Pik! Pria itu mematikan videonya. Dan kembali fokus menyetir.
"Menikah apanya. Yang ada gua nggak akan bisa nikah sama wanita manapun," gerutunya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
Tiiiiiiiing! Sebuah pesan chat masuk. Arifin melirik ke layar dan langsung membacanya sekilas.
Bunda: "Jangan lupa sholat, Rif. Udah masuk Ashar."
Sebuah pesan yang membuatnya tertegun. Sorot matanya kembali fokus ke jalan. Membawa laju mobilnya tanpa arah.
Entahlah, ia sendiri sudah lupa. Kapan terakhir kalinya dia sholat. Sebab, selama kejadian kelam di masa SMA itu yang membuatnya terseret hingga sejauh ini. Arifin sudah tidak berani lagi berdiri di atas alas sujud. Ia merasa terlalu hina dan kotor untuk menghadap Tuhan yang Maha Suci.
Apalagi jika ia pernah mendengar. Tentang kaum-kaum sepertinya di jaman dulu, yang pernah di binasakan. Bukankah itu tanda bahwa ia tidak akan pernah di terima? Walaupun sebenarnya itu hanya pemikirannya saja. Padahal sejatinya, Allah SWT akan selalu lebih berlari untuk mendekat kepada siapa saja hambaNya yang mau kembali.
Itulah juga penyebab, ia jadi mati rasa dengan yang namanya wanita. Karena selama kejadian di masa lampau itu, ia belum pernah sekalipun berani menaruh hati pada wanita manapun. Dan mulai berusaha untuk menikmati perbuatan menyimpang-nya hingga sekarang.
Tapi, dalam hatinya yang masih normal. Arifin selalu merasakan ganjalan, ia juga memiliki keinginan untuk keluar dari lingkaran hitamnya itu. Walau beberapa kali tidak berhasil, karena setiap kali berniat untuk sholat.
Baru saja menginjakkan kaki di serambi masjid. Tubuhnya bergetar, bayangan demi bayangan menjijikkan selalu memprovokasi agar ia tidak jadi menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali, atau paling tidak, hanya duduk sambil menyandar di tiang-tiang masjid.
Dan akibat dari rasa hinanya itu. Hidup Arifin semakin kesini semakin bebas. Apalagi setelah pencapaiannya sebagai seorang Selebgram ternama dengan pendapatan perbulan mencapai nominal milyaran rupiah. Hingar-bingar dunia semakin menguasai jiwanya. Ia tidak peduli lagi, apapun yang masuk dalam tubuhnya. Entah halal ataupun haram. Toh, hidupnya juga sudah lebih hina dari pada benda-benda itu.
.
.
# catatan: (maaf untuk setiap dialognya Arifin dan teman-temannya, aku sisipkan kata2 yang mungkin agak sedikit kasar. Itupun udah usaha ku saring, nggak kasar banget sebagai mana para Selebgram berdialog. ❤️🤭)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
kika
ini othor nya sopan, jatah hubungan badan bukan sih? male to male.... ksian afin sbnrnya ktakutan tpi g bs nolak...
2023-07-10
0
Ulfa Riady
dalam ancaman berarti hidup Arifin,sisi hatinya yg lain dia ingin bertaubat dan hidup layaknya muslim pd umumnya,
2023-07-07
0
fitria linda
kaum sodom kah
2023-07-06
0