Zea menatap aneh Arjuna yang malah tersenyum. Mengaduk kopinya dan memastikan sudah benar-benar larut, Arjuna masih berdiri di samping Zea tanpa mengalihkan pandangannya. Tentu saja membuat Zea tidak nyaman dan akhirnya menoleh.
Zea balas memandang Arjuna, memperhatikan penampilannya saat ini. Pria itu mengenakan setelan putih hitam dan yang membuat Zea bingung adalah atasan putih yang Arjuna kenakan. Ada logo kecil dekat saku baju Arjuna yang Zea tahu adalah brand terkenal. Untuk posisi seorang OB sepertinya tidak memungkinkan membeli pakaian dengan harga puluhan dollar.
“Kenapa? Kagum ya, tenang aja Bu. Ibu bukan orang pertama yang mengakui saya ganteng,” tutur Arjuna.
Zea langsung menatap sinis pada Arjuna, “Pede banget kamu.”
“Ya harus dong, seorang pria harus percaya diri.”
Zea kembali ke kursinya membawa cup berisi kopi. Mery yang tadi sedang berkomunikasi lewat telepon kemudian menoleh ke arah Zea.
“Aku dan Pak Henry akan meeting dengan bagian lain,” pamit Mery.
“Hm,” jawab Zea.
“Juna, jangan lupa ya nanti malam. Aku tahu club yang asyik daerah sini,” ajak Mery. Mendengar usulan Mery, Zea segera menoleh ke arah Arjuna.
Arjuna sendiri mengedikkan bahunya.
“Lihat nanti ya Bu, saya nggak pernah ke club. Nanti minum alkohol saya kejang-kejang deh, biasa minum bajigur,” sahut Arjuna, kalau ada Leo bisa jadi pria itu kejang duluan mendengar Arjuna yang katanya belum pernah ke club bahkan minum alkohol.
“Justru itu, aku akan kenalkan kamu dengan alkohol yang bisa buat kita bahagia. Aku duluan ya,” pamit Mery.
"Ke Club?" tanya Zea setelah Mery sudah meninggalkan ruangan.
"Nggak Lah, kamu pikir gaji aku seberapa besar untuk main ke club," jawab Arjuna.
Terdengar dering ponsel Zea membuat obrolan mereka terhenti. Zea memandang layar ponselnya dimana ada nama Gavin di sana.
Mencoba menguatkan hati untuk menjawab panggilan tersebut.
"Halo."
"Kamu benar-benar berani ya," ujar Gavin di ujung telepon.
"Maksudnya?”
"Hari ini aku dapat panggilan dari pengadilan, sepertinya kamu sudah siap melihat Ayahmu hancur," ancam Gavin.
"Mas, ini masalah kita jangan libatkan keluarga apalagi mengancamku," jawab Zea yang sudah beranjak berdiri menjauh dari Arjuna. Arjuna yang sedang menyortir lembaran berkas Zea menoleh dan tahu kalau yang menghubungi Zea adalah suami wanita itu. Dari ucapan Zea, Arjuna juga mengetahui kalau mereka sedang bahas perceraian.
"Bagaimana bisa aku tidak bawa keluarga dalam hal ini, sedangkan pernikahan kita memang untuk mempersatukan dua keluarga."
"Hanya untuk keperluan bisnis kalian, aku yang dikorbankan. Aku harus segila apa lagi menyaksikan suamiku yang brengsekk bersama para wanitanya. Kelakuanmu benar-benar menyakiti jiwa dan ragaku."
"Kamu pikir seberharga apa dirimu sampai aku harus menghargaimu sebagai istri dan wanita suci. Kamu hanya lon te yang dijual ayahmu. Jangan-jangan Ayahmu biasa menyediakan atau menawarkan kamu setiap ada kerjasama baru.
“Cukup Mas, penghinaan itu sudah sangat berlebihan.”
Zea mengakhiri panggilannya lalu menarik nafas panjang demi meredakan emosinya. Arjuna menyimak betul kata-kata yang keluar dari bibir Zea saat tadi menerima telepon.
“Sepertinya bukan aku yang butuh ke club.”
Zea menoleh, “Maksudnya aku?”
Arjuna kembali mengedikkan bahunya.
“Aku jarang ke tempat begituan. Terakhir kali … entahlah sudah lama juga.”
Arjuna terkekeh, merasa tidak yakin dengan apa pengakuan Zea. Untuk orang dewasa seperti mereka dan dengan penghasilan yang cukup, juga circle pertemanan dan pekerjaan yang mereka hadapi saat ini rasanya aneh dan tidak mungkin kalau Zea jarang mendatangi tempat bernama club.
Dalam benaknya, Arjuna masih menganggap Zea bukan wanita baik karena ada hubungan dengan Papi nya meskipun belum ada bukti jelas.
“Aku serius.”
“Oke, tapi entah kenapa aku sulit percaya.”
Pintu ruangan dimana Arjuna dan Zea berada terbuka, lalu masuklah Leo.
“Ibu Zea, bisa kroscek project ke lapangan. Analisa hasil yang sudah terlaksana dengan proposal dan perencanaan,” titah Leo.
“Siap, Pak Leo.”
“Berkasnya sedang disiapkan, Juna kamu temani ibu Zea. Sepertinya tidak akan kelar hari ini, ada beberapa catatan yang harus dievaluasi,” titah Leo lagi. Tidak lama kemudian masuklah salah satu staf menyerahkan berkas yang dimaksud oleh Leo kepada Zea.
“Kalian bisa pakai mobil,” ujar Leo lagi. “dan kamu ikut aku dulu,” ajak Leo pada Arjuna.
Keluar dari ruangan dan berdiri berhadapan memastikan tidak akan ada yang mendengar apa pembicaraan mereka.
“Pak Abraham sudah semakin stabil, bahkan sudah mengarahkan kembali masalah perusahaan. Sepertinya beliau akan sampaikan CEO penggantinya di acara tersebut.”
“Sampai saat ini dia masih pada pendiriannya?” tanya Arjuna.
“Hm. Sebaiknya kamu terima saja dan fokus pada perusahaan sendiri.”
“Bukan itu masalahnya, gue hanya nggak ingin Papi salah langkah. Perempuan ini bentar lagi hancur karena perceraian dia butuh pijakan baru dan aku yakin Papih adalah pijakannya,” tutur Arjuna kembali menuduh Zea berdasarkan asumsinya.
Leo memijat dahinya mendengar tuduhan Arjuna.
“Tapi aku merasa Ibu Zea tidak begitu, walaupun aku belum memiliki bukti yang mendasari pendapatku.”
“Aku akan dapatkan bukti itu, untuk itulah aku ada di sini,” ujar Arjuna.
“Kamu jangan macam-macam, apalagi sampai menjebak ….”
“Ck, aku tidak sebej*t itu.”
Leo menghela pelan, “Temani dia, aku ada hal lain yang perlu diurus.”
“Hm.”
Arjuna kembali ke ruangan dimana Zea berada. “Sudah siap?” tanyanya.
“Ayo.”
Keduanya sudah berada di dalam mobil, duduk di kabin tengah. Zea yang sudah membaca sekilas isi project walaupun belum memahami sepenuhnya memilih menikmati perjalanan mereka. Tapi dengan banyaknya pikiran di benak Zea membuatnya tidak terlalu antusias dengan pemandangan yang tersaji.
“Ini jam makan siang, apa nggak sebaiknya kita makan dulu. Sampai lokasi juga mereka sedang istirahat," usul Arjuna.
“Iya, Pak kita mampir dulu ya,” titah Zea pada supir.
“Mampir kemana, hotel?” bisik Arjuna.
Zea menatap sinis pada Arjuna.
“Makan siang kan bisa di hotel, ada restorannya juga,” sahut Arjuna.
“Terserah kamu, aku lagi nggak pengen makanan hotel. Cari rumah makan sederhana aja Pak,” titah Zea lagi. “Ah disitu aja, Pak.”
“Seriusan?” tanya Arjuna melihat rumah makan yang terlihat sangat sederhana bukan masuk kategori restoran. Mobil akhirnya berhenti. Alih-alih menjawab pertanyaan Arjuna, Zea memilih keluar dari mobil.
Arjuna dan Zea sudah duduk berhadapan di salah satu meja. Arjuna menatap sekeliling sedangkan Zea fokus memilih menu dan menunjuk pilihannya pada pelayan.
“Kamu pesan apa?” tanya Zea pada Arjuna.
“Samakan saja.”
Keduanya sempat bungkam dan fokus pada gadget masing-masing saat menunggu pesanan. Bahkan Arjuna sedang merokok sambil berbalas pesan dengan asisten di perusahaannya. Pesanan pun datang, Zea terlihat menikmati makan siangnya, dengan menu dan tempat sederhana ini jauh dari bayangan Arjuna yang menilai Zea sebagai wanita konsumtif.
Lagi-lagi Arjuna kembali diperlihatkan dengan kenyataan yang membingungkan.
“Aku sempat dengar isu di kantor,” ujar Arjuna yang berhasil mendapatkan atensi dari Zea. Wanita itu menatap Arjuna sambil menikmati makan siangnya.
“Isu apa?”
“Katanya Zealia Cinta akan naik jabatan,” pancing Arjuna.
“Ck, aku tidak tertarik. Aku sudah berkali-kali menolak, tapi baru menyampaikan ke Pak Leo. Entah apa yang dilihat Pak Abraham sampai menunjuk aku, padahal ya dia punya anak kenapa juga nggak tunjuk anaknya sendiri,” tutur Zea.
Arjuna mencondongkan tubuhnya semakin dekat dengan meja.
“Lalu kenapa tidak diberikan ke anaknya?”
“Ih kamu udah kayak karyawan yang suda ngegibah,” sahut Zea sambil menyeka mulutnya dengan tisu.
“Jawab saja.”
“Ya nggak taulah, itu urusan keluarga Pak Abraham. Tapi beberapa kali menjenguk beliau aku tidak melihat dia ditemani keluarga. Entah hubungan macam apa yang terjadi, Pak Abraham punya segalanya tapi keluarga tidak ada untuknya,” jelas Zea yang cukup membuat Arjuna tersinggung.
Siapa sebenarnya kamu, Zea?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Dwi apri
gonjang ganjing dunia persilatan
2025-01-04
0
Sweet Girl
bwahahaha bumi berguncang
2024-08-03
0
Nur fadillah
Zea Cinta...😀
2024-07-31
0