Diskusi mereka tampaknya membutuhkan lebih banyak waktu dari yang kuperkirakan. Aku pikir akan mati kebosanan ketika mereka kembali lagi dalam formasi lengkap.
“Sudah dapat hasil memuaskan?”
Aku nyaris tidak memikirkan konsekuensi apapun saat melemparkan pertanyaan. Prioritasku hanyalah menjauhkan diri dari ketidakwarasan ini.
Para GUARDIAN ini entah bagaimana terkena kutukan bisu selama bermenit-menit, mereka hanya diam memandangiku tanpa ada niatan memberiku jawaban. Apa ini? Apakah ini metode introgasi lainnya?
“Kami butuh identitasmu,” ketika akhirnya GUARDIAN di depanku bicara, nada suaranya agak janggal.
Nadanya lemah, lelah, seperti orang yang kalah dalam perang. Aku mulai dramatis.
“Tidak.” Aku membuang pandangan. “Kalau pada akhirnya saya akan ditetapkan sebagai pelaku, saya menolak memberitahu.”
Aku tahu aku mungkin akan mendapat masalah yang lebih besar karena sudah bersikap selancang ini. Namun aku tidak mau diperlakukan sebagai penjahat dan menolak segala penindasan. Apalagi menyangkut nama baik keluarga dan Pack.
“Jangan memperumit keadaan. Kami butuh identitasmu.”
Aku menyipitkan mata melemparkan pandangan curiga.
“Kami memerlukan identitasmu untuk memastikan bahwa kau tidak berbohong.”
“Apa aku akan dibebaskan setelah itu?”
“Yah, kita akan mempertimbangkan kemungkinan itu, karena itulah beritahu kami identitasmu.”
“Azouna Weston, Red Eclipse Pack,” kataku setengah tak ikhlas.
Mereka semua terdiam bak patung lagi. Aku mencatat bahwa orang-orang ini selalu memerlukan waku beberapa menit sebelum memberikan respon. Apa yang membuat perilaku semacam itu? Pasti akan menjadi berita panas jika aku berhasil mengetahuinya.
“Benar-benar konyol.”
Aku mengerenyit, menatap anggota GUARDIAN yang tiba-tiba bersuara. Aku sudah berdamai dengan kenyataan bahwa mereka biasa bertingkah aneh, seperti, terkena kutukan batu, berbicara sendiri, tapi yang barusan itu … aku mengenali suaranya. Gaya bicaranya sama dengan GUARDIAN pertama yang kutemui, tapi suaranya … aku menggeleng, mengusir imajinasi kelewat ngawur itu.
“Sampai kami memastikan kebenaran soal identitasmu, kau akan tetap di sini untuk sementara.”
Seperti aku punya pilihan lain saja.
Tadinya kukira semua anggota akan ikut pergi tapi nyatanya mereka masih meninggalkan satu orang sebagai pengawas. Benar-benar pengawas, matanya tak bisa kulihat tapi tatapan tajamnya jelas terasa. Aku bahkan yakin bahwa ia tidak berkedip sama sekali.
Mulanya aku mengabaikan, memandang ke mana saja, memikirkan apa saja, bahkan hal paling konyol. Namun keheningan yang terjadi membuatku bosan, berhubung tidak ada orang lain di sini, kuputuskan untuk mengajaknya bicara. Siapa tahu aku beruntung dan dia memiliki sifat baik hati plus ramah.
"Apa kau tidak merasa pengap sama sekali? Menutupi tubuh sepanjang waktu seperti itu?"
Aku hanya pernah memakai jubah satu kali, saat permainan mencari harta Karun di penjara labirin dan sudah tidak tahan. Bahannya yang tebal membuat panas juga terasa berat, aku tidak bisa bergerak bebas. Jadi aku benar-benar penasaran bagaimana orang-orang ini bisa bertahan selama itu.
Apakah fisik mereka benar-benar buruk? Sampai-sampai mereka bersikap begitu enggan memperlihatkan diri atau apa mereka mengidap penyakit tertentu? Seperti ras pucat takut matahari di sisi lain benua.
"Hanya kita berdua di sini, aku bisa menjaga rahasia."
Tawaranku tidak berhasil menggugah hatinya, ia bahkan tidak bereaksi apapun. Masih berdiri diam menyender di dinding di dekat pintu masuk.
Oh, baiklah, aku mulai berkarat oleh kebosanan. Kakiku pegal dan punggungnya telah menjadi sekaku kayu. Aku berdiri sebagai upaya pemberontakan, berjalan mondar-mandir tanpa henti.
Di luar sana, perak bulan telah sepenuhnya menggantikan emas matahari. Dominasi kegelapan pun mulai menunjukkan kuasanya. Beberapa serangga malam bernyanyi menyambut waktu bermain mereka. Lainnya berkilauan di sela-sela dedaunan memamerkan punggung bercahanya. Mataku tanpa sadar terpaku pada pemandangan yang tersaji.
Harmonisasi dalam kegelapan. Aku tidak pernah benar-benar memperhatikannya selama ini. Mom selalu menutup pintu rapat saat gelap mulai menyelimuti dan melarang kami sepenuhnya untuk keluar rumah.
"Cantiknya!" gumamku tanpa sadar, selangkah lebih dekat di kaca jendela.
Lukisan alam yang menghampar terasa sangat dekat. Aku bahkan mulai berimajinasi melihat diriku sendiri di tengah hutan itu, tapi dalam versi yang lebih kecil. Awalnya, lalu ada kembaranku di balik sala satu pohon, bermain petak umpet, dari kejauhan terdengar suara Jaiden dan bibi yang berteriak.
"Elie apa yang kau lakukan di sana?"
Ia meletakkan telunjuk di depan bibir, mengisyaratkan untuk tidak bersuara. Wajahnya berseri seperti seorang Dewi.
"Jangan berisik atau dia akan menemukan kita."
Aku menoleh, suara Jaiden semakin terdengar jelas, berteriak meminta kami kembali. Oh, benar kami sedang bermain, aku mengikuti jejak Alison membiarkan kegelapan menyembunyikanku.
"Elie ... Di mana kau?"
Aku mengawasai Jaiden dari dalam kegelapan, terkikik saat melihat wajah frustasinya. Ia bergerak tak tentu arah, cemberut, terkadang mengacak-acak rambutnya. Tak jauh dari Jaiden ada bibi Arella ia berjalan anggun dalam penampilan normal, rambut panjang lurus, bergaun biru cerah. Ternyata bibiku sangat cantik jika tidak berdandan aneh-aneh.
Aku semakin merapatkan diri ke batang pohon membiarkan Jaiden lewat. Kau menghilangkan kesempatan untuk berganti peran Jaiden, aku tersenyum, keluar dari persembunyian setelah beberapa menit.
Bulan semakin menunjukkan kuasa membentangkan tirai perak kebiruaannya di seantero malam. Bahkan kegelapan ini tak sanggup membendung kekuatan pancaran cahayanya. Selama beberapa menit aku terpesona memandanginya, rasanya damai, seolah dunia seharusnya memang seperti ini.
Puas mengagumi penguasa kegelapan, aku mengembalikan atensi pada permainan, sejenak terhenyak menyadari tak ada lagi suara dari saudaraku. Ke mana mereka?
"Elie? Jaiden? Bibi Arella?"
Suaraku disambut keheningan, aku berjalan mengikuti insting membawa ke tempat yang seharusnya rumah nenek. Namun semakin lama menyusuri hutan aku semakin kehilangan arah. Ketika tersadar aku sedang berada di sebuah tempat asing dengan altar batu yang mendominasi. Apa ini?
Aku sedang mengamati keadaan saat tak sengaja menangkap sebuah sosok. Seorang gadis bergaun putih, ia berdiri di tengah-tengah altar memandangi bulan. Pada awalnya ia hanya sekedar berdiri diam sampai akhirnya berbalik menatap ke arahku.
"Aku menemukanmu."
Aku terguncang oleh pandangannya, kehilangan kendali tubuh dan jatuh.
"... Pas." Sebuah suara dari jauh berbisik. "Bernapas."
Aku masih kehilangan diri saat goncangan keras menerpa.
"Bernapas."
Aku menuruti bisikan yang datang, menarik napas, tersedak, lalu tersadar. Sudah berapa lama aku menahan napas? Kepalaku berdenyut dan dadaku sakit.
"Apa yang terjadi padamu?" Suara itu terdengar sangat khawatir.
"Dia bilang dia menemukanku."
Aku masih setengah linglung, menjawab dengan kata yang muncul di otakku.
"Dia? Apa maksudmu?"
"Gadis itu ..." Aku memegang kepala, mengusir wajah cantik tak asing itu. Aku mengenalinya, tapi siapa? Aku tidak bisa mengingatnya.
"Tenanglah, dan bernapas pelan-pelan." Suara itu memanduku dengan lembut. "Oke, kau bisa buka matamu, baru jelaskan yang terjadi."
Pelan-pelan, aku mengikuti sarannya, menarik napas pelan berkali-kali, setelah agak merasa lebih baik, aku membuka mata. Hal pertama yang terlihat adalah tudung hitam, tapi aku terlalu lelah untuk berteriak, jadi hanya memandanginya.
Seseorang, kupikir, sedang memegang tubuhku, menahannya dalam posisi yang akan membuat orang salah paham. Sebelah tanganku mencengkram erat bahunya sedangkan satunya memegang kepala sendiri.
"Kau sudah baikkan."
Suaranya tidak asing, tapi otakku masih terbawa suasana oleh ilusi sejenak tadi hingga tidak punya waktu untuk mencari tahu siapa kiranya sang pemilik. Aku mengerjap perlahan menarik napas sebanyak yang kubisa.
"Apa yang terjadi? Kau sangat pucat?"
Pastilah, pikirku, menatap tangan sendiri, ia memutih dengan urat-urat yang saling unjuk diri dan terasa lembab. Bukan hanya tangan tapi seluruh tubuhku, basah dan mengigil.
"Mungkin karena perutku belum terisi apapun sejak pagi."
Aku mengatakan kebohongan paling masuk akal untuk situasi ini. Menghela napas menenangkan jantung yang masih berdetak kencang. Akhir-akhir ini jantungku selalu menerima kejutan membahayakan. Aku mencatat harus meluangkan waktu untuk merilekskannya nanti.
Namun harapan tinggal rencana, belum juga keinginan terealisasi, jantungku sudah menerima kejutan lain, dengan cara paling memalukan.
"Apakah kami seharusnya belum masuk?"
Otakku masih dalam proses mencerna informasi yang datang secara beruntun dan menjadi lambat, tapi GUARDIAN yang memegangku jelas tidak. Ia menanggapi situasi dengan cepat, melepaskan pegangan pada tubuhku. Caranya tampak kasar tapi anehnya tidak menyakitiku.
"Tidak, dia mendadak jatuh tanpa sebab." Alasannya terdengar sangat dipaksakan.
"Yah, kami bisa melihat itu, kau memegangnya erat."
Dua GUARDIAN yang berdiri paling depan segera bergerak dari fase terkejutnya memasuki ruangan disusul anggota lain, dan tambahan satu sosok baru.
Dia bukan orang yang kuharap kan untuk datang, apalagi dalam situasi seperti, tapi merupakan pilihan paling baik untuk saat ini.
"Jaxon?"
Aku diam-diam meringis saat matanya balas menatapku. Dari luar ia tampak datar seperti biasa tapi aku tahu itu bukan pertanda bagus, sorot matanya mengatakan kau dalam masalah besar.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Dwi Sulistyaningsih
tamatlah riwayatmu🤣
2023-01-24
3