Satu momen yang tak terlupakan, ketika Safa dan Rumi untuk pertama kalinya, duduk berdua di beranda rumah Fatkhul Qullum (Ayah Safa) dengan sekat meja bundar di tengah-tengah.
Hari ini Safa tidak menyangka, ketika kedatangan keluarga Ustadz Irshad itu tak hanya sekedar silaturahmi biasa. Melainkan untuk sebuah rencana baik yaitu mencocokan ke-dua anak mereka dengan cara Ta'aruf.
Bisa di bilang, fakta ini amat mengejutkan sekaligus menggembirakan bagi Safa, yang sudah memendam rasa kagumnya pada laki-laki yang rentang usianya hanya di bawah dia satu tahun.
Entah kapan rasa itu hadir, tepatnya tidak tahu. Yang jelas, perasaan yang tak seharusnya ada dengan halus menetap di hatinya. Bahkan terpupuk baik, dengan perlakuan Rumi yang membuatnya sempat berpikir bahwa Dia juga sama dengan Safa.
"Fa!" Rumi membuka suara. Memecah keheningan di antara keduanya.
Gadis itu sedikit mengangkat kepala, suara laksana aliran sungai yang tenang dan teduh, membuatnya sedikit berdebar walau langsung ia tepis dengan kalimat taawudz sebagai cara meminta perlindungan kepada Allah SWT.
"Aku boleh bertanya satu hal?" tanyanya sedikit ragu-ragu. Safa sendiri hanya menjawab dengan anggukan kecil. Walau sejatinya dalam hati ia penasaran, tapi gugup juga. "Apa benar, kamu mengagumi aku selama ini?"
Deg!
Gadis itu terhenyak. Terlihat kepanikan sekaligus malu yang membuat kedua pipinya bersemu. Safa buru-buru menundukkan kepalanya semakin gugup.
"I–itu. Aku, aku...."
"Tidak apa, jangan merasa malu karena ini, Safa." Rumi mencoba menghibur Safa yang mendadak canggung itu.
"Maaf...," lirihnya merasa cemas.
"Sejak kapan?" lembut suara Rumi kembali bertanya.
Hal itu justru membuat Safa jadi ingin menangis. Mengulik ingatannya yang memudar tentang; sejak kapan perasaan haram itu mengganggunya selama beberapa tahun terakhir ini? karena, selama itu pula ia tengah berusaha keras membuangnya demi hal-hal yang akan menjerumuskannya pada dosa.
"Se–sejak kapannya? aku tidak tahu. Yang jelas, rasa itu datang secara tiba-tiba tanpa mengetuk lebih dulu."
Wajah teduh Rumi Al-Fatih terkesan tenang. Tak lama terdengar helaan nafas pelan yang masih terdengar gadis berhijab panjang itu.
"Maaf, Rumi. Maaf aku lancang mengagumimu." Bulir bening itu semakin tertampung banyak di ke-dua netra indahnya.
Rumi pasti kecewa padaku. Aku pasti di anggap wanita tak baik karena mengagumi laki-laki lebih dulu. –batin Safa memekik keras, ingin rasanya ia menghilang begitu saja dari hadapannya saat ini.
Pria itu buru-buru membantah dengan ke-dua tangannya di depan dada.
"Nggak, Safa! Kamu nggak salah. Kamu juga nggak lancang, kok."
Rumi berusaha berujar dengan kata-kata yang sopan. Ia bahkan sedang hati-hati sekali saat ini. Walau tetap saja, apa yang ia tanyakan adalah sesuatu yang mungkin akan membuat wanita jadi kehilangan rasa percaya dirinya. Dan berujung pada rasa malu yang berlebih.
"Safa..., mengagumi seseorang itu bukan lah sebuah kesalahan. Karena yang berbicara itu adalah hati. Bukan kemauanmu," imbuhnya. Sementara gadis di depan masih saja tertunduk. Ia bahkan tidak sama sekali berani mengangkat kepalanya.
Ada sedikit rasa lega yang mulai bersemayam di hati gadis berusia dua puluh delapan tahun itu. Seolah lorong gelapnya mulai berpendar.
Ada secercah harapan, kah? Apa Rumi bersedia untuk berta'aruf dengannya. Hingga mereka bisa melangsungkan pernikahan, dan tidak terus-menerus menambah dosa.
"Tapi maaf...." Rumi kembali bersuara dan kembali di jeda. Dengan ekspresi wajah yang tak bisa Safa lihat saat ini. Gadis itu menunggu tanpa berani menaikan kepalanya walau hanya sekedar mengintip. "Kita nggak bisa berta'aruf, Safa."
Mata Safa yang serupa Danau yang bening dan teduh beriak. Seolah kerikil kecil di lemparkan ke tengah-tengah hingga membuat kecipyak di air muka yang tenang itu. Gadis itu membisu, ia benar-benar tidak bisa berkata-kata. Apakah ini tandanya ia telah di tolak seorang Ikhwan?
"Fa, maaf aku harus mengatakan ini sekarang secara langsung. Karena, aku takut. Ujung-ujungnya aku malah justru menyakitimu."
Sepertinya Safa sudah tahu jawabannya. Karena pagi ini tiba-tiba saja gadis nonis itu datang dengan sebuah kejutan yang membuatnya tertegun sekaligus bahagia.
Ya, Debora yang ia kenal di Bandung itu telah memutuskan masuk Islam. Ia bahkan terlihat lebih cantik dengan gamis dan hijab yang di kenakan. Dan sepertinya bukan hanya dia yang terkesima melihat perubahan Debby, melainkan Rumi juga. Semua bisa ia tebak dari tatapan membeku Rumi saat hendak masuk ke rumah ini.
Ya, itu pasti alasannya... Safa menerka-nerka.
"Safa, apa Kamu marah?" Tanya Rumi yang semakin merasa tak enak hati. Gadis itu pun mencoba untuk beristighfar dalam hati lalu berusaha mengembangkan senyum walau terasa pahit.
"Haruskah– Shafa yang membantumu untuk mengatakan ini, kepada orang tua kita?" Tanyanya yang justru membuat Rumi terdiam. "Terutama Pakde Irsyad. Kalau kita, tidak seharusnya bersama."
"Aku benar-benar minta maaf, Safa."
"Nggak papa, Rumi...." Dengan perasaan getir, gadis itu tertawa kecil. "Cinta memang tidak bisa di paksakan," imbuhnya lembut namun cukup menekan.
"Kamu boleh marah, kok. Karena aku mungkin, terkesan jahat padamu." Rumi merasa bersalah. Pria itu menunduk sekarang.
"Untuk apa aku marah padamu? Kamu aneh, Rumi." Kembali tertawa dengan mata berlinang. Gadis itu menggerak-gerakkan bola matanya agar air matanya tidak sampai keluar. Setelah diam beberapa saat, gadis itu menghela nafas pelan.
"Aku tahu– wanita yang kamu harapkan untuk bersanding denganmu bukanlah aku," lirih Safa mengatakan apa yang ia terka saat ini.
Rumi bergeming. Sekarang giliran dia yang tak bisa berkata-kata. Karena apa yang di tebak Safa benar.
"Aku tahu kok. Sekarang Dia sudah mualaf. Kalian sudah seiman. Bukankah itu kabar baik?"
Mendengar itu, Rumi langsung mengusap matanya yang basah. Bagaimana bisa Safa tahu isi hatinya. Jika dia menginginkan Debora yang menjadi istrinya.
"Di sini, di antara kita, sama-sama tidak ada yang ingin menyakiti antar satu sama lain, 'kan? Begitu pula aku, Rumi. Aku tidak mau memaksa kamu untuk menjadi imamku."
Keduanya hening untuk beberapa saat. Di dalam, Ulum menghela nafas pelan. Kemudian memilih untuk beranjak dari sana. Jujur saja ia benar-benar tidak kuat mendengar percakapan mereka berdua.
"Kamu benar, perasaan kagum bukan sesuatu yang salah. Tapi setelah ini, aku akan mengkaji ulang dan membenahi sesuatu yang salah pada diriku," sambungnya.
"Fa–" Rumi menangkap suara bergetar dari bibir gadis di dekatnya. Membuat pria itu mengangkat kepalanya.
Safa buru-buru menangkupkan tangannya di depan dada. "Aku akan menolak ta'aruf ini. Dan kamu bisa berjuang untuk mendapatkan Akhwat pilihan mu. Nikahi Dia, bimbing Dia dengan baik, Rumi. Dia yang lebih pantas mendapatkan mu."
"Mungkin, aku adalah laki-laki jahat saat ini," ujar Rumi merasa bersalah.
Gadis bermata sayu itu tak menjawab dan justru semakin mengatup rapat-rapat bibirnya menahan gemuruh di dadanya, dengan sesekali mencoba untuk tersenyum. walaupun itu sangat hambar terlihat.
"Andai ada kata yang lebih tinggi dari pada maaf, aku sudah mengucapkan itu, Fa."
Mata yang sejatinya sudah berlinang itu, benar-benar tidak mampu lagi menampung lebih banyak. Safa sangat ingin menangis saat itu juga. Dan ia lebih memilih kembali bertahan dengan cara menyunggingkan senyumnya untuk Pria yang ia kagumi ini.
"Aku ikhlas tidak berjodoh denganmu. Wallahi, Rumi," suaranya berubah serak dan terdengar amat lirih.
Klaaaaap, padam lah seluruh pendar dalam lorong panjang kehidupannya saat ini secara bersamaan. Sehingga membuat batin gadis itu menjadi hampa.
Pria itu menangkupkan tangannya. Wajahnya terlihat menyesal karena telah melukai hati Safa secara tidak langsung.
"Aku rasa semua sudah jelas. Jadi, aku pamit sekarang saja, ya," ucapnya. Gadis itu pun mengangguk pelan.
Rumi membalas, senyum itu tipis. "Aku berharap, akan ada Ikhwan baik hati yang imannya jauh di atas ku untukmu."
Shafa tersenyum lagi. "Aamiin..."
"Emmm..., aku mau pamit sama Paman Ulum."
Gadis itu menoleh kedalam sejenak. Ia sudah tidak melihat tubuh Ayahnya di ruang tamu. Lalu kembali menghadap ke Rumi.
"Nanti ku sampaikan saja. Ayah kanyaknya lagi di kamar istirahat. Kalau Ibu, kamu lihat sendiri tadi dia pergi sama Qonni."
"Kalau begitu. Titip salam aja, ya."
"Walaikumsalam. Iya, Rumi. Nanti aku sampaikan."
Rumi yang menjadi canggung belum berani melangkahkan kakinya keluar dari beranda rumah Safa.
"Ada lagi?" tanya gadis itu dengan hati sudah tak karuan.
"Enggak...," tertawa kecil. "Maaf, ya."
"Iya, Rumi. Jangan minta maaf terus." Keduanya tertawa garing. Rumi pun mengangguk sekali lalu mengucapkan salam dan pergi.
Gadis itu pun berjalan beberapa langkah saat mobil yang Rumi kendarai mulai melaju, dan berhenti di sebuah tiang penyangga atap teras rumahnya. Merengkuh tiang penyangga tersebut dengan satu tangannya. Sementara kepalanya menyandar lemah ke sisi tiang tersebut. Matanya yang sendu itu mulai terpejam pelan. Bulir-bulir bening yang sejak tadi tertampung pun berguguran.
Semudah itu mengatakan ikhlas. Namun, tidak dengan hatinya. Tentu itu sangat berat baginya untuk mengamalkan ikhlas itu sendiri.
Dalam kesendiriannya di luar rumah, Safa mulai sesenggukan. Walaupun dengan usahanya untuk tak bersuara. Tentu hal itu tetap bisa terlihat dengan jelas dari bahunya yang berguncang hebat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Tri Sulistyowati
jodoh kadang cukup rumit
2023-09-29
0
𝐀⃝🥀senjaHIATᴳ𝐑᭄⒋ⷨ͢⚤🤎🍉
maaf kak baru ku lanjutkan bacanya.habis maraton dari novel abi irsyad,nuha,rumi,ci maryam.baru lanjut sini deh,takut ga mudeng hehe.dan nyeseeel bgt kenapa baru sekarang baca2 novel religi kakak😭😭😭 benar2 menginspirasi dan banyak pelajaran berharga.semoga habis novel shafa kakak lanjut nulis novel religi lagi yaa.novelnya anak2 nuha,rumi dan ci maryam🤭 ya kaak ditunggu lo kak😅
2023-06-29
1
Qaisaa Nazarudin
# jauh cantik Safa
2023-05-12
0