Tok..., tok..., Qonni nongol dari balik pintu sambil tersenyum. Tubuhnya sudah mengenakan mukena tanda ia siap untuk melakukan ibadah.
"Mau aku bantu aamiin-aamiin, saat Mbak Safa baca doa khataman?" tanyanya menawarkan diri. Gadis yang masih berbalut mukena itu tersenyum sambil mengangguk.
"Boleh! tapi nggak ada uang jajan loh. Karena kamu yang nawarin sendiri," timpal Safa.
"Yaaaah, usahaku gagal. Padahal aku seneng kalau Mbak Safa khataman," runtuknya dengan suara yang lirih. Hanya untuk bergurau.
"Hahaha, kamu ini, Dek! Nggak ikhlas itu berarti."
"Hehehe, bercanda Mbak." Qonni melangkah masuk dan langsung saja duduk di hadapan Kakak perempuannya. Setelahnya menengadahkan kedua tangannya. "Ayo, aku siap..."
Safa tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Keduanya tangannya turut menadah di depan wajah. Ia pun mulai berdoa, setelah selesai mengkhatamkan Al-Qur'an. Sementara Qonni yang mengaminkan.
Selesai berdoa keduanya bersiap untuk sholat subuh di rumah. Sementara ayah dan ibu sudah keluar ke masjid lebih dulu.
"Mbak! aku pengen, deh. Khatam Qur'an berkali-kali, seperti Mbak. Tapi kok susah, ya?" ujarnya sambil melipat mukenah sehabis sholat dan dzikir.
"Sebenarnya gampang, tapi kadang yang susah itu mengatur watu dan melawan rasa malas di diri kita, Dek."
"Nah, itu..."
"Kalau kamu mau. Pelan-pelan aja. Apalagi sebentar lagi Ramadhan. Kamu harus punya target untuk Khatam minimal satu kali dalam satu bulan itu."
"Pengennya gitu, Mbak. Kasih tips dong..."
Safa menghela nafas. "Kamu tahu, satu juz itu ada sepuluh lembar. Jadi kami harus bagi-bagi kalau kamu nggak bisa baca satu juz langsung."
"Bagi-bagi?"
"Iya. Jadi setiap sholat kamu baca dua lembar, Dek. Kalau bisa lebih. Jadi harus di kondisikan dengan lampu merah yang selalu datang setiap bulannya," tutur Safa. Qonni pun manggut-manggut paham. "Berusaha aja, karena nggak akan ada ruginya, Dek."
"Iya, Mbak. Akan Qonni usahakan. Kalau misal udah niat tapi nggak Khatam juga?"
"Yang penting sudah niat ada target untuk mengkhatamkan Al-Qur'an. Sama usaha..., inshaAllah, Allah akan memberi pahala utuh. Asal niat kamu ikhlas karena Allah bukan ria. Sampai sini paham?"
"inshaAllah, paham. Ramadhan tahun ini aku mau khataman.., emmmmp!" ucapan Qonni terjeda karena sang kakak langsung membungkam mulutnya.
"Jangan di sebutin ke Mbak. Nanti gugur pahalamu. Belum di amalkan udah gugur duluan."
"Astaghfirullah al'azim..., kan baru ngomong doang. innamal a'malu binniyat. Nggak ada maksud ria. Masa udah di vonis gitu, sih."
Safa tertawa saat melihat adiknya bersungut. "Ria itu, kadang nggak pernah di sengaja sama pelakunya. Makanya, Mbak minta kamu hati-hati dalam menjalankan niat baikmu. Ucapkan itu dalam hati, biar romantis. Karena hanya Allah yang tahu usahamu. Dan berdoa, semoga Allah lancarkan. Kamu bisa Khatam Al Qur'an di Ramadhan tahun ini."
"Aamiin. Doakan Qonni, ya Mbak."
"inshaAllah, yang terbaik untukmu, Dek," jawabnya lembut sambil tersenyum. Setelahnya mereka menoleh ke arah pintu saat mendengar salam dari kedua orangtuanya yang baru pulang dari masjid.
Dalam suasana pagi yang masih temaram. Keluarga itu memutuskan untuk melakukan jalan santai bersama-sama sambil menikmati udara yang sejuk ini. Mencari makanan untuk di santap sekalian di tempatnya, momentum yang paling Safa syukuri dan nikmati untuk saat-saat ini. Yaitu berkumpul dan melakukan kegiatan bersama Ayah, ibu, dan adiknya yang manis. Karena kelak, saat sudah menikah. Belum tentu ia bisa melakukan hal seperti ini, bukan?
🍂
🍂
Di tempat lain...
Plaaaaaakkkkkkk!
Sebuah tamparan keras langsung di terima oleh Arifin. Tergambar jelas, raut kekecewaan di wajah wanita lima puluh lima tahun yang sedari tadi memilih tak bersuara ketika menerima kabar tertangkapnya Arif di sebuah rumah mewah bersama teman-temannya. Belum lagi fakta anak laki-lakinya yang kedapatan memiliki Sab* seberat satu ons. Sungguh sebuah kenyataan yang amat miris baginya.
"Puas sekarang? Atau bahkan kamu bangga berada di sini!" Tanyanya. Arif langsung bersimpuh di kaki ibunya saat itu juga.
"Arif minta maaf, Bunda."
"Bunda nggak nyangka, kamu pemakai, Rif." Isaknya gemetar.
Arif sama sekali tak mengeluarkan kalimat bantahan. Ia hanya diam sambil menundukkan kepalanya dihadapan sang ibu.
"Kaya gini, kehidupanmu selama ini. Memiliki banyak penggemar, uang yang banyak, lantas menikmatinya dengan bermaksiat?! Kamu sadar, kamu udah menusukkan besi yang baru kamu panaskan ke dada Bunda, Fin."
"Arif salah Bunda. Beribu maaf pun nggak akan pernah bisa membayar semua yang udah Arif lakukan terhadap Bunda," gumamnya masih dengan kepala tertunduk.
Ia amat malu untuk mengangkat kepalanya. Apalagi melihat wajah Bunda yang sedang menangis itu. Cukup membuat dadanya sesak.
"Aku mengusahakan surga untuk putraku. Tapi kamu, malah membalasnya dengan neraka. Kenapa nggak sekalian, kamu bunuh bunda mu ini Arif?"
"Bunda!" Arif langsung memeluk kaki ibunya saat mendengar itu. Ia menggeleng cepat sambil meminta maaf berkali-kali.
"Bunda nggak tau harus apa sama kamu. Bunda bener-bener nggak nyangka. Seharusnya kamu tahu, bukan ini yang Bunda mau. Mungkin Bunda bisa tahan dengan kecaman sosial. Tapi bagaimana cara Bunda bertanggungjawab di hadapan Allah. Bunda gagal sebagai seorang ibu untukmu. Sampai-sampai kamu terjerumus ke lubang yang gelap ini."
"Bunda nggak pernah gagal mendidik Arif. Udah sangat tepat, pendidikan yang Bunda kasih buat Arif. Tolong Bunda, jangan salahkan diri Bunda. Disini Arif yang salah. Arif yang keterlaluan. Maaf, Bunda! Maafin Arif."
Sang ibu hanya memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap anak semata wayangnya itu. Derai air mata sang ibu sudah semakin menderas. Hanya dengan berbicara seperti itu, pria bertubuh tinggi tersebut langsung mendekap erat kaki ibunya. Meminta maaf berkali-kali.
"Kurang bahagia apa dirimu. Hidup dalam gemerlap dunia Selebriti? Sampai-sampai kamu masih bisa menyentuh, dan mengkonsumsi barang itu!!"
Aku nggak mungkin bilang jujur, Bun. Tentang apa yang aku rasakan. Bunda pasti akan lebih kecewa daripada ini. –Arif bergeming. Menyesali apa yang sudah ia lakukan.
"Kamu harus mau di rehabilitasi. Setelahnya, berhenti jadi artis-artisan. Bunda nggak butuh kamu punya nama di kancah hiburan dan bisa belikan benda-benda mewah, serta liburan keluar negeri setiap saat. Tapi hidupmu kelam kaya gini."
Arif mengangkat kepalanya. Menggeleng pelan. "Tolong jangan itu, Bun. Jangan minta Arif meninggalkan pekerjaan ini."
"Kenapa? Kamu takut miskin setelah keluar dari duniamu ini? Kalau begitu kamu lebih senang membakar Bunda hidup-hidup, Rif."
"Enggak gitu, Bunda. Please! Jangan gini Bunda. Setiap orang melakukan kesalahan. Tidakkah Bunda berbesar hati, memberikan Arifin kesempatan untuk memperbaiki diri tanpa harus meminta untuk keluar dari duniaku."
"Iya! Bunda kasih kesempatan kamu untuk berubah. Tapi bukan lagi menjadi selebriti. Jadilah orang biasa, yang taat beragama. Dunia keartisan penuh dengan mudharat, Rif!"
"Bunda, semua butuh proses nggak bisa langsung terjun gitu aja."
"Kamu membantah?" Hunus sang ibu, yang membuat Arif tak bisa lagi berkata-kata. "Kamu suka hidupmu. Walau menyiksa Bunda? Dalam Islam, tidak hanya ibadah dzohir untuk diri sendiri. Tapi harus setara antara Amar makruf nahi mungkar. Bunda mengajakmu pada kebaikan, tapi bunda juga harus melarang mu melakukan kesesatan. Kalau Bunda membiarkan kamu seperti ini, berati sia-sia semua yang Bunda lakukan, Rif!" Tegasnya sambil mengacungkan jari telunjuk.
"Arifin tahu, Bunda. Tapi tolong, jangan pekerjaan Arif, aku menyukai pekerjaanku itu."
"Kalau begitu lepaskan kaki Bunda. Dan masuklah kamu ke dalam penjara. Bunda udah memperingatkanmu. Maka gugur sudah tanggungjawab Bunda."
Arif semakin memeluk erat kaki ibunya. Ia menggeleng cepat. "Ku mohon Bun, tolong Arif. Apapun akan Arif lakukan, asal jangan suruh Arif keluar dari pekerjaan Arif."
"Hanya itu yang Bunda mau."
"Ku mohon Bun, aku mohon. Tolong maafin Arif.., maafin Arif, Bunda–"
"Baik... kalau begitu. Daripada hidupmu nggak jelas, lebih baik kamu menikah aja. Mungkin dengan cara seperti itu kamu bisa menjadi lebih dewasa."
"A... apa? Menikah?"
"Iya!"
"Nggak segampang itu, Bunda. Arif belum siap..."
"MAU MENUNGGU SAMPAI KAPAN!!"
"Tolong lah, Bun. Arif memang akan nikah, tapi nggak sekarang-sekarang."
"Bunda mau secepatnya. Tapi dengan pilihan Bunda. Bukan perempuan yang selalu kamu pamerkan di media."
"Bun?"
"Sekarang pilih aja; menikah dengan pilihan Bunda? Atau berhenti dari dunia Selebgram!"
Deg...! Arifin tercenung. Menujukkan kesan kefrustasian. Sungguh itu benar-benar pilihan yang sulit. Menikah? Brody pasti akan marah besar dengan keputusan itu. Dan reputasinya pasti akan semakin hancur ketika laki-laki itu menyebarkan video tanpa busananya. Sedang beradu cinta dengan sesama jenis. Belum lagi di sana hanya ada wajah dia yang terlihat.
"Pilihan ada di tanganmu–" Bu Ayattul melepaskan diri dari pelukan anaknya. Namun kembali di tahan oleh Arif.
"Bun, tolong jangan kasih pilihan kaya gitu."
"Lepaskan bunda!"
"Nggak, Bun– Arif mohon!"
"Lepas!!! Rasakan dulu satu malam di dalam dinginnya bilik penjara. Renungkan semua kesalahan mu, dan bertaubatlah! Setelah itu baru kamu putuskan."
"Bun, ya Allah... Bunda–" dua orang polisi sudah memegangi lengannya dan membawa pria itu masuk. Sang ibu pun hanya memalingkan wajahnya sembari mengusap air matanya karena sang anak masih saja berseru memanggilnya sambil menangis meminta maaf.
Ia benar-benar merasa kecewa, saat tahu anaknya menggunakan barang haram itu. Ia juga kecewa pada dirinya sendiri yang telah gagal mendidik sang anak hingga dia harus terjerembab dalam dilembah yang gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
ꪶꫝ𝐀⃝🥀🍁senjaᴳ᯳ᷢᏦ͢ᮉ᳟ଓε⒋ⷨ͢⚤❣️
duuh kalo bunda tau perbuatan afin yg lain,bisa pingsan tu bunda😔 dan brody pasti juga ga tinggal diam kalau afin sampe nikah🤦♀️😩
2023-06-30
0
Yayah Fatih
Gmn Reaksi bunda klo tau Arif Sma Brody
2023-06-16
2
adning iza
ngga kebayang sih nnt pas bunda tau kbenaran arif
2023-05-17
0