Insident

Insident tak sadarkan diri di jalan kemarin membuat mom panik secara berlebihan. Ia bahkan melarangku menghadiri kelas pada hari berikutnya saking khawatirnya.

Ia juga sempat berencana untuk mengadakan pertemuan para orang tua untuk menindaklanjuti pekara ini dan bersumpah akan mengajukan keluhan resmi pada Alpha secara langsung, jika saja Dad tidak menghentikannya. Sayang sekali padahal aku akan dengan senang hati menjadi orang yang membeberkan bagaimana buruknya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan MSS. Sellin.

“Azu, cepatlah kita sudah terlambat.”

“Hmm.” Aku masih belum memaafkan Dad karena perbuatannya mencegah niat mulia mom kemarin hanya membalas gumaman singkat.

“Kau masih marah?” Dad menghela napas lemah.

Kali ini aku menatapnya, cemberut. “Seharusnya Dad tidak berbuat begitu kemarin,” protesku. “ Aku merasa dikhianati.”

“Gurumu, tidak akan mengambil tindakan hukuman jika memang bisa dihindari.” Ah, bijaksana sekali ayahku ini, sayangnnya itu hanya memancing sisi kesalku untuk muncul.

“Maksudnya, aku pantas mendapatkannya begitu?” aku kelepasan menggunakan nada membangkang yang mana membuat Dad mengirimkan pandangan tak suka.

“Kenapa tidak?”

“Seharusnya kenapa iya,” kataku hendak memberikan bantahan lagi, tapi buru-buru menggigit bibir begitu aku menyadari konsekuensi jika aku meneruskannya. Tidak akan ada yang percaya padaku soal bayangan hitam itu tanpa bukti nyata dan aku juga yakin akan tambah dimarahi bila mereka mendengar hal nekad yang kuperbuat waktu itu. Jadi demi menghindari masalah tambahan aku mengalah dan menahan diri.

“Aku tidak akan memaafkanmu dengan mudah, Dad. Liburan ini bukan apa-apa.”

Demi menenangkan amarah mom yang kelewat besar, Dad akhirnya mengajak kami sekeluarga untuk pergi keluar. Sayangnya, Jaiden harus ke rumah nenek dan Alison punya rencana lain, sedangkan mom mendadak harus membantu tetangga kami yang akan melahirkan.

Alhasil hanya kami berdua yang liburan, itupun tidak bisa disebut begitu lagi, Dad entah bagaimana bertemu paman Henry dan mengubah rencana secara sepihak menjadi acara memancing. Aku yang terjebak tidak bisa melakukan apa-apa untuk merubahnya.

Pantai yang kami kunjungi berada di luar territory pack kami, terlalu jauh jika aku harus kembali. Lagipula Dad pasti tidak akan memberi izin. Waktu kecil aku sering ikut Dad memancing bersama paman Henry ataupun temannya yang lain seperti ini, dan biasanya teman Dad juga akan mengajak anaknya. Namun sekarang aku tidak sedang dalam mood yang bagus untuk bernostalgia dengan pengalaman masa kecil.

“Ayolah, sayang. Ini hari yang cerah jangan menyia-nyiakannya.”

Aku menghela napas dalam, menghentakkan kaki mengikutinya ke tempat pertemuan. Paman Henry sudah berada di sana saat kami sampai, tampak perlengkapan memancing di punggungnya dan sebuah ember di lengan kanannya.

“Kau sudah besar ya, Azu,” paman Henry menyapaku sembari tersenyum.

Paman Henry adalah kenalan lama Dad, ia berasal dari pack sebelah, Lunar eclipe pack. Mereka bertemu secara tidak sengaja saat sedang melakukan hobi memancing dan sejak saat itu menjadi dekat. Bahkan selalu meluangkan waktu untuk memancing bersama dua bulan sekali.

Aku selalu penasaran, hal menyenangkan apa yang didapatkan dari duduk berjam-jam, menunggu ikan memakan umpan. Akan lebih efektif jika menangkap langsung. Namun pikiran orang dewasa memang sulit untuk dipahami.

“Senang bisa bertemu lagi paman,” balasku.” Paman sendirian?” tanyaku mencari sosok kecil yang biasa mengekorinya. Ia pasti juga sudah besar sekarang. Seperti apa ya kira-kira penampilan bocah yang sering kubuat menangis itu. Apa dia masih sepenakut waktu masih kecil?

‘Rayer ada urusan, jadi dia absen hari ini.”

Rayer adalah putra kedua paman Henry yang sesusia denganku. Ia memiliki sifat penakut yang biasanya aku manfaatkan untuk menggangu acara memancing Dad. Aku sering menjahilinya agar dia menangis dan memaksa paman Henry menyudahi kegiatan memancing.

“Sayang sekali, padahal aku ingin bertemu, apakah dia menjadi setampan paman?”

“Kau pasti tidak akan percaya, ia sudah bergabung ke dalam pasukan WARRIOR sekarang.”

“Wah, itu berita mengejutkan. Tapi bagus untuknya, aku turut berbahagia untuk pencapaiannya.”

Siapa yang akan mengira hal semacam itu bisa terjadi? Si cengeng penakut itu? Dunia pasti sedang terbalik. Kalau begitu apakah ini berarti aku bisa saja menjadi Luna nantinya. Aku menggeleng kecil. Merasa geli oleh pemikiran sendiri.

“Bagaimana denganmu? Tidak berminat bergabung?’

Percakapan terus berlanjut di sepanjang jalan. Baik paman Henry maupun Dad tampaknya sedang dalam suasana hati yang bagus. Cuma aku yang tidak merasa demikian.

“Profesi itu tidak diciptakan untuk orang sepertiku. ROUGE akan menang banyak jika itu terjadi.”

Paman Henry dan Dad kompak tertawa ketika mendengarnya. Bagus sekali, sekarang mereka menjadikan acara memancing ini untuk mempermalukanku.

“Oh, benar soal ROUGE, kudengar mereka menyerbu pertahanan utara baru-baru ini. Apakah benar begitu?”

“Begitulah.” Dad tampak enggan ketika menjawabnya. Ia menatap paman Henry sesaat lalu menggeleng. Perilaku tak biasa itupun tak luput dari pandanganku. Kecurigaanku sepertinya benar, Dad menyembunyikan sesuatu.

“Baiklah, kami akan memancing di sana.” Dad menunjuk sebuah dataran yang agak menjorok ke laut. “ Kau bisa berjalan-jalan disekitar kalau mau, tapi jangan terlalu jauh oke,”

Aku mengacungkan jari jempol sebagai tanggapan. Memang apalagi yang bisa kulakukan kecuali menjelajahi sekitaran pantai?

Baiklah, aku berdiri sejenak memikirkan wilayah mana yang pertama harus kujelajahi. Pilihannya antara garis pantai atau tebing bebatuan di belakangnya. Keduanya sama-sama menggoda. Berhubung memanjat jalanan berbatu di tebing membutuhkan banyak tenaga dan tujuannku di sini adalah refreshing sebagai upaya memperbaiki mental jadi keputusannya garis pantai.

Pasir di pantai ini berwarna pink pudar dan ketika dipadukan dengan birunya lautan menjadi gradasi warna lembut yang menyejukkan pandangan. Sekelompok burung terbang rendah mengintimidasi pasangan ikan yang mengapung di permukaan gelombang.

Sesekali beberapa burung cukup besar tampak menukik ke bawah, seolah mengejek ikan nakal yang nekad berenang terlalu tinggi. Sesekali aku berhenti ketika menemukan biota laut yang terbawa ggelombang

Aku juga sudah mengumpulkan beberapa kerang bercangkang unik sebagai oleh-oleh. Matahari bersinar perkasa tanpa adanya awan yang menghalangi membuat kulit lengan terluarku berubah warna akibat sengatannya. Aku sempat berpikiran untuk berenang tapi begitu menyadari tak membawa baju cadangan, nat itu terpaksa di urungkan.

Merasa lelah berjalan, kuputuskan duduk di sebuah dahan kering yang setengahnya tenggelam di air. Dari sana aku mengamati Dad dan paman yang tampak sibuk mengobrol ria. Beberapa kali kulihat paman Henry menggulung benang kailnya, dan terkadang berujung pada wajah frustasi saat sang ikan berhasil meloloskan diri.

Untuk selama beberapa lama aku merbiarkan keadaan seperti itu. Duduk diam menikmati hembusan angin yang menggelitiki kulit wajahku. Sayang sekali yang lain berhalangan datang. Kesempatan semacam ini jarang terjadi.

Suasana damai ini tanpa sadar membuatku ngantuk, hampir saja aku terlelap jika saja Dad tidak berteriak memangil. Rupanya mereka memutuskan pindah tempat. Aku melambai pelan terpaksa ikut pindah tempat, lagipula awan gelap yang berkumpul perlahan menciptakan bayangan suram.

Aku menoleh ke belakang sebentar dan menyadari sudah sejauh apa penjelajahanku. Di atas sana Dad dan paman Henry sudah lenyap hanya menyisahkan suara saja. Aku melangkah buru-buru mengejar ketertinggalan.

Saat tengah berlari mataku menangkap jalan setapak yang tidak terlalu terjal untuk di daki di sisi tebing. Berhubung aku berkejaran dengan waktu, kuputuskan mengambil jalan pintas itu untuk memanjat. Aku sempat tergelincir beberapa kali dan menghasilkan beberapa lecet di telapak tangan dalam prosesnya.

Langit menjadi lebih gelap ketika aku mencapai puncak. Dari sana aku mulai berlari dan akan berteriak jika saja suara aneh itu tidak terdengar olehku. Berhenti sejenak guna memastikan, aku memutar pandangan menjelajah sudut hutan, tapi tak ada yang kutemukan. Ketika aku berpikir kalau itu cuma ilusi saja suara aneh itu mendadak terdengar lagi. Kali cukup kencang dan tanpa jedah.

Aku terdiam menggigit bibir, mendengarkan secara saksama. Dari jenis suaranya yang lembut dan patah-patah tampaknya itu bukan berasal dari hewan buas dan tidak berbahaya. Di banding berbahaya suara itu lebih ke sekarat, beberapa kali di di selah-selah pekikkan tertahannya terdengar napas yang tersengal-sengal.

Apakah ada seseorang yang terluka? Tiba-tiba perkataan Floren mengenai ROUGE yang meloloskan diri itu terlintas. Bisa saja, siapapun orang itu sedang membutuhkan bantuan. Mengencangkan keberanian yang sesaat ciut mengingat kemungkinan itu ROUGE, aku mulai melangkah selembut yang kubisa. Sengaja menginjak tanah yang memiliki rumput minim guna meminimalisir suara.

Suaranya berasal dari dalam hutan. Mula-mulanya aku mendapati sebuah jubah yang tergeletak di tanah, menilik dari warnanya yang umum itu pasti milik seorang WARRIOR, dan itu menguatkan dugaanku mengenai ROUGE. Setelah mengumpulkan keberanian untuk meilhatnya aku melonggokkan kepala dan langsung menyesalinya.

What the … Aku menganga memalingkan pandangan cepat, menahan segala umpatan di ujung lidah, mengutuk nasib sial yang mengikutiku sejak kemarin. Aku mengerti orang dewasa punya cara mereka sendiri jika berhubungan dengan interaski terhadap lawan jenis, tapi … Ayolah masa di hutan? Dan gadis itu di mana otakknya? Semenawan apa paras pemuda itu sampai mau-mau saja diajak melakukannya di hutan.

Aku menghela napas dalam memutuskan menghilangkan keberadaan diri secepatnya. Tepat ketika kakiku memutar haluan bunyi derakan familiar terdengar. Aku menghembuskan napas kasar memelototi ranting bodoh yang patah terkena injakan kakiku.

Demi apa? Perlukah moment konyol seperti ketahuan mengintip gara-gara tak sengaja menginjak ranting dituliskan dalam takdir hidupku? Aku nyaris saja meloloskan umpatan sebagai pelampiasan ketika tak sanggup lagi membendung kejengkelanku yang sudah mencapai titik puncak.

Namun suara dalam dan rendah yang mencapai telingaku, membawa kembali kewarasan yang sesaat tadi lenyap termakan rasa kesal.

“Keluarlah!”

“Ada apa?” Si perempuan bertanya, nadanya tedengar kesal karena tiba-tiba si pemuda menghentikan kegiatan secara paksa.

“Seekor anjing kecil yang tersesat,” balasnya. “Keluarlah!”

Kedalaman suaranya mengirimkan rasa dingin tak nyaman ke sekujur tubuhku. Jarak kami terbilang cukup jauh, normalnya suara kecil semacam itu tak akan terdengar, tapi beda cerita jika yang bersangkutan adalah Shifter dewasa dengan indera tajam, terlebih seorang GUARDIAN.

Siapa yang bisa menduga kalau ada seorang GUARDIAN di dekat sini. Mereka seharusnya ada di tempat itu, di balik bayang-bayang. Lupakan semua pikiran tak perlu itu Azu, peringatku pada diri sendiri, memacu langkah sembari membayangkan semua kemungkinan bila tertangkkap.

Tidak ada hukum pasti yang mengatur hukuman untuk pelanggaran seperti mengintip kegiatan pribadi seseorang. Namun dia seorang GUARDIAN, dia punya kewenangan istimewa dalam Pack. Jika dia menggunakan hak khususnya dan memutuskan menutup perkara tanpa diketahui orang lain. Aku akan berada dalam masalah besar. Jadi selama itu masih berupa kemungkinan, aku harus menggagalkannya mengunakan cara apapun.

Aku tidak mendengar adanya suara langkah yang mengikuti, jadi awalnya kukira dia menyerah, tetapi aku salah. Sebagai ganti kaki aku malah mendapati sesuatu berwarna hitam, meliuk-liuk mengejarku. Kecepatan pergerakannya menyamai degup jantungku yang tak karuan.

Aku pernah membaca kemampuan seperti itu di buku sejarah, tapi sesuatu seperti itu seharusnya hanya dimiliki oleh bangsa yang tinggal di sisi lain benua. Perjanjian suci seharusnya mengikat mereka untuk tidak diperbolehkan menginjak tanah para Shifter. Fakta itu berada di sini berarti? Aku menggigil dengan sendirinya saat pikiran mengenai siapa yang memiliki kemampuan itu terbayang.

“Akkh!”

Aku refleks memekik, memandang panik pada benda hitam yang membungkus pergelangan kakiku. Awalnya terasa sangat dingin, tapi lama-kelamaan aku jadi tidak merasakan apapun. Benda hitam tu seperti menyedot kemampuan kulitku untuk merasakan sesuatu. Aku perlu melihat kakiku berkali-kali hanya demi memastikan ia masih berada pada tempatnya.

“Akan lebih bijaksana jika kau menyerahkan diri.”

Suaranya hadir bersama hembusan angina yang mana membuatku semakin semangat mamacu langkah .

‘Mungkin maksudmu akan lebih cepat mati,’ bisikku yakin pasti sampai kepadanya.

Hah! Konyol sekali, siapa yang mau menuruti bujukkan tak masuk akal begitu. Tidak pernah ada saksi yang berakhir manis setelah mengetahui suatu rhasia, apalagi dari seseorang yang memiliki status khusus seperti dirinya. Paling ringan adalah aku akan di minta untuk menyimpan rahasia itu rapat-rapat dan selamanya hidup dalam pengawasannya.

Oh, jelas aku menolak, aku tidak berencana menghabiskan sisah hidup di bawah todongan intimidasi. Namun kesempatan lolos dari dirinya juga sama minimnya, terutama gumpalan benda hitam itu semakin pekat. Ia tidak hanya membungkus pergelangan kakiku tapi juga menyebar mengelilingi tubuhku.

Aku sempat tersandung akar yang menonjol, membuat semua kerang yang kubawah di saku jatuh berantakan. Lalu kurasakan sebuah jemari masuk di selah-selah rambutku, kepalaku di paksa mendongkak. Cengkeramanya erat tapi tidak cukup kuat untuk membuatku kesakitan.

Lalu dia di sana, anggota GUARDIAN, wajahnya tak kelihatan tertutupi tudung jubah dan hanya memamerkan mulutnya saja. Sekali lagi, aku berteriak begitu menyadari tubuhnya yang berbalutkan benda hitam itu, membuatnya sama persis seperti gambaran malaikat maut yang sering dikatakan Jaxon.

Aku sudah membayangkan ia akan mencekik leherku hingga patah, tapi alih-alih hal mengerikan, dia malah terdiam kaku. Sebuah kesempatan, aku membebaskan diri secara paksa, membuat kulit kepalaku berdenyut sakit saat beberapa rambut tercabut dan putus begitu aku melarikan diri.

“Hei!”

Aku menulikan terilnga dari panggilannya, seketika di penuhi rasa putus asa saat gumpalan hitam itu kembali bergerak dan mencapaiku beberapa detik setelahnya dengan kecepatan mengagumkan.

Apa ini akan jadi akhir bagiku? Kalau kuingat lagi, akhir-akhir ini aku selalu dalam situasi yang mempertaruhkan nyawa. Apakah ini pertanda bahwa kematianku sudah dekat? Jika memang iya, setidaknya aku ingin jasadku di temukan.

Aku menguatkan hati menggerakkan tubuh bermodalkan pikiran enggan mati konyol. Berlari sebisanya menerobos gumpalan kabut yang tak kunjung melepaskan kungkungannya.

Dalam kepanikan tak berujung, aku mendengar suara deburan ombak. Berarti laut tak jauh dari sana, pikirku. Jika satu-satunya kematian yang menunggu di ujung jalan, maka aku akan memilih sendiri bagaimana cara ke sana. Setidaknya seseorang pasti akan menemukanku jika berada di laut.

Dad dan paman Henry mereka tak terlalu jauh dari sini, pikirku sedikit mendapat pencerahan, tapi benda hitam itu menutup cepat kelegaan sesaat itu dengan ketakutan. Aku tidak bisa mengambil resiko melibatkan mereka berdua.

Tanpa memikirkan apapun lagi aku berlari menerobos kegelapan berdasarkan insting dan melompat terjun begitu deburan ombang terdengar tepat di bawahku.

TBC.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!