Pertengkaran malam itu yang berakhir tidur, dengan Arika menangis di dalam pelukan Prawira membuat suasana pagi ini tampak canggung. Arika yang biasa selalu menyapa hangat sang suami tampak membelakangi Prawira. Matanya pun tampak masih sembab. Pelan Prawira bangkit dari tidurnya melepaskan pelukan sang istri.
Ia ingin bergegas membersihkan tubuh namun urung ia lakukan kala tak sengaja menyentuh lengan sang istri yang terasa panas. Keterdiaman Arika juga merupakan salah satu sebab dari sakit di tubuhnya yang entah kapan terjadi.
"Arika, kamu demam?" Prawira memeriksa beberapa bagian tubuh sang istri dan merasakan suhu tubuh istrinya yang memang sangat tinggi.
Kejadian satu minggu pernikahan membuatnya ingat jika sang istri sangat mudah sakit. Itulah yang di katakan oleh sang ibu mertua. Mendengar sang suami yang berucap, Arika hanya diam saja. Kekesalan dalam hatinya entah mengapa belum juga terasa lega.
Tanpa bicara apa pun, Arika memikirkan jika saat ia sakit sang suami pasti akan berusaha semaksimal mungkin menjaga dan merawatnya. Namun, wajahnya di buat kaget sang Prawira keluar dan kembali dengan membawa Lisa masuk ke kamar mereka.
"Arika sakit, jadi tolong kamu urus. Saya ada meeting pagi ini penting. Jika ada apa-apa kabari saya dan secepatnya bawa ke rumah sakit. Kau mengerti?" tanyanya pada sang pelayan.
Patuh Lisa pun menganggukkan kepalanya.
"Baik, Tuan." jawab Lisa sedikit malas sebab ia merasa waktunya bersama Prawira sulit sekali untuk ia dapatkan.
Arika hanya terbaring lemas mendengar percakapan suaminya dan pelayan itu. Sementara Prawira pun bergegas menuju kamar mandi tanpa perduli jika di kamar itu Lisa masih berdiri tanpa berniat melakukan apa pun.
Mereka tidak sadar jika Arika terus memperhatikan. Dimana Lisa tampak menatap penuh damba dengan tubuh Prawira yang baru keluar kamar mandi dengan pakaian lengkap. Pergerakan kepalanya mengikuti arah langkah pria itu yang kini menata rambutnya.
"Arika, aku harus ke kantor. Mungkin agak sore aku baru bisa pulang. Kamu sama Lisa di rumah yah?" tutur Prawira dengan hangat sembari mengusap kepala sang istri dan mencium puncak kepala Arika.
Tanpa sarapan dan tanpa memastikan sang istri sarapan, Prawira berangkat ke kantor. Ia menuju perusahaan dengan wajah tenang tanpa dosa. Sementara Arika yang merasa pusing dan meriang berusaha bangkit dari tempat tidurnya.
"Nyonya, nyonya mau apa? Biar saya bantu." ujar Lisa mengejar Arika yang turun dari tempat tidurnya.
"Sebaiknya kamu keluar saja. Saya ingin mandi dan bersiap ke kampus." tuturnya dengan wajah jutek.
Sumpah demi apa pun Arika sangat tidak suka dengan kehadiran Lisa di rumahnya. Namun, mengingat ia dan Prawira masih sangat baru menikah, ia tak enak hati untuk menegur atau mengambil keputusan yang sudah di buat sang suami. Akhirnya Arika memilih menurut saja meski tak suka.
"Tapi, Nyonya..."
"Lisa, saya bilang kamu keluar. Saya baik-baik saja." kekeuh Arika memintanya dan Lisa pun patuh tanpa bisa membantah.
Ia keluar dengan wajah kesal, dari malam hingga pagi Prawira sama sekali tidak melirik ke arahnya.
"Aku harus memikirkan cara dan pintar mencari waktu. Enak saja sekali bersamaku dia tidak datang lagi. Ini tidak bisa di biarkan." ujarnya berpikir jika Wira sudah bosan dengan sentuhannya siang itu.
Sedang di kamar, Arika tampak duduk usai mandi. Ia memejamkan matanya beberapa kali menahan sakit kepala yang terasa bergoyang. Jadwal mengajarnya di kampus bisa saja ia tunda, namun mengingat hatinya yang gundah Arika tidak ingin berlarut-larut dalam sedih. Ia ingin tetap profesional dalam bekerja.
***
Singkat cerita Arika tiba di kampus. Ia turun dari mobil dan menuju kelas di mana ia akan mengajar. Hari ini Arika mendapat jadwal mengajar di dua kampus yang berbeda. Pertama di kampus milik sang ayah dan kedua di kampus yang berada di dekat kantor sang suami.
"Aduh, kenapa kepalaku semakin pusing?" ujarnya memijat kepala namun Arika terus melanjutkan langkahnya.
Datang ke kampus sekitar hampir dua jam Arika mengajar di kelas itu, tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat. Ia pun berniat untuk menuju kampus berikutnya dan makan siang di sana.
"Arika," suara yang sangat familiar membuat Arika menghentikan langkah kakinya menuju parkiran mobil. Ia melihat sang ayah.
"Ayah," Arika tersenyum dan mencium punggung tangan sang ayah.
"Bagaimana pernikahanmu dengan Prawira? Ayah tidak salah kan memilihkan jodoh untukmu?" Pertanyaan dari sang ayah membuat Arika melunturkan senyumannya seketika.
Ingatannya kembali pada kejadian kemarin dan semalam. Dimana ia merasa semuanya tidak baik-baik saja seperti dugaannya selama ini.
"Ingat Arika, keluarga kita sangat terhormat. Dan semua kehidupan kita juga akan menjadi pertimbangan untuk kampus Ayah. Pernikahan bagaimana pun baik dan buruknya tidak boleh sampai terdengar oleh orang luar. Prawira adalah pria yang bertanggung jawab dan juga bijaksana. Sebagai wanita kamu harus bisa mengharumkan nama keluargamu dan keluarga besar kita."
"Apa itu juga berlaku jika terjadi sesuatu dengan Prawira, Ayah?" pertanyaan dari Arika membuat kening sang ayah mengernyit sesaat.
"Apa kamu ini bicaranya? Sudahlah sekarang Ayah ada pertemuan. Kita bicara lain waktu lagi." Algam berlalu meninggalkan sang anak tanpa melihat perubahan raut wajah Arika yang tampak pucat tak secerah biasanya.
Pelan pelan pelan Arikan memejamkan mata dan memegang kepalanya. Akhirnya di detik berikutnya ia menjatuhkan tubuhnya saat pandangan mata wanita itu sama sekali tak bisa melihat apa pun.
"Arika!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments