Merasa yakin dengan apa yang ia lihat, wanita paruh baya yang ternyata ibu dari Arika pun mendekat. Ia memperhatikan dengan seksama dan menyapa Prawira.
Di depannya terlihat Prawira tengah tertawa dengan seorang wanita bahkan duduk mereka begitu dekat.
"Prawira," sapaan dari Anggi sontak membuat dua sejoli di depannya seketika terhenti saling tatap.
Yeni tak beranjak dari aksi menempel sementara Prawira mendorong tangan wanita itu dan berdiri. Wajahnya terlihat gugup sekali, namun ia tetap bersikan dengan tenang. Berusaha menutupi ketakutannya. Berharap semua akan bisa di atasi dengan baik oleh wanita paruh baya di depannya saat ini.
"Ibu." Prawira mendekat dan mencium punggung tangan sang mertua.
Melihat itu tentu saja Anggi tak serta merta merubah raut wajahnya. Ia memperhatikan sosok wanita yang bersama menantunya. Tampak sangat tidak sopan, ia bahkan tak menyapanya sama sekali. Dan Prawira yang melihat tatapan sang mertua pada Yeni bergegas bersuara.
"Kenalkan, dia sekertaris saya, Bu. Yeni ini mertua saya sapa dia." ujar Prawira menatap Yeni dengan tatapan tegas. Berbeda sekali dengan yang tadi. Hingga Yeni pun menuruti perintah sang tuan. Ia berdiri dari duduknya dan menyapa dengan hormat.
"Selamat siang, Nyonya. Saya sekertaris Tuan Prawira, Yeni." tuturnya menangkup tangan dan menundukkan kepala.
Sapaan yang ia berikan tak mendapat balasan sama sekali, sebab firasat Anggi sudah tak enak saat ini. Lama ia memperhatikan keduanya tanpa berkata apa pun, hingga keterdiaman itu terpaksa harus berakhir saat Anggi mendapat panggilan dari para temannya.
"Nyonya Algam," panggilan itu membuat kepala Anggi menoleh ke belakang. Ternyata para temannya sudah berkumpul di restauran itu.
"Ibu pergi dulu." ujarnya dingin menatap sang menantu.
Sepanjang melangkah beberapa kali Anggi menoleh ke belakang memperhatikan pergerakan sang menantu yang tidak seperti tadi lagi. Hingga ia tiba di kursi yang berdekatan dengan teman-temannya. Pikiran Anggi masih saja terus tertuju pada sang menantu. Dimana ia melihat Prawira sudah pergi dari sana dengan wanita yang tadi.
"Apa seperti itu dekatnya hubungan mereka? Tapi mengapa aku tidak melihat wanita itu di pernikahan mereka?" gumam Anggi merasa janggal sebab Yeni memang bukanlah sekretaris lama untuk sang menantu.
Firasat yang kian mengganjal membuat Anggi memilih untuk segera meluangkan waktu menelpon sang anak. Ia menuju ke arah yang sedikit sepi demi bisa mendengar suara sang anak.
"Halo, Bu." Sapaan suara lemah terdengar dari seberang kala telepon sudah di angkat oleh Arika.
Mendengar suara itu Anggi mengernyitkan keningnya. "Arika, kamu kenapa? Suara kamu lemas begitu? Kamu sakit lagi?" tanyanya dengan nada khawatir.
Niat hati keluar rumah hari ini untuk menenangkan pikiran justru Anggi mendapatkan pikiran bertubi-tubi. Tak tahan mendengar kecemasan sang ibu, Arika sampai meneteskan air matanya. Entah kali ini ia merasa seperti berada di kehidupan yang sangat asing.
"Arika, ada apa? Katakan pada Ibu." pintah Anggi kembali setelah tak mendapatkan jawaban dari sang anak.
"Arika di rumah sakit, Bu." jawaban Arika sontak membuat kedua mata Anggi melebar.
Arika pun menceritakan jika ia di bawa oleh sang teman ke rumah sakit usai mengajar dan kini masih di rawat sebab tubuhnya pun masih panas.
Tanpa berkata apa pun lagi, Anggi bergegas mematikan sambungan telepon berniat untuk mengejar sang menantu namun mobil yang di kendarai oleh Prawira sudah menjauh dari tempat itu. Tanpa berpikir lagi Anggi menuju ke rumah sakit. Sebagai seorang ibu hal yang paling utama adalah anak.
***
"Awan, sebaiknya pergilah. Aku tidak apa-apa di sini sendiri. Lagi pula ibuku sebentar lagi juga tiba." Arika tak enak hati terlalu merepotkan pria di depannya ini.
Bukannya menuruti perintah Arika, Awan justru tersenyum dan mendudukkan tubuhnya di sofa sudut ruangan itu.
"Anggap saja ini yang harus kau balas budi untuk mengajari ku banyak hal, Arika." jawabnya yang membuat Arika tak bisa berkata apa pun lagi.
Selang lima belas menit kemudian akhirnya pintu pun terbuka, dimana Arika dan Awan melihat sosok wanita yang tak lain adalah Anggi. Wanita itu berlari mendekat ke arah Arika dan memegang tangan serta keningnya.
"Sayang, kamu kenapa? Kecapean apa lagi? Atau pikiran apa yang membuat kamu seperti ini?" tanyanya yang sudah bisa menebak penyakit anaknya itu.
Tubuh Arika yang sejak kecil begitu mudah terkena penyakit membuatnya bertanya seperti itu.
"Apa suamimu sudah tahu ini?" tanyanya lagi mengingat Prawira tadi tampak senang-senang di luar bersama wanita yang di akui sebagai sekretarisnya.
Pelan Arika menggeleng. "Prawira susah aku hubungi, Bu. Mungkin dia sedang banyak kerjaan atau rapat dengan kliennya."
Niat hati datang pada sang anak ingin mengadukan hasil penglihatannya. Melihat Arika yang sakit, Anggi memilih diam. Ia tak ingin semakin membuat sang anak cemas dan jatuh sakit semakin parah. Kini hanya perhatian yang bisa ia berikan untuk Arika.
"Bu, kenalin ini Awan. Teman Arika kuliah. Dia yang nolong Arika tadi." tuturnya memerpkenalkan pria yang sudah berdiri di dekatnya.
Ramah Anggi tersenyum. "Awan, Tante." sapanya hangat.
"Anggi,"
Keduanya saling berjabat tangan dan Anggi memperhatikan wajah Awan yang sangat tampan dan senyuman yang tidak kaku sama sekali.
"Teman kamu yang lain juga pasti tampan-tampan, Arika. Ini saja limited edition." ujar Anggi yang di jawab kekehan oleh Arika dan Awan.
***
"Yeni, saya harus keluar. Tolong kamu handle semuanya yah?" Di sini Prawira sudah bergegas pergi usai mengantar Yeni ke kantor kembali.
Mendengar itu tentu saja Yeni merasa penasaran. "Keluar kemana?" tanyanya mengejar Prawira yang hendak membuka pintu ruang kerjanya.
"Aku ada undangan dari teman-temanku." ujarnya yang tak perduli dengan raut wajah kesal Yeni.
Yeni yang merasa tak bisa berkutik di jam kerja hanya bisa patuh menunggu di kantor. Padahal niatnya tadi ingin membawa Prawira kembali merajut cinta di kamar hotel. Sayang pria itu justru berubah pikiran usai melihat ponselnya entah apa yang ia lihat.
"Kenapa wanita itu tidak mati saja sih?" kesal Yeni yang mengira jika dalangnya adalah Arika.
Namun, dugaannya salah besar. Sebab Prawira kini baru tiba di bandara dengan kaca mata hitamnya menyambut kedatangan seorang wanita yang sudah memeluknya begitu erat. Penampilan yang sempurna. Tubuh putih dan mulus, tinggi serta penampilan dengan jumptsuit hitam brukat dan rambut panjang curly sangat membuat mata Prawira termanjakan.
"Wir, aku kangen banget." ujarnya manja bergelayut di tubuh kekar sang pria.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments