Setelah perdebatan panjang dan protes yang kulakukan sia-sia. Di sinilah aku sekarang berdiri di depan pintu rumah dengan ransel yang menganggur erat punggung.
“Selamat bersenang-senang.” Alison menepuk pundakku memberi semangat.
“Bukannya kamu juga ikut?” tanyaku menatap jubah biru barunya.
Dia tersenyum menyesal.” Sayang sekali, Azu. Hari ini aku resmi bertugas. Kamu menderitalah sana sama Jaiden.” Dia memasang tampang sok iba.
Huh! Alison mungkin jadi seseorang dengan hal baik di dalam dirinya, tapi kalau sudah bersangkutan dengan nenek. Dia sama saja dengan Mom dan aku. Sama-sama tidak suka, bukan benci yah, hanya tidak suka karena kurang nyaman dengan rumah dan sikap nenek.
Sebelum sempat melakukan protes. Jaiden sudah lebih dulu menyeretku berjalan. Mereka bisa saja menggunakan wujud serigala untuk cepat sampai, tapi berhubung ada aku mereka mengurungkan niat, terutama Jaiden pelaku utama yang memberiku trauma.
Perjalanan kerumah nenek hanya di isi percakapan antara Jaxon dan Jaiden, ralat ocehan Jaiden dan tanggapan sepatah dua patah kata dari Jaxon. Dan aku sendiri, tentu saja diam menjadi pendengar yang baik, sambil memikirkan rencana apa yang akan kulakukan di sana nanti. Pilihan pertama tentu saja kabur secepatnya, tapi aku rasa itu akan sedikit sulit mengingat keberadaan Jaxon yang sudah pasti akan menjadi penghalang terbesarku. Seharusnya aku memaksa Alison untuk ikut tadi. Aku merengut kesal mengamati pepohonan yang mendominasi sisi jalan. Rumah nenek terletak di bagian selatan desa dekat dengan teritory para GUARDIAN.
Oh, benar GUARDIAN.
Menyebut nama itu membuatku teringat kejadian memalukan kemarin. Setelah dibuat tak sadarkan diri oleh tatapan mematikan ROUGE bermata gelap itu. Aku terbangun sore harinya di salah satu rumah perawatan bersama delapan belas anak lainnya. Rupanya tidak hanya aku yang mengalami hal serupa. Hanya Brian dan mengejutkan Floren yang berhasil bertahan, keluar dari labirin tanpa digotong para penjaga. Bahkan Grace yang notabenenya siswi terkuat pun takluk di bawah siksaan kegelapan.
Aku membuat catatan untuk mendatangi Floren nanti dan membuat perhitungan dengannya. Gara-gara keinginan gilanya kami harus mendapat hukuman tambahan, seolah pengurangan poin dari MISS. Sellin sebagai hukuman karena gagal menyelesaikan misi itu belum cukup.
“Kau terlihat seperti orang yang akan menjalani hukuman mati.” Jaiden mengerling kearahku dengan senyum jahil.
Aku melotot ganas kearahnya memberitahunya lewat tatapan untuk tidak menganggu.
“Wow! Wow! Santai Azu,” Jaiden menoleh kearah Jaxon dan berkata,” Jax, sebaiknya kau berhati-hati, Azu terlihat akan menerkammu.” Candanya dengan kikikan kecil.
Jaxon hanya melirikku lewat bahu sebentar sebelum kembali fokus menghadap depan.
Bersamaan dengan terlihatnya pohon Aloes yang berjejer di kanan-kiri jalan, begitu pula semangatku yang semakin turun. Beberapa rencana yang tadi sempat terpikirkan olehku mendadak kabur seperti pengecut, seolah takut dengan keseraman rumah lebih cocok disebut pondok itu. Rumah nenek masih seseram biasanya, dikelilingi tanaman herbal dari berbagai jenis. Ia juga kadang menjualnya pada rumah perawatan untuk para shifter yang terluka.
Aku pernah bertanya pada Mom mengapa nenek tidak tinggal di rumah kami saja, atau mengapa ia tidak bergabung bersama para tabib lain yang mendedikasikan keahliannya untuk kebaikan Pack. Bukannya tinggal di ujung desa tanpa ada satu pun tetangga ini. Mom bilang nenek tidak ingin membiarkan bibiku yang entah kapan akan menemukan pasangan itu sendirian. Alasan lainnya karena ia ingin menikmati hari tua dengan damai tanpa terlibat urusan pack lagi.
Terlepas nuansa mengerikan yang menaunginya, rumah nenek masih memiliki satu hal yang menyenangkan, yaitu hutan berpohon mini di belakang rumahnya. Pohon-pohon itu hanya setinggi orang dewasa, berdaun kuning emas berbau harum. Waktu kecil aku dan Alison sering bermain di sana sampai lupa waktu.
“Sepertinya nenek sedang membuat sesuatu,” Jaiden berkomentar saat mendapati asap yang membumbung dari cerobong atapnya.
Bibiku muncul dari pintu tak lama kemudian, menyambut dengan senyuman. Kurasa dia mendengar suara berisik Jaiden. Bibiku namanya Arella, dia lima tahun di bawah ayahku dan sampai saat ini belum menemukan pasangannya.
Dia berjalan mendekati Jaxon yang entah sejak kapan sudah melangkah memasuki halaman rumah nenek. Bibi Arella itu mirip sekali dengan nenek, secara visual ataupun kelakuan. Bedanya bibi Arella murah senyum, yah meskipun tetap saja dia aneh. Lihat saja penampilannya sekarang, rambut bergelombang yang ujungnya di cat berwarna ungu gelap, bibirnya di poles lipstik yang berwarna ungu yang juga di bubuhkan di sekitar matanya. Baju hitam panjang yang atasnya kekurangan bahan itu berkibar ketika tertiup angin. Aneh bukan?!
Dia memeluk Jaxon sebentar, lalu memberi ciuman di pipi kanan dan kiri Jaxon, bahkan lipstiknya menempel di pipi Jaxon. Tuh kan, cara menyapanya saja aneh. Jaxon kan laki-laki seharusnya dia cukup memeluk atau memberi tepukan sayang tidak perlu memakai ciuman segala. Namun yang lebih aneh itu Jaxon menerima begitu saja semua perlakuan bibi Arella.
“Hai, Jaiden darling,” sapanya dengan senyum yang menurutku mengerikan. Mata panjangnya berkilat seperti hewan melata berbadan panjang dan berbisa itu, lantas memberikan sambutan serupa pada Jaiden.
“Hai, bibi, sepertinya hari ini ungu ya,” ia bercanda balas memeluk tubuh ramping bibi.
Di tempat, aku mengkerut ngeri memaku kaki di tanah. Berikutnya pasti aku yang akan mendapat giliran, memikirkanya saja aku sudah bergidik ngeri.
“Azu atau Alison?” tanya bibi Arella pada Jaiden semakin membuatku mengencangkan peganganku pada tali ranselku, bersiap menghindar kalau-kalau ia berniat berbuat sama seperti pada dua saudaraku sebelumnya.
“Azu.”
Bibi Arella tidak pernah bisa membedakan kami sejak dulu, terutama jika kami tidak datang bersamaan. Biasanya baik aku maupun Alison suka mengerjainya dengan berbohong memakai nama yang lain.
Jaiden mendekatiku.“ayo masuk, “ ujarnya yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala.
“Tidak.”
“Kita nggak akan memulai perdebatan lagi, yah.” Jaiden terlihat jengkel, lalu menarik ranselku.
“Siapa juga yang mau berdebat, aku hanya tidak mau masuk,” sahutku sengit lantas menarik ranselku dari sisi satunya dan pada akhirnya adegan tarik-menarikpun terjadi.
“Masuk!”
“Tidak.”
“Jax, Azu menolak masuk.” teriak Jaiden.
“Dasar pengadu,” cibirku pelan.
“Azouna weston.” Panggil Jaxon dengan setiap penekanan dalam katanya ketika menyebut namaku membuat nyaliku ciut dan itu dimanfaatkan baik oleh Jaiden. Dia menarik ranselku hingga terlepas. Aku mendelik tajam pada Jaiden, lalu menatap Jaxon dengan rengutan kesal.
“Masuk!” perintahnya dingin. Aku menggeleng kekeh dengan pendirianku. Berdecak kesal Jaxon memutar haluan tangannya menarik lenganku dengan paksa hingga akhirnya aku keluar dari zona amanku.
“Hai, Azu darling,” sapa bibi Arella sama sekali belum melenyapkan senyum anehnya.
Aku mengeratkan belitan tanganku pada lengan kekar Jaxon. Takut kalau-kalau bibi Arella akan menyapaku dengan sapaan ekstremnya itu.
“Hai, bibi,” balasku seadanya bukan karena aku tidak bisa berinteraksi dengan baik, tapi untuk yang satu ini aku enggan berinteraksi dengannya.
“Jax, aku mau pulang,” bisiku.
“Baru juga sampai,” balasnya datar.
Aku melepas belitan tanganku pada lenganya, lalu hendak melangkah melarikan diri.
“Mau kemana?” Jaxon menarik bagian belakang jaketku.
“Aku mual,” ujarku beralasan.
“Tahan aja, atau kalau perlu telan lagi yang mau dikeluarin.”
Aku mengangah mendengar jawaban kelewat datar plus menjijikan itu. Kesal aku menendang tulang kering Jaxon sebagai pelampiasan. Sayangnya bukan Jaxon yang kesakitan melainkan diriku sendiri.
“Ouch!!” keluhku.
Aku terduduk di tanah dengan kaki yang berdenyut nyeri. Terbuat dari apa sih kaki shifter es ini? Oh aku tau pasti dari batu.
“Ada apa Azu?” Jaiden dan bibi Arella yang tadi berjalan lebih dahulu berbalik lalu mendekatiku.
“Apa kau terserempet kakimu sendiri lagi?” tanya Jaiden, pura-pura perhatian, padahal sekarang dia sedang menahan tawa.
“Tidak.” Aku menggeleng.
“Butuh bantuan?” tanya bibi Arella.
Aku menggeleng. Aku merangkak saja kalau tidak bisa berjalan. Sementara aku menderita, si shifter es cuma diam menatapku dengan tampang datarnya. Aku berjalan terseok-seok saat nenek memanggil kami.
Dia berdiri di beranda depan menunggu kami. Ah sial harusnya tadi aku kabur saja. Nenek dan ROUGE itu memiliki kemiripan hampir Sembilan puluh persen dalam hal visual, bedanya ROUGE menyeramkan karena buas, nah kalau nenek menyeramkan karena aneh.
Nenek tidak menyapa sama sekali hanya menatap sesesaat sebelum mengajak kami kedalam rumah.
Perayaan untuk keberhasilan Jaiden dilakukan di belakang rumah nenek, di kebun kecilnya. Kami memanggang rusa besar untuk acara utama dan menyantap berbagai kue-kue sebagai pelengkapnya. Bibi Arella sangat bangga akan keberhasilan Jaiden, ia bahkan memberikan ramuan khusus sebagai hadiah.
"Bagaimana denganmu, Azu? Apa yang akan kau lakukan setelah lulus?"
Aku memikirkan jawaban bijaksana yang tidak akan membuat orang lain mengasihani diriku dan juga agar terkesan tidak putus asa. Namun bukan Jaiden namanya kalau tidak mengacau.
"Azu berencana belajar meracik ramuan dan menjadi tabib, makannya dia datang hari ini. Katanya ingin mulai berlatih," Jaiden menjawab seenaknya, bahkan mengatakan kebohongan.
Kapan aku menyetujui untuk menjadi tabib? Aku mendelik ganas.
"Benarkah?" Sayang sekali nenek termakan kebohongannya. " Nenek akan senang jika begitu. Kau bisa datang kapanpun kau mau."
"Yah, bibi juga akan ikut membantu," katanya antusias.
"Aku masih mempertimbangkannya. Nenek tahu aku memiliki masalah dengan ketelitian."
Dan aroma mengerikan tambahku dalam hati. Nenek tidak perlu tahu bahwa aku selalu memuntahkan semua ramuan yang dia kirimkan untukku. Satu-satunya herbal yang kuterima adalah olesan untuk penghilang bedak memar dan luka.
“Kudengar kau mengunjungi wilayah GUARDIAN? Apakah di sana menyenangkan?”
“Jangan ingatkan aku,” kataku merintih mengingat kejadian itu. “sampai sekarang aku masih selalu di bayangi mimpi buruk. Rasanya aku masih ada di lorong labirin berlarian tak jelas dan nyaris mati kelelahan.”
“Berlebihan sekali,” Jaiden mencibir.” Kami bahkan pernah lebih parah dari itu.”
“Apa kau bertemu mereka?” Bibi Arella bertanya antusias. “Para GUARDIAN?”
“Yah, hanya satu, tapi ia aneh, terus bersembunyi dibalik jubahnya. Temanku bahkan berpikir kalau dia bisu.”
Bibi Arella tertawa kecil, menegurku dengan sebuah cubitan di pipi. “Tidak sopan berbicara begitu pada leluhurmu.”
“Leluhur?” kataku tiba-tiba tertarik.
Semua infromasi mengenai identitas para GUARDIAN sangat rahasia, hanya para tetua desa dan orang-orang yang berkepentingan saja yang tahu. Banyak gossip mengenai mereka tapi tak ada satupun yang benar-benar terbukti. Namun leluhur? Baru kali ini aku mendengarnya.
“Aku mendengarnya dari orang-orang.” Bibi Arella berdeham kecil, memalingkan pandangan.
“Orang-orang memang suka seenaknya,” Jaiden menggeleng kecil. “Tapi apakah memang begitu sejak dulu, nek?”
Nenek tidak langsung menjawab, wajah tuanya berkerut terlihat sedang memikirkan sesuatu yang rumit.
“Mereka belum ada di zaman nenek masih muda,” katanya nyaris seperti bisikan. Aku bahkan sampai harus mendekat untuk mendengarnya.
“Hah!” Jaiden bereaksi heboh, memaksaku menghadiainya cubitan sayang.
“Jangan memotong, biarkan nenek bercerita.”
“Ibu, apakah tidak apa-apa?”
Bibi Arella tampak cemas, seolah yang akan dikatakan nenek itu informasi rahasia yang kalau sampai bocor keluar akan menimbulkan bencana.
“Hmm!” Nenek terdiam mendengar teguran bibi. Ia jadi menunduk dan memasang raut wajah, muram, kukira sulit untuk mengenalinya karena kegelapan.
“Apakah itu sesuatu yang tidak boleh dikceritakan, nek?” Jaxon yang sedari awal nyaman dalam kediamannya menyuarakan pendapat. “kalau begitu tidak perlu diceritakan saja, nek.”
“Jax …” Untuk pertama kalinya, aku dan Jaiden memiliki satu pemikiran dan langsung mengajukan protes. Namun aku membiarkan Jaiden yang maju menyuarakan keinginananya. “kapan lagi kita bisa tahu soal mereka.”
Dalam diam aku mengangguk. Benar sekali, infromasi soal mereka tidak boleh dilewatkan begitu saja.
“Tidak apa-apa, Jax. Itu bukan sesuatu yang benar-benar rahasia.” Nenek mengelus tangan Jaxon di pundaknya. “Tidak ada yang benar-benar tahu siapa mereka, atau dari mana asalnya, tapi bagi Pack mereka adalah penyelamat. Mereka muncul di saat pack sedang dalam kekacauan besar akibat serangan ROUGE aneh, karena itulah para tetua setuju memberi mereka teritorri khusus dan tidak mencampuri urusan mereka selama tidak membahayakan pack.”
Jadi mereka pendatang, aku mengangguk paham. Memang benar, buku sejarah menuliskan bahwa ada pack-pack lain yang mendiami daratan Ayland ini diluar teritori kami. Mereka berada di ujung lain hutan ROUGE yang sulit untuk dijangkau. Mungkin sesatu terjadi pada tanah kelahiran mereka makannya mereka mengungsi kemari.
“Apa nenek pernah melihat wajah mereka?”
“Yah, dulu, mereka lebih tua dari nenek. Jadi sekarang mungkin lebih tua lagi, makannya bibimu memanggilnya leluhur.”
Aku mengerenyit, rasanya ada sesuatu yang salah. Aku bisa mengerti kalau mereka pendatang, tapi lebih tua dari nenek? Agaknya bagian itu janggal, aku memang tidak sempat melihat wajahnya, tapi anggota GUARDIAN yang terlibat konfrontasi denganku ditebing batu, maupun yang mengawasi kami di labirin. Mereka tidak tampak seperti kakek-kakek, itupun kalau mereka memang laki-laki.
“Bagaimana dengan kekuatan mereka?” tanyaku mengingat asap hitam waktu itu.
“Mereka pandai bertarung tangan kosong, nenek bahkan belum pernah sekalipun melihat mereka berubah.”
“Jadi, ada kemungkinan kalau mereka bukanlah dari ras kita?” Bibi Arella tampak terkejut dengan kata-katanya sendiri.
“Woa, itu hebat. Apakah ini berarti perang suci akan terulang lagi?” Jaiden berbicara seolah itu pertunjukkan mengenai kehebatan para Alpha.
“Hati-hati dengan bicaramu, Jai.” Jaxon mengingatkan. “itu bukan sesuatu yang bisa kau jadikan lelucon.”
Aku terkikik pelan, buru-buru menggigit kue saat menyadari delikan ganas yang dilemparkan Jaiden, ia pasti kesal sekali mendapat teguran dari Jaxon. Rasakan itu pikirku kegirangan.
“Itu, benar Jai, jangan sampai hal mengerikan itu terulang. Azu kecil kita mungkin saja jadi korban kalau itu benar-benar terjadi.”
Meskipun nada yang dipakai bibi Arella bercanda, tapi entah mengapa itu menusuk ke dalam hati. Seolah ia harus mengingatkan aku akan betapa lemahnya diriku.
“Jangan khawatir bibi, aku yang akan melindunginya,” Jaiden berkata sombong.
“Sudah, sudah,” nenek menengahi.” Malam sudah larut sebaiknya kita tidur.”
Yah, benar, pikirku. Aku harus bangun pagi untuk kabur besok.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, mimpi itu terus menghantuiku. Mimpi acak yang tak kumengerti, terkadang isinya tentang tubuh tak bernyawa, gadis dari negeri asing, Jaiden yang terluka, dan sekarang ada tambahan ROUGE yang kulihat di penjara labirin. Aku tak pernah menceritakan soal mimpi itu pada siapapun dan hanya menganggapnya bunga tidur saja. Itu pasti hadir gara-gara aku terlalu lelah akhir-akhir ini. Namun intensitasnya yang semakin menanjak tajam membuatku sedikit takut.
Aku menarik napas dalam hanya untuk tersedak, aroma kecut dari ramuan pengusir nyamuk yang digunakan bibi Arella menghantam hidungku tanpa ampun. Aku menjepit hidung berusaha untuk tidak membuat keributan dan membangunkan bibi yang tertidur lelap di … bibiku tidak ada. Kemana dia? Apa mungkin di dapur?
Aku mengendap-endap keluar dari kamar mencari keberadaan bibi yang tak kutemukan di dapur . Sesampainya di beranda hembusan angin dingin langsung menyambutku. Suara hewan malam yang mulai bernyanyi terdengar seperti lagu pengantar tidur. Aku menarik napas dalam, cuaca tenang malam cukup membuat tubuhku sedikit santai.
Setelah terdiam cukup lama dan rasa bosan mulai menyapaku. Aku bangkit berdiri hendak menuju kamar, tapi sebelum memasuki rumah mataku tanpa sadar menangkap sesuatu di kegelapan. Mungkinkah itu bibi? Tapi apa yang sedang ia lakukan? Kaki baru selangkah menginjak rerumputan saat sisi lain dari diriku mengingatkan untuk tidak meneruskan niat. Aku punya hubungan buruk dengan keberuntungan terutama menyangkut rasa penasaran. Namun jika sosok yang kulihat tadi memang bibi Arella? Aku tidak bisa berdiam diri saja.
Sempat terbersit di benakku untuk membangunkan Jaiden atau Jaxon, tapi beberapa detik kemudian aku tersadar. Senyum lebar terbit tanpa kusadari, yah, ini kesempatan besar untuk mempersiapkan rute kabur. Tujuanku besok adalah rumah Grace yang merupakan tempat pelarian terdekat.
Aku masuk kembali dengan perasaan senang yang meluap-luap, tanpa sengaja melihat pintu kamar nenek yang terbuka. Belum sempat aku mendekat suara nenek dari arah belakang mengagetkanku.
“Kenapa belum tidur?”
Berbalik aku menemukan nenek yang tengah membawa sesuatu, terlihat seperti ramuan. Tu, kan benar nenek aneh. Apa jangan-jangan dia keturunan penyihir? Aku mengusir pikiran konyol itu dari otakku. Jika ia seorang penyihir maka itu berarti aku juga.
“Tadi haus.” Aku beralasan. “Apa nenek melihat bibi? Aku tidak menemukannya di manapun.”
“Mungkin ia di sana,” nenek bergumam kecil, tapi keheningan malam membuatnya terdengar jelas.
“Di sana?” Apakah bibi punya semacam tempat rahasia?
Nenek menghela napas, tampak sedih akan sesuatu. “Di altar batu di belakang hutan berpohon pendek. Ia selalu begitu sejak beberapa tahun lalu.”
“Malam-malam begini? Apa yang sedang dilakukan bibi?”
Aku tahu bibi maupun nenek suka bertingkah aneh, tapi ini lebih dari aneh, ini berbahaya. Bagaimana jika ada ROUGE tersesat?
“Dia berdoa untuk jiwa pasangannya yang gugur beberapa tahun lalu?”
Itu berita baru, bibi tidak pernah mengatakan apapun soal pasangannya. Itulah mengapa kami mengira bahwa ia tidak tertarik untuk memiliki sebuah keluarga.
“Itu pasti berat untuk bibi, kenapa dia tidak pernah bercerita? Apakah nenek sudah pernah bertemu dengannya?”
Nenek menggeleng pelan. Mata abu-abunya dipenuhi kegetiran yang dalam. Ini adalah pertama kali aku melihat emosi semacam itu di diri nenek, biasanya ia selalu menunjukkan sikap tegas, yang menakuti anak-anak bila melihatnya.
“Arella bilang akan memperkenalkannya hari itu, tapi mendadak ROUGE menyerang. Pasangannya harus memenuhi panggilan tugas, tapi tak di sangkah itu malah menjadi hari terakhirnya. Sejak saat itu Arella menjadi pendiam. Sikap yang ia tunjukkan selama ini hanyalah palsu. Ia tidak ingin membuat kalian semua khawatir.”
Bibiku yang malang. Perasaan bersalah menghinggapiku setelah mendengar cerita nenek. Selama ini kami menjauhinya karena sikapnya yang aneh tanpa pernah mau mencari tahu lebih dalam.
“Apakah Jax tahu soal itu?” Selama ini hanya Jaxon yang benar-benar peduli padanya, sebelum bergabung ke dalam pasukan WARRIOR. Jaxon sering menginap di rumah nenek, hal yang bahkan Dad yang sejatinya adalah saudara kandungnya pun jarang melakukannya.
“Yah, ia mengetahuinya secara tak sengaja.”
Sepertinya itu juga alasan mengapa nenek sangat menyayangi Jaxon dibanding kami.
“Aku turut berduka untuk bibi,” kataku berjanji akan bersikap lebih baik kedepannya.
“Berpura-pura saja tidak tahu. Arella tidak suka orang mengasihaninya.”
Aku mengangguk, “Aku akan menemaninya berdoa kalau begitu.”
“Tidak, tidurlah. Dia akan curiga kalau kau tiba-tiba datang.”
Nenek benar, aku tidak bisa tiba-tiba menjadi keponakan baik setelah sikap kejam yang kutunjukkan selama ini. Lagipula aku harus menjalankan rencana besok.
“Aku akan kembali tidur kalau begitu. Selamat malam nenek.”
Berhubung aku kesusahan tidur, aku memutuskan untuk mencari sesuatu demi mengisi kekosongan. Kamar bibi penuh dengan buku-buku tua, kebanyakan mengenai ramuan herbal, jadi rata-rata isinya membosankan. Mataku kemudian menangkap sebuah lembaran kertas yang terselip di antara buku. Kertasnya agak usang berbau debu dengan sisi atasnya seperti terbakar. Sebuah symbol aneh tergambar di lembarannya dengan bait-bait sebagian sulit di baca, bertuliskan ; perak pucat yang berbalut merah gelap, purnama kedua dari satu kehidupan, sang dewi.
Apa maksudnya itu?
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Dwi Sulistyaningsih
wah, penasaran dengan bait-bait yang ditemukan Azu.
mungkinkah ada hubungannya dengan pasangan bibi-nya atau hal yang lainnya.
2023-01-21
1
Dwi Sulistyaningsih
mungkinkah sebuah petunjuk untuk Azu
2023-01-21
1
Dwi Sulistyaningsih
wkwkwk terimalah nasibmu Azu
2023-01-21
1