Bayangan hitam itu, jika memang benar-benar ada, aku bersumpah akan membuat perhitungan dengannya suatu saat nanti. Kalau bukan gara-gara dia, aku tidak akan berada di sini sekarang. Di lapangan latihan becek bersama seluruh teman sekelasku, bersiap diri menerima hukuman dari MISS. Sellin yang berdiri dengan kemarahan besar dalam sorot matanya.
Ia berkacak pinggang bersama aura panas yang menakutkan, seperti raja kegelapan dari dunia bawah. Bahkan dengan awan mendung di langit yang sudah siap menangis tak mampu menahan niatnya untuk menghukum kami.
“Bagus sekali anak-anak.” Nada suara MISS. Sellin rendah, menakutkan hingga tubuhku bergetar dengan sendirinya. “Rupanya kalian telah mengsalahartikan kemurahan hatiku memebaskan kalian dari hukuman tadi pagi.”
Ia berjalan pelan dengan tongkat pemukul di tangannya, matanya sedetikpun tak pernah lepas mengawasi kami.
“Aku ingin alasan jelas dan masuk akal untuk pelanggaran kalian tadi.” Nada suaranya rendah, penuh peringatan, dan ada sedikit ancaman terdapat di dalamnya.
Untuk bagian ini, aku sama sekali tidak mengerti. Aku dan Brian memang bersalah karena terlambat, terutama aku pribadi karena seenak jidat meninggalkan tugas dari MISS. Sellin, tapi untuk teman-temanku yang lain? Apa yang sudah mereka perbuat?
Aku tidak sempat menanyakannya pada Grace tadi karena terlalu lelah. Belum lagi aku berhasil menghimpun tenaga dan kewarasan kedatangan MISS. Sellin yang tiba-tiba menyuruh berdiri di lapangan sudah lebih dulu mengambil alih ...
“Stanford? Kau bersedia mewakili yang lain untuk berbicara?” MISS. Sellin menatap tajam pada Floren yang sedetik lalu menelan ludah takut. Ia berdiri kaku menggiggit bibir dengan raut wajah membiru.
Satu menit berlalu dan Floren masih setia dalam kebungkamanya. Hal yang mana mengundang seringai iblis MISS. Sellin bermain di bibirnya. Matanya berkilat berbahaya menyapu kami dalam satu lintasan.
“Aku memberi kesempatan satu kali lagi, siapapun yang bersedia menjelaskan alasan mengapa kalian semua berada di danau, saat di mana seharusnya berada di kelas tadi untuk bebas dari hukuman.” Ia mengawasi kami bak kucing yang sedang bermain-main dengan tikus kecil yang terpojok. Ketika hening menjadi jawaban MISS. Sellin menggeleng prihatin “Baiklah, jika memang itu keputusan kalian.”
“Kuharap bukan hukuman yang berat,” gumam Flo bersama ******* napas pasrah.
Aku meliriknya sebentar, mendengus sinis tanpa sadar. Dia bodoh atau apa? Aku benar-benar gagal paham, maksudku Floren atau siapapun kecuali aku dan Brian punya kesempatan terbebas dari semua ini, tapi mereka lebih memilih untuk menjalaninya. Entah karena alasan kesetiaan atau yang lain, bungkam adalah pilihan yang buruk mnurutku, terutama untuk situasi saat ini.
Walau tampaknya presentasi untuk terbebas sepenuhnya dari hukuman itu tipis. Namun setidaknya masih ada kesempatan untuk mengurangi kadarnya, sayang sekali mereka melewatkan kesempatan emas itu.
“Lakukan semua yang ku perintahkan,” MISS. Sellin berteriak nyaring.
“Tiarap,” perintahnya tegas. Bukannya segera melakukan perintah anak lain malah saling pandang. Aku juga bingung untuk apa kami disuruh tiarap. Sudah jadi rahasia umum jika hukuman MISS. Sellin itu aneh-aneh, tapi tiarap? Apa yang ia rencanakan?
“Apa yang kalian pikirkan? Cepat lakukan,” suara MISS. Sellin naik dua oktav.
Mendengar bentakan keras itu sontak aku dan murid lainyanya segera tiarap melakukan perintah MISS. Sellin.
“Berguling kekanan,” perintahnya lagi dan kali ini semua langsung melakukan tanpa perlawanan. “Kekiri, berdiri, terlentang.”
Ia terus mengulang perintah.
“Sekarang lakukan seperti tadi, tanpa kesalahan dan terus lakukan sampai aku meminta kalian berhenti,” ucapnya dengan suara menggelegar menyaingi suara guntur.
Hujan turun dengan intensitas sedang, tapi cukup membuat baju kami basah, di tambah tanah yang becek lengkap sudah, sekarang kami tak ubahnya patung tanah liat yang bergerak. Tubuhku lengket, kotor, bahkan rambutku sudah menggumpal menjadi satu.
Pasti akan membutuhkan banyak pembersih nanti. Satu menit, dua menit, kapan ini akan berakhir? Aku hanya bisa meluapkan semua emosi di dalam kepala, menguncinya agar tidak bocor sekuat yang kubisa. Aku tidak ingat sudah berapa lama kami melakukan ini, mungkin satu jam lebih.
Di sebelahku Floren gagal menahan laju pekikkannya ketika kakinya tertekuk dalam posisi yang salah saat hendak tiarap. Hal itu langsung saja memancing perhatian anak-anak lain, juga MISS. Sellin itu sendiri. Aku yang berada di posisi terdekat dengannya sempat ragu sejenak, bimbang antara membantunya dengan resiko mendapat hukuman tambahan atau membiarkannya saja.
“Bagaimana, Stanford? Masih ingin tutup mulut?”
Lumpur yang sepenuhnya menutupi wajah Floren membuat sulit untuk membaca ekspresinya, tapi dari ringisan dan matanya yang berair, aku menduga ia sedang menahan tangis.
Aku memahami perasaannya, cuma bisa bersimpati dalam hati, tanpa bisa membantunya. Gadis yang biasanya energik itu sekarang kuyuh menyedihkan. Ia menderita, aku tahu itu, tapi semua terjadi karena pilihannya sendiri. Lagipula aku tidak sedang dalam suasana yang harus mengkhawatirkan orang lain.
“Baiklah, siapa yang meminta kalian untuk berhenti?” Pandangan MISS. Sellin berpindah cepat pada anak-anak yang memanfaatkan moment jedah tadi untuk beristirahat.
“Lakukan seperti tadi.”
Dengan seluruh anggota tubuh yang sudah berteriak meminta berhenti, aku kembali tiarap, pasrah pada keadaan. Lonceng penanda berakhirnya jam pelajaran berbunyi mengerikan mencapai terlingaku.
Dalam waktu yang sama pula kepanikan dalam diriku melejit secara drastis. Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin dilihat oleh siapapun, dan pikiran tentang bagaimana tanggapan Alison dan Jaiden ketika melihat keadaanku menimbul kan rasa merinding. Bukan penampilan menyedihkan yang kukhawatirkan, tapi mereka pasti akan menanyai alasan mengapa semua ini bisa menimpaku nantinya.
Namun aku tidak punya tenaga untuk sekadar mengasihani diri sendiri, dan rasa takut dari visi masa depan acak ketika dilihat saudaraku itu sirna dengan sendirinya saat rasa lelah mengambil alih. Badanku mati rasa, satu-satunya alasan mengapa ia masih bergerak, yang mana sejujurnya membuatku ngeri ketika menyadarinya, adalah murni ketakutan. Maksudku, ini bukan seperti takut saat kau akan kehilangan nyawa, meski sesungguhnya aku memang sedang sekarat, tapi lebih ke sesuatu yang menggerakkan diri tanpa sadar. Pikiranku terlalu kacau untuk menafsirkannya dengan benar.
Aku sedang berpikir tentang bagaimana cara menyisahkan tenaga agar bisa menulis surat wasiat nantinya, jika hukuman ini berakhir dengan kematian. Ketika suara semerdu malaikat, atau mungkin itu memang malaikat, aku sangat kekurangan tenaga untuk mencari tahu, terdengar.
"Bukankah, ini agak berlebihan, MISS. Selin?"
Suara malaikat itu menegur lembut dan penuh wibawah.
Bukan lagi agak berlebihan, tuan malaikat, pikirku seolah sedang berbicara dengannya, ini sudah keterlaluan, sudah termasuk kategori penyiksaan.
"Saya baru saja akan mengakhirinya, Alpha," kata MISS. Sellin, tutur katanya sopan dan penuh rasa hormat.
Hah! Dasar pembohong. Aku mencibir keras dalam pikiran, berharap tuan malaikat itu akan mendengarnya. Jelas sekali ia masih berencana memperpanjang masa hukuman tadi.
"Kalau begitu kenapa tidak segera kau lakukan? Mereka sudah diambang batas, dan kita tidak perlu menambah pekerjaan baru, apalagi gara-gara hal sepeleh. Terlebih di saat situasi sedang genting begini. Kau mengerti maksudku, kan?"
Tuan malaikat itu berbicara lagi. Kali ini aku mendeteksi nada perngatan di dalam kalimatnya. Yah, marahi saja dia bila perlu beri dia hukuman seperti yang kami dapatkan, pikirku semakin liar.
“Maaf, kan kekurangan pengendalian diri saya, Alpha. Pikiran saya sedang terganggu.”
Lalu kau melampiaskannya pada kami begitu? Aku berhenti bergerak dan menahan tubuh dalam posisi tengkurap selagi mendengarkan pembicaraan mereka. Kulihat anak-anak yang lain juga melakukan hal serupa, memanfaatkan jeda pendek ini untuk mengistirahatkan tubuh.
Beberapa langkah ke samping, tepatnya di koridor kelas, anak-anak lain berdiri menonton kami. Mereka tak kunjung bergerak dan hanya diam menonton, dan aku menduga alasannya bukan karena hujan.
“Seperti yang Alpha David katakan kalian boleh berhenti dan pulang.”
Aku terlalu lelah untuk sekadar membersihkan wajah dan langsung pergi begitu saja. Setelah memisahkan diri dengan anak-anak lain di gerbang pertama tanjakan aku berjalan gontai seorang diri.
Aku mempercepat langkahku ketika merasakan seseorang mengikutiku. Sungguh aku tidak punya tenaga untuk melawan jika seseorang yang mengikutiku itu memiliki niat yang buruk. Sekarang saja rasanya tubuhku remuk dan di tambah perutku yang keroncongan karena tidak sempat makan siang tadi menambah buruk keadaan.
Aku tidak tau kemana perginya Alison dan Jaiden, seharusnya mereka menungguku di gerbang pertama, setelah dibubarkan secara paksa oleh Alpha tadi, tapi aku sama sekali tidak melihat satu pun dari mereka barusan.
Persendianku terasa kaku setelah bergerak secara ekstrim tadi, rasanya aku sudah tidak sanggup berjalan lagi dan pandanganku mulai kabur. Apakah ini akhir bagiku? Tubuhku oleng, tapi tepat sebelum kepalaku menghantam tanah seseorang menangkap dan menahan tubuhku.
Posisiku sekarang setengah berbaring di tanah karena seseorang itu menahan pinggangku dengan lengannya. Membuka mata aku berhadapan dengan sosok berjubah biru dengan tudung jubah besar yang menyembunyikan wajahnya.
Meskipun pandanganku tidak jelas, tapi aku bisa memastikan jika dia adalah sala satu anggota WARRIOR karena hanya mereka yang memakai jubah biru.
“Kau baik-baik saja? “ Suaranya terdengar khawatir, tapi aku tidak mau membuang tenaga untuk menjawab pertanyaan bodoh itu, maksudku, dia bisa melihat sendiri bagian mana dari keadaanku sekarang yang baik-baik saja? Mataku medndadak terasa berat, sebelum kegelapan benar-benar merenggut kesadaranku. Aku sempat mendengar suara Alison dan Jaiden yang berteriak panik memanggil namaku.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments