Bumi yang ia huni sekarang mendadak gelap. padahal Dia seharusnya tahu. Bahwa, konsekuensi mengagumi seseorang sebelum adanya pernikahan adalah ia harus siap untuk mendapatkan kemungkinan terbesar. Yaitu, cinta yang tak terbalaskan.
Safa tak pernah menyangka, pada akhirnya Rumi akan tahu tentang perasaannya. Dan sekarang, dia tidak salah jika harus menolak perjodohan ini. Karena, siapa yang mau di paksa? Dia juga punya hak untuk memilih.
Di saat Shafa tengah menangis sendiri. Fathul Qulum keluar. Beliau berdiri menatap nanar ke arah sang putri. Karena memang sejak tadi dia ada di sana.
Instingnya sebagai seorang ayah bisa ia rasakan. Peri kecilnya sedang merasakan sesak saat ini. Ulum paham perasaan Safa. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan Rumi.
Ulum mendekati Pelitanya yang sedang padam, lalu menyentuh bahunya pelan. Shafa pun terkesiap. Dia menghapus cepat jejak air matanya, yang justru sudah tertangkap oleh sang ayah dengan tatapan iba.
"Nggak ada yang melarang seseorang untuk menangis, Safa." Ulum meraih tangan putrinya. Menghentikan gerakan mengusap yang di lakukan oleh Safa.
Gadis itu menundukkan kepala, sambil menggigit ujung bibir bawahnya sendiri.
"Sesuatu yang kamu iklhaskan akan kembali. Minimal sama atau mungkin lebih baik dari pada yang kamu inginkan."
Hanya suara sesenggukan Safa yang terdengar, juga gerakan mengangguk berkali-kali yang di berikan sebagai respon darinya.
"Allah tahu, kamu sangat mengharapkannya. Tapi mungkin bukan Dia yang Allah harapan untukmu. Kamu akan mendapatkan yang minimal sama seperti Dia. Ayah percaya itu."
"Iya, Ayah." Kedua tangan Shafa melingkar di pinggang Ulum memeluknya sembari sesenggukan.
"Sabar! Anak ayah kuat. Kamu wanita Solehah yang Ayah miliki. Kamu pasti akan mendapatkan pria Sholeh juga." Ulum mengecup pangkal kepala Safa yang masih sesenggukan. Berusaha menguatkan Safa, agar lebih tegar lagi. "Kalau dipikir-pikir, semua ini ada hikmahnya," sambungnya.
"Hikmah?" Tanya Safa serak, masih dalam posisi memeluk Ayahnya.
"Iya, karena ayah sebenarnya belum mau, loh, di duakan oleh mu. Ayah masih ingin kamu hanya mencintai ayah seorang, hehehe." Ulum yang sedang berusaha mencairkan suasana mampu membuat Safa sedikit tertawa dan mengeratkan pelukannya.
"Shafa sayang sama Ayah," gumamnya.
"Sama dong kalau gitu." Membalas pelukan sang anak, keduanya tertawa pelan. "Emmm– jalan-jalan, yuk!"
"Jalan-jalan?"
"Iya! Tapi berdua saja. Nanti kita jajan apa, gitu. mau, nggak. kencan sama ayah?" ajak Ulum menawarkan.
"Kalau berdua, memang nanti Qonni nggak iri? Dan kalau ibu mencari kita, gimana?" Safa mulai bersemangat. Lorong gelap dalam hatinya sedikit bercahaya, walau masih terasa redup.
Ulum meletakkan jari telunjuknya di bibir sendiri. "Diam-diam makanya, yuk! Sebentar Ayah ambil kunci motor dulu, ya."
"Tapi Safa mau cuci muka. 'Kan, habis nangis," rengeknya manja.
"Uluh-uluh–" Ulum yang gemas mengusap kepala anaknya. "Ya sudah, sana! Cepetan, ya. Mumpung Qonni sama Ibu belum pulang."
"Hehehe... Iya ayah." Gadis itu mengelus lengan Sang Ayah yang terlihat bersemangat demi menghibur dirinya. Sambil sama-sama masuk ke dalam rumah, menuju tujuan masing-masing. Setelah itu Safa kembali keluar. Tentunya Ulum sudah siap di atas motor.
"Ayo, buruan! Nanti Ibu sama Qonni keburu pulang." Pria paruh baya itu mengeslah motor lamanya. Di saat Safa tengah menutup pintu rumah sembari tersenyum dan geleng-geleng kepala.
***
Motor lawas itu membawa keduanya membelah kota yang masih cukup terik karena waktu sudah bergeser menjadi sore.
Safa yang duduk di belakang, membonceng Ayahnya. Saat ini dia tengah melamun, menatap kosong melawan angin yang terus saja menghantam wajahnya. Sesekali ia menyeka air mata yang hendak menetes. Seolah tidak ada daya untuknya menghentikan itu.
Kesedihan masih saja mengganjal di hatinya. Siapa bilang ikhlas itu mudah, hal itu tak segampang ketika kita mengucapkan kata ikhlas itu sendiri. Sehingga bulir-bulir bening penanda kesakitannya masih saja menggenang sampai benar-benar mengering tersapu angin.
Ya, Dia hanya butuh waktu untuk benar-benar merelakan sesuatu yang pergi itu. Namun, ini lebih baik, sih. Dengan ketegasan Rumi yang To the points mengatakan hal jujur yang mungkin sedikit menyakiti. Setidaknya dengan kejujuran itu, dia jadi bisa berhenti untuk mengagumi sosok pria yang belum halal untuknya.
Motor Ulum berbelok ke salah satu pelataran masjid yang lumayan besar dan indah, suara Adzan ashar rupanya sudah berkumandang dan membuyarkan lamunan Safa.
"Alhamdulillah. Kita solat dulu, ya," ajak sang Ayah sambil melepaskan helmnya.
Safa tersenyum sambil turun dari atas motor tersebut.
Keduanya pun berjalan, dan berpisah menuju tempat wudhu masing-masing. Setelah mengambil air wudhu. Tentunya gadis itu langsung bergegas menuju tempat para jama'ah wanita. sesaat ia melewati satu ruangan yang masih di bilang bagian luar masjid, namun sudah lumayan masuk ke dalam.
Di mana terdapat rak buku-buku, dan satu lemari pendingin berisi air mineral dalam kemasan cup. Tentunya air mineral itu gratis bagi para jama'ah yang mau mengkonsumsinya.
Langkahnya terus berjalan menuju salah satu pintu kaca tempat khusus jama'ah wanita.
Namun sebelum itu ia berhenti. Karena ada sesuatu yang menggangu pandangannya. Ia pun menoleh sejenak, ke arah bagian buku-buku yang berada di sisi kiri. Tepatnya di samping ujung tangga yang menuju lantai dua.
Fokus Safa bukan pada rak buku di situ. Melainkan, ada seorang pemuda dengan jaket kulit berwarna coklat, sedang duduk menyandar ke dinding. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena tertutupi buku bertuliskan 'kematian tak menunggumu menua.'
Dia tidur, kah? Bukannya sholat, malah... Gadis itu buru-buru membungkam mulutnya sendiri ketika batinnya tiba-tiba meng-ghibah dengan sendirinya.
"Astaghfirullah al'azim... memang iman ku sudah sebaik apa sampai menistakan orang lain," sambungnya, dia pun masuk setelah di sapa salah satu wanita asing dengan senyumnya, karena dia juga hendak masuk.
🍂🍂🍂
Di kawasan kaki lima...
Seorang ayah dan anak, tengah menyantap hidangan sate taichan yang tergolong sebagai makanan kesukaan Safa. Ulum sengaja memesan sekitar lima puluh tusuk sate untuk mereka makan berdua.
Agak berlebihan sebenarnya menurut Safa, terlebih-lebih sate di kedai ini kan lumayan mahal. karena terkenal dengan bumbunya yang enak, serta potongan dagingnya yang besar-besar. Sungguh sangat puas jika memakannya.
"Banyak banget pesannya, Yah?" Safa berbisik saat makanan itu tersaji di depannya.
"Nggak papa, Ayah cuma mau bikin kamu seneng."
"Tapi nggak gini juga. Bisa-bisa nggak habis, nih."
"Kan bisa di bungkus," usulnya sambil terkekeh. Gadis itu pun merespon dengan helaan nafas. Ayahnya memang seperti itu, selalu berusaha untuk menyenangkan anak-anaknya walau terkadang akan membuatnya susah sendiri. "Di makan, jangan di pelototi saja."
"Iya Ayah..."
"Lontongnya sengaja terpisah biar kalau nggak habis, bisa kita bawa pulang tanpa ke acak-acak semuanya."
"Iya." Safa menanggapi sambil tersenyum. Gadis itu mengambil satu tusukan satenya dan mencobanya.
"Enak, kan? Enak, dong. Kan kedai legen! Dulu ayah cuma bisa beli satu atau dua porsi untuk di makan sekeluarga. Sekarang Ayah bisa beli lima porsi sekaligus buat kita makan berdua." Tertawa yang di ikuti dengan Safa juga.
Sekilas ia mengingat itu, dan bersyukur. Karena sekarang kondisi keuangan keluarganya sudah mulai membaik. Walau tidak banyak, tapi setidaknya keluarga mereka tidak kekurangan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Tri Sulistyowati
jodohmu itu fa
2023-09-29
0
fitria linda
iya q ingat kisahnya ulum dan istri diawal menikah... anaknya jdi secantik safa, masyallah
2023-07-05
0
fitria linda
uuh mewek q
2023-07-05
0