Sepulang dari minimarket, Aida dan Qonni tak menemukan siapapun di rumah. Bahkan, rumah mereka pun terkunci. Untung saja ada kunci rumah cadangan yang selalu menggantung bersama kunci motor matic yang biasa di bawa Aida kemanapun.
"Ayah sama Mbak Safa kok nggak ada, ya?" Qonni menyusuri ruangan demi ruangan mencari dua orang anggota keluarganya yang lain.
"Mungkin keluar sebentar cari sesuatu. Sudahlah bantu ibu beresin semua ini, yuk." Aida tak berpikir macam-macam. Bahkan dalam hatinya ia turut senang, memikirkan acara lamaran tadi.
Mungkin memang seperti ini garisnya, dulu dia tidak berjodoh dengan Mas Irsyad. Siapa sangka, justru putri sulungnyalah yang akan berjodoh dengan anak sulung laki-laki itu. Setidaknya, Safa bisa bahagia tidak seperti dirinya begitu pikirnya penuh harap.
Beberapa jam kemudian, langit sudah mulai gelap. Qonni pun mondar-mandir menunggu ayahnya di teras. Dengan rentetan kata protes yang sudah ia siapkan untuk mereka berdua setelah pergi tanpa mengajak dirinya. Dan saat sebuah motor lawas itu masuk ke pelataran rumah mereka. Wajah Qonni berubah semakin masam, kedua tangannya menyila di depan dada.
"Assalamualaikum...," sapa Ulum sambil tersenyum pada anak bungsunya itu. Lebih-lebih ketika melihat bibirnya yang mengerucut jengkel.
"Ayah pergi sama Mbak Safa nggak ngajak Qonni?" protesnya.
"Mau bagaimana lagi, tadi kan kamu pergi sama ibu. Ayah juga pergi dong sama Mbak Safa." Ulum menjawab dengan sedikit nada candaan.
"Tapi harusnya bisa nunggu Qonni, 'kan?" Gadis berkerudung segi empat warna coklat susu itu belum puas dengan jawaban Sang Ayah.
Berbeda dengan Ulum yang masih menanggapi. Safa sendiri justru tak bersuara selain senyum samarnya sebelum mengucap salam dan masuk. Melewati tubuh adiknya yang terus-menerus protes terhadap Ayah mereka.
Ada hal aneh yang rupanya tertangkap gadis berusia dua puluh tahun itu. Ketika Safa yang biasanya turut meledeknya jika sedang bersungut. Justru malah tak menanggapi apapun.
Tubuhnya memutar sedikit, mengikuti langkah Mbak Safa yang langsung masuk ke kamarnya. Qonni terheran-heran dengan sikap Mbaknya itu. Sepertinya Mbak Safa sedang tidak baik-baik saja. Belum lagi wajah habis menangisnya.
"Ayah, Mbak Safa kenapa?" Tanyanya berbisik setelah membalik badannya lagi menghadap Ulum. Rasa penasaran dengan ekspresi wajah sedih kakak perempuannya jauh lebih besar daripada kesalnya tadi.
"Kenapa apanya? Mbak mu kekenyangan setelah makan sate Taichan." Ulum mengarahkan bungkusan berisi sate itu ke hadapan Qonni.
"Dih, Ayah sama Mbak Safa habis dari kompleks kuliner, ya?" Protesnya kembali.
"Iya dong. Cari angin, Dek," jawabnya.
"Curaaang!"
"Loh, yang penting di bawain buat kamu sama ibu, kan?"
"Tapi Qonni kan mau jalan-jalan juga."
"Ya nggak muat dong motornya. Emang kamu mau Ayah taro di depan? Nggak boleh juga kan, naik motor bertiga?"
"Iiiih, Ayah nyebelin."
"Udah-udah... bawa masuk sana, gih. Ayah mau ke WC dulu." Pria paruh baya itu buru-buru masuk ke dalam melewati ruang tengah lantas masuk ke dapur. Di sana ia berpapasan dengan Aida yang sedang memindahkan sisa makanan ke tempat yang lebih kecil.
"Abis dari mana, Mas?" Tanya Aida.
"Cari angin sebentar sama Safa," jawabnya singkat sambil berjalan sedikit cepat kearah kamar mandi.
"Ibu, liat nih. Ayah beli sate banyak." Qonni yang mengekor di belakang ayahnya langsung menyodorkan sate tadi.
"Ya Allah, Yah? Ini makanan banyak kenapa beli sate, sih?" Protes Aida saat melihat bungkusan sate tersebut.
"Panjang ceritanya, Bu. Nanti ayah jelasin. Setelah menyelesaikan urusan Ayah," jawab Ulum dari dalam kamar mandi. Aida pun menghela nafas, lantas meletakkan sate tersebut ke atas meja makan.
––
Waktu Magrib telah tiba. Ulum sudah pergi sejak tadi ke masjid bersama Aida, sementara Qonni dan Safa tertinggal. Memilih untuk menjalankan ibadah mereka di rumah.
Selepas shalat gadis bermata teduh itu duduk bersimpuh di atas alas sujudnya. Melamun, memandangi permukaan sajadah yang terdapat gambar kubah masjid. Tangannya memeluk mushaf warna pink. Yang biasa ia pakai untuk bertilawah.
Tadinya, Safa sudah tidak ingin menangis, ketika ayat demi ayat dalam surat Hud di bacakan. Namun beberapa dari potongan ayatnya tersebut rupanya membuat Safa tak mampu lagi menahannya.
Bulir-bulir bening itu kembali berguguran. Ia bahkan menjeda bacaannya beberapa kali untuk melepaskan kesedihan hatinya. Lirih Isak tangisnya mulai keluar dari bibir merah jambunya. Tangan kanannya kemudian mengusap lembut pipinya yang basah itu sambil sesekali beristighfar.
Ya Allah, ampuni aku. Karena rupanya kesabaran ku tak setebal itu. Aku bahkan merasakan tidak ikhlas dengan keputusannya itu yang telah menolak ku walau dengan tutur kata yang sehalus mungkin. Ku pikir, setelah semuanya tersampaikan akan menjadi lega?
Tapi kenapa semua berubah menjadi kekecewaan? Padahal, ia juga berhak mengajukan penolakan.
Safa meratapi semuanya. Memeluk mushaf kecil itu erat. Bertahun-tahun ia memendam rasa. Namun harus menerima kenyataan yang seperti ini.
Padahal sebelumnya ia berharap, kisahnya akan sama dengan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Dimana cinta dalam diam mereka tersampaikan bahkan mendapat restu Sang Maha Pencipta yang menikahkan mereka langsung di langit.
Ia tidak pernah menyangka cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Mungkinkah ini arti mimpinya? Karena sebelum itu ia bermimpi bertemu Rumi dalam sebuah taman yang indah penuh dengan bunga-bunga ilalang. Yang menafsirkan bahwa ia tidak akan pernah bersatu?
"Hiks! Ini memalukan sekali." Safa menekan dadanya. Semakin sesak ia rasakan saat ini. Manakala cinta yang telah di ketahui Rumi semakin menimbulkan rasa yang membuatnya merasa rendah diri.
Aku tidak bisa lagi bertemu Rumi ataupun Debby. Aku malu, sangat malu terhadap mereka!
Satu tangan Safa yang lain menggenggam sajadah di bawahnya. Meremas kuat seolah tengah meluapkan emosi yang terpenjara dalam jiwanya.
Bagaimanapun juga, aku manusia biasa. Sangat mungkin imanku bisa lemah sebab kekecewaan.
Sebuah ketukan dari luar kamar terdengar pelan. Qonni memanggilnya untuk meminta bantuan niatnya. Namun hening dari dalam. Safa belum ingin berbicara dengan siapapun. Bibirnya keluh untuk menjawab panggilan adik satu-satunya itu.
"Mbak Safa! Mbak!" Gadis berambut panjang se-punggung itu pun terdiam, menggigit ujung bibir bawahnya sambil menggerakkan kepalanya maju, dan menempelkan telinga ke pintu kamar. Ia bisa mendengar samar-samar suara tangis Safa dari dalam.
Mbak Safa nangis? Ada apa, ya? Jangan-jangan ada kaitannya dengan pembicaraannya sama Kak Rumi tadi? –batin gadis itu terpaku.
Qonni tak jadi meminta bantuan kepada Kakak perempuannya itu. Dan memilih untuk kembali ke kamarnya sendiri.
....
Menunggu sampai ba'da isya tiba. Ayah dan ibu mereka kembali. Qonni yang sudah khawatir langsung menghampiri ibunya.
"Ibu, Mbak Safa dari tadi nggak keluar kamar. Qonni juga denger Dia nangis," adunya sambil meraih mukenah di tangan ibunya.
"Nangis?" Tanya Aida sambil menoleh kearah suaminya namun secepatnya ia berjalan mendekati pintu kamar Safa.
Sebuah ketukan pelan di arahkan, Aida bahkan sampai memanggil nama putri sulungnya beberapa kali agar mau keluar.
"Safa..., Fa?"
"Bu, Safa lelah mungkin?" Ulum mencoba untuk menahan sang istri agar tak banyak bertanya pada putrinya mereka. Tak berselang lama pintu kamar terbuka.
"Ibu panggil Safa?" Tanyanya dengan senyuman manis. Tiga orang yang ada di hadapannya nampak menatap aneh padanya. "Ada apa? Kenapa semua berkumpul di depan pintu kamar Safa?"
"Kamu nggak papa, Nak?" Tanya Aida mengusap lembut wajahnya.
"Nggak papa. Memang ada apa dengan Safa?" Tanyanya balik. Yang berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
"Qonni bilang tadi kamu nangis?" Tanya Aida lagi. Safa sendiri langsung menoleh kearah adiknya lalu tersenyum dan kembali menggeser pandangannya pada Aida.
"Itu karena Safa baca Al Qur'an surat Hud. Makanya nangis. Bukannya itu biasa, ya?" Gadis bermata teduh itu mencoba untuk tertawa. Walau tatapan matanya tak bisa membohongi mereka. Aida sendiri tak yakin dengan jawaban itu. Ia masih saja memandangi Safa dengan penuh selidik.
"Bener, nggak ada apa-apa?"
Safa kembali tertawa, kemudian menggeleng pelan. "Iya, nggak ada apa-apa, Bu," jawabnya lagi.
"Tapi tadi aku dengar dengan jelas, Mbak Safa merintih," gumam Qonni lirih.
"Enggak, Dek."
"Beneran?" Tanya Aida untuk meyakinkan sekali lagi.
"Bener, Bu. Sudah ya, Safa mau istirahat. Besok ada rapat pagi."
"Iya, tapi sudah sholat isya, kan?"
"Udah, Bu." Gadis itu menunduk sopan sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Liat, anak kita nggak papa," ujar Ulum.
"Aku nggak yakin, Yah."
"Nggak yakin gimana? Udahlah nggak usah terlalu berfikir berlebihan."
"Hoaaaaam..." Qonni menguap membuat kedua orang tuanya menoleh secara bersamaan.
"Kamu juga udah ngantuk?" Tanya Ulum pada Qonni.
"Sebenarnya udah, tapi harus ngerjain tugas yang belum selesai."
"Ya sudah lanjutin, sana! Habis itu tidur."
"Pengennya begitu, Ayah. Masalahnya aku kesulitan. Ayah mau bantu?"
"Hemmmm, ya udah. Yuk, ayah bantu sebisanya."
"Yeaaaaaay." Qonni berjalan lebih dulu meninggalkan kedua orangtuanya. Sementara Aida masih saja penasaran dengan keadaan Safa yang terlihat sedih itu.
"Feeling ku nggak baik, Mas."
"Nggak baik bagaimana? Udah sana nonton TV aja. Sinetron kesukaanmu udah tayang tuh, pasti!"
"Hemmm, iya deh. Sana temani Qonni belajar."
"Iya, Aida." Tersenyum tipis di sana. Setelah Aida masuk ke ruang tengah Ulum pun menghela nafas pelan. "Aida nggak boleh tahu dulu. Dia mudah kesal soalnya. Khawatir akan menjadi hal yang semakin runyam," gumamnya kemudian sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀senjaHIATᴳ𝐑᭄⒋ⷨ͢⚤🤎🍉
semoga segera diberikan pengganti yg lebih baik ya shafa.sebenernya waktu tau kalo rumi lebih memilih debby,agak kecewa siih.tapi ya gimana lagi rumi lebih tertarik sama debby😔
2023-06-29
0
Qaisaa Nazarudin
Ikhlasin safa, Allah akan mengganti kan dgn yg lebih baik,,
2023-05-12
0
💞R0$€_22💞
nah kan sesuai dugaan..
2023-04-01
0