The Guardian

The Guardian

Hari di mana semua di mulai

Pemandangan rutin Jaiden dan pemilik wajah yang sama denganku sedang adu mulut selalu menjadi ucapan selamat datang untuk menyambut pagiku. Aku selalu bertanya kapan kesabaran mom yang mengagumkan itu akan habis dan memutuskan untuk melemparkan keduanya ke kawanan para ROUGE. Jika itu terjadi aku akan sangat mendukungnya. Mengesampingkan pasangan musuh bebuyutan itu, mom berdiri sibuk dengan api yang membuat sayuran malang di dalamnya mendesis kepanasan. Kurasa jika mereka bisa bicara, mereka tentu akan melayangkan protes pada mom perihal nasib tragis yang sedang menimpanya sekarang.

“Berhentilah membuat kegaduhan yang tak perlu dan kau Azu, jangan berdiri diam saja di sana.” Mom masih sempat menegurku di antara kegiatan sibuknya. Tangannya berkelana kesana – kemari bersama mulutnya mengoceh tanpa henti.

Dad masih belum menunjukkan dirinya atau mungkin dia sudah pergi lebih dulu. Apapun alasannya Dad masih absen, pikiran lainku mengatakan ia sengaja untuk menghilangkan diri agar tidak terlibat kegaduhan bodoh Jaiden dan Alison. Sejujurnya aku juga ingin menghindarinya jika bisa. Sudah berulang kali aku mencoba dan dengan berbagai cara. Sayang sekali aku belum menemukan cara jitu untuk melakukannya. Entah bagamana selalu saja Jaiden atau Alison menjegal niatku terlebih dahulu sebelum mampu merealisasikannya. Aku curiga kalau mereka sebenarnya menyembunyikan kekuatan seperti para Dark Guardian.

“Pagi little sister." Aku memutar bola mata bosan, memilih berpura-pura tidak mendengar sapaan Alison.

Sempat terbersit di benakku berkomplot dengan Jaiden untuk membalasnya. Dia pasti tidak akan menolak. Bukannya aku tak suka punya saudara terutama kembaran tapi dengan perlakuan Alison yang iseng dan membuat jengkel. Itu lain cerita, biarkan saja jika orang-orang menilaiku saudara yang buruk. Namun untuk saat ini aku harus menyingkirkannya dulu. Mengingat situasi dengan adanya Mom juga kemungkinan Dad yang belum hadir kuputuskan untuk menyingkirkan niat itu. Setidaknya untuk saat ini tergantung apakah Alison akan bersikap baik atau tidak kedepannya.

“Dimana Dad?" tanyaku menatap kursi kosong di ujung meja.

"Masih tidur mungkin!" Alison menjawab asal dan terkesan tak peduli.

Jadi itu alasan lain dan sebenarnya mengapa mom tampak begitu kesal. Pasangan tercintanya lebih memilih untuk tetap berada dibalik selimut.

:Selamat pagi.” Jaiden menyapa terlambat ditengah kunyahannya. Enggan membuang suara aku membalas dengan anggukan sebagai gantinya.

Jaiden weston – AKA shifter inseminasi, ia kakak laki-lakiku yang nomor dua. Ia dua tahun di atas kami, ramah, baik hati, sangat menyayangi keluarga – minus Alison, jago berkelahi dan calon WARRIOR masa depan. Keahlian khusunya adalah mampu belari dengan sangat cepat dan hobinya adalah berdebat dengan Alison. Itu juga termasuk keahlian bahkan lebih khusus karena ia hanya melakukan hal tak berguna itu pada Alison. Jaiden mirip dengan mom secara garis besar. Rambut ikal pirang emasnya, hidungnya, bibirnya, hanya saja matanya sama dengan ayahku. Jaiden mulai mengambil roti dan meletakkanya di piring. Ketika hendak mengambil selai tangan Jaiden tanpa sengaja bersentuhan dengan tangan Alison yang juga akan mengambil selai dengan rasa yang sama.

"Yang tua lebih dulu," ucap Jaiden yang di respon dengan pelototan tak terima dari Alison. Aku menatap keduanya malas tak diragukan lagi sebentar lagi perang babak kesekian antar shifter di meja makan ini akan berlangsung.

Alison memang gadis dengan semua hal baik di dalam dirinya kecuali jika sudah bertemu Jaiden. Maka semua hal tentang gadis populer dengan segudang skill yang dimilikinya itu akan menghilang berganti menjadi gadis galak,egois, keras kepala dengan tingkat kecerewetan melebihi Mrs. Sellin yang di nobatkan sebagai guru tercerewet di sekolah. Aku heran bagaimana keduanya selalu berdebat karena masalah sepeleh. Seolah mereka benar-benar musuh bebuyutan dan bukannya sepasang saudara.

"Ladies first." Alison melotot.

Jaiden mengangkat alis dengan seringai mengejek. "tidak berlaku bagiku," balasnya sambil memeletkan lidah seperti anak umur lima tahun. Nah kan apa kataku! Aku menghela napas lelah bersiap untuk hal selanjutnya yang tak kalah membosankan.

"Bisakah rutinitas bodoh itu dihilangkan?" Mom meletakkan mangkok sayuran rebus dengan hentakan keras, sengaja menambah kekuatan dalam prosesnya yang mana dimaksudkan sebagai Gong peringatan bagi kedua saudaraku, yang mana juga sama-sama diabaikan oleh mereka. Usaha setengah hati mom sangat sia-sia.

"Dan kamu …” Mom memindahkan atensi padaku, mengacungkan sendok. Dahinya berkerut dalam. “Cobalah melakukan sesuatu untuk meminimalisir keributan mereka. Aku akan menua lebih cepat jika terus begini.”

“Tidak membuang tenaga dengan percuma adalah moto hidupku, mom.” Berhubung usaha menghentikan atau minimal menghalau pertengkaran mereka termasuk penyia-nyian tenaga jadi aku menolak melakukannya. Setelah ini aku akan membutuhkan banyak tenaga nanti terutama untuk kelas pagi MS. Sellin. Selain itu jika memang pertengkaran bisa dihentikan hanya dengan meminta atau membentak sudah pasti keributan mereka tidak akan terjadi sampai hari ini.

Jaiden langsung menghadiahiku dengan jitakan kepala setelahnya. “Bagus sekali Azu. Aku baru tahu kalau berinteraksi dengan para saudara itu membuang tenaga.”

“Semestinya tidak, tapi itu tergantung dengan siapa atau bagaimana sifat saudara kita itu.” Bukan aku yang menjawab tapi Alison. “kalau itu sepertimu …,” ekpresi Alison berkerut masam dan cara pandangnya yang seakan tengah melihat sesuatu yang menjijikkan. “… kurasa Azu ada benarnya.”

Tangan Jaiden baru saja hendak menggapai dahi Alison ketika suara Dad terdengar menginterupsi satu paket dengan tangannya yang menahan niat Jaiden.

“Anak-anak, ini masih terlalu dini untuk saling mengadu fisik.” Dad menguap sebentar duduk dengan mata setengah tertutup.

“Apa terjadi sesuatu diperbatasan, Dad?”

Sikap Dad yang terlambat bangun sangat tidak biasa mau tak mau memunculkan pikiran aneh-aneh dikepalaku. .

“Ada beberapa anak nakal yang mencoba menerobos perbatasan, agak sedikit menyusahkan memang, tapi kami berhasil mengatasinya.”

Meskipun sudah melewati usia pensiun. Dad tetap menjadi seorang penjaga perbatasan. Ia bertugas di sector utara pack yang berbatasan langsung dengan hutan ROUGE. Wilayah itu biasanya relative aman, tidak seperti di sector-sektor lainnya yang terbilang berbahaya. Hanya beberapa kali terjadi serangan para ROUGE itupun bisa diatasi tanpa campur tangan para WARRIOR.

“Bukankah itu agak janggal?” Mom bergabung kre meja makan dan aku menangkap perubahan wajahnya yang sudah lebih baik. “terlalu banyak serangan untuk sector utara. Akhir-akhir ini.”

Praktis kami semua memandangi Dad menunggu penjelasan.

‘Tidak juga, seluruh perbatasan kan memang rentan terhadap serangan. Jadi bukan hal aneh.”

Aku menangkap kesan tidak jujur dari perilaku Dad tampaknya memang benar terjadi sesuatu di perbatasan, tapi apapun itu, Dad memutuskan untuk tidak mengatakanya pada kami karena alasan tertentu. Aku ingin mengonfrontasinya guna mencari tau lebih tapi Dad lebih cepat tanggap. Ia tampaknya menyadari niatku dan menghentikannya dengan cepat. Ia mengusir kami secara halus, mengingatkan kami tentang sekolah.

Setelah berhasil membebaskan diri dari perdebatan lanjutan Jaiden dan Alison mengenai dengan siapa aku seharusnya berangkat. Aku berangkat sendirian dan langsung menyesalinya begitu saja ketika melewati wilayah reruntuhan kuno. Aku tidak tahu sudah sejak dari waktu kapan reruntuhan tua yang tinggal berupa pilar-pilar besar itu ada. Namun kesan seram yang menguar darinya selalu berhasil membuat rasa takutku timbul. Di dindingnya terdapat ukiran meliuk-liuk yang menurut teori Jaiden adalah huruf dalam bahasa kuno. Tidak ada satupun orang di pack yang mampu menterjemahkannya dan tidak ada orang yang cukup aneh untuk melakukannya juga. Namun yang pasti aku ingin segera melewatinnya secepatnya. Respon tubuhku terhadap pilar kuno itu sangat tidak bersahabat dan menjauhkan diri dari sana secepatnya adalah prioritas.

Tempat bernama sekolah yang akan kudatangi itu berada di atas bukit yang cukup tinggi. Membutuhkan lebih sekedar tenaga untuk mencapainya, tidak heran beberapa anak shifter yang cukup berani memilih untuk tidak datang. Ketika aku bertanya apa alasan –siapapun pemilik ide yang membangun sekolah itu memilih atas bukit sebagai lokasinya. Jaxon saudara tertuaku berkata itu sebagai latihan. Serangan para ROUGE tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Bersiap diri sedini mungkin meski cuma melarikan diri itu di perlukan dan jalan terjal ketika mendaki bukit sebagai latihan adalah bentuk persiapan dasarnya. Setiap kali mengingat hal itu membuatku muram terus-terusan dan fakta menyedihkan bahwa aku masih harus melewati itu semua untuk beberapa bulan lagi itu sudah membuatku lelah duluan.

Pintu gerbang pertama berupa jalanan bebatu, terjal dengan kemiringan cukup esktrim untuk wujud manusia.

Aku berjalan dengan segenap tenaga yang kupunya, menjaga diri sebaik mungkin dari segala kemungkinan kecelakaan yang terjadi. Berhubung jalan ini berfungsi ganda sebagai tempat latihan ketahanan fisik bagi anak-anak shifter ada banyak kecelakaan kecil terjadi. Beberapa murni oleh alam, tapi ada juga yang terjadi gara-gara anak nakal yang sengaja mengisengi anak-anak lain. Sala satu dari mereka adalah Brian teman sekelasku yang saat ini sudah berdiri dengan niat jahat yang terpampang jelas di wajahnya itu. Ini terlalu berisiko, pikirku berhenti secara mendadak.

"Apa kau sedang menungu seseorang?”." Grace teman baikku menyapaku dengan wajah ngantuknya. Ia berasal dari desa selatan yang hobinya bangun terlambat.

“Lebih tepatnya sedang menunggu bajingan kecil itu menemukan targetnya,” kataku memandang Brian dan anak buahnya dengan penuh kemarahan. Aku tidak akan mejadi korban lagi, tidak hari ini maupun seterusnya. Aku pernah sekali menjadi target dan menerima cukup banyak kerusakan di tubuh, membuatku secara pemanen selama semingu berada di rumah perawatan para tabib.

“Kurasa itu tidak diperlukan.” Grace menguap lebar membuat wajah ngantuknya terlihat lucu.

Aku baru saja hendak bertanya mengapa, tapi suara lantang bernada peingatan dan memerintah tiba-tiba terdengar. Pemiliknya tentu saja guru tersayangku yang memiliki hobi aneh dalam memberikan hukuman sekaligus guru yang terkenal akan kecepatan mulutnya jika sudah berurusan dengan memarahi, dalam konteksnya menasehati kami, MISS. SELLIN.

Semua anak yang cukup malang berada dalam jarak dekat dengannya otomatis menciut layu. Mereka tertunduk dengan wajah-wajah pucat. Bahkan seorang gadis berbadan kecil yang rupanya menjadi objek omelannya sampai bergetar seolah akan menangis. Anak yang malang, pikirku bersimpati tulus, tapi tidak ada waktu untuk perasaan sentimental itu lebih lama, tidak ketika pandangan MISS. SELLIN menemukanku.

“Ayo Grace,” kataku buru-buru menarik lengannya. Untungnya di atas sana Brian beserta komplotannya sudah menghilang entah kemana.

Setelah melewati jalan terjal sepaket dengan bermandikan keringat, juga lelah secara fisik maupun mental kami akhirnya sampai di gerbang utama. Sekolah kami terdiri dari dua bangunan yang saling berhadapan, dengan lapangan yang berada di tengah sebagai pemisah. Masing-masing bangunan memiliki beberapa petak yang semua materialnya terbuat dari kayu. Gedung sekolahku berada di sebelah kiri lapangan, sedangkan gedung yang di sebelah kanan adalah sekolah khusus untuk mereka yang sudah dinyatakan lolos kualifikasi dan layak menjadi seorang WARRIOR. .

Setelah dari gerbang kami berbelok kesebelah kiri menujuh gedung sekolah kami. Hari ini koridor terlihat lebih ramai dari biasanya. Banyak anak-anak yang berdiri di sepanjang koridor membentuk kelompok-kelompok kecil dengan pembahasan yang terlihat sangat serius. Hal semacam ini memang sudah biasa, bisa dibilang rutinitas harian.

"Apa topik untuk pagi ini?" Aku bertanya sambil mengamati kelompok-kelompok penggosip itu.

"Para elite lagi mungkin. Biasanya kan selalu begitu," Grace menjawab malas.

Para elite adalah sebutan Grace untuk para WARRIOR beserta jajarannya yang dimaksudkan untuk mengolok-olok pangkat mereka. Entah apa alasannya Grace tampaknya memiliki permasalahn tersendiri dengan para elite, yang dalam pandanganku lebih cocok dipanggil pagar penahan itu. Bukan bermaksud menghina tapi serius posisi mereka lebih mirip seperti pagar yang menahan segala serangan dari luar dengan nyawa sebagai taruhannya, tapi hari ini aku rasa yang dibahas bukanlah anggota elite.

"Hai girls, kalian sudah mendengar berita yang sekarang lagi hot-hotnya itu?" Floren berbicara nyaring di tengah-tengah kami, bahkan ia merangkul leherku dan Grace.

"Soal kaum elite lagi?" Grace bertanya bosan.

"bukan, kali ini soal...,”

"Serangan di sector utara," tebakku memotong ucapan Floren.

“Kau sudah tau? " Flo bertanya terkejut.

Meliriknya dari sudut mata aku mengangguk. “Dad mengatakannya tadi pagi."

"Lalu apa hubungannya dengan kita?" Grace bertanya tertarik.

"Sala satu ROUGE itu berhasil lolos dan melarikan diri ke arah pack kita, dan mungkin ia bersembunyi di sala satu rumah para shifter." Flo berbisik waspada seolah bahaya jika ada yang mendengarnya.

"Jadi kita hanya harus waspada,” kataku mengakhiri pembahasan dan menutup kesempatan untuk gossip lainnya dengan berjalan lebih dulu, diikuti Grace.

Kami bertiga berjalan menujuh kelas dengan Flo yang cemberut masam, secara suka rela membuang semua berita panas yang ada dikepalanya, ketika kami tidak menanggapi sedikitpun apapun yang dibahasnya. Sekedar informasi Flo itu adalah gadis yang mengetahui semua informasi terbaru di seluruh penjuru pack. Entah bagaimana semua informasi itu bisa di dapatkannya. Bisa di bilang dia mata dan telingahnya para shifter biasa. Berbanding terbalik dengan Floren, Grace adalah tipe gadis galak dengan kemampuan bertarung yang cukup ahli, tapi sayangnya ia tidak mau menjadi WARRIOR atau sesuatu yang berhubungan dengan para elite, jadilah dia terdampar bersama shifter lembek seperti kami ini. Biasanya aku meminta Grace mengajariku bertarung, meskipun tidak akan bertarung di garis depan seperti para WARRIOR jika ada penyerangan, setidaknya aku bisa melindungi diri sendiri. Kami memasuki kelas yang sudah ramai dengan anak-anak shifter. Tak lama setelah aku dan Grace mendudukan diri di bangku pelajaran pun dimulai.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*

Aku menelungkupkan kepalaku di meja dengan bosan ketika itu segera dikacaukan oleh suara benturan keras diikuti erangan sakit. Terdengar bunyi kursi yang dijatuhkan, aku mengangkat kepala kemudian menoleh ke asal suara kurasa semua anak di dalam kelas juga melakukan hal yang sama. Di sana Brian sedang berdiri berkacak pinggang sambil melotot ke arah Rome yang juga balas melotot padanya, tambahan sudut dahinya berdarah. Aku tidak tahu apa yang memicu terjadinya perselisihan, tapi mereka terlihat sangat serius ingin menerkam satu sama lain.

"Begitulah akibatnya jika menantangku?" suara Brian terdengar angkuh.

"Astaga tidak bisakah mereka berhenti membuat onar sebentar saja," Grace berkomentar malas melihat keduanya yang sudah menggulung lengan baju masing-masing dan siap memulai perkelahian.

Belum sempat aku menyahuti suara ribut dengan bunyi patahan kursi yang di banting berpadu dengan suara riuh anak perempuan yang berteriak menghindar. Jarakku dengan arena perkelahian dadakan itu cukup jauh jadi aku bisa menghindar dengan mudah ketika tas milik sala satu teman sekelasku melayang kearahku. Entah siapa yang melemparnya. Tidak ada anak laki-laki yang cukup berani untuk melerai perkelahian mengingat bagaimana sepak terjang Brian selama ini, dan anak perempuan sudah lebih dulu menjauh, menyelamatkan diri. Setelahnya seisi kelas menjadi sangat, sangat berantakan. Kursi-kursi yang semula rapi itu sudah tak karuan bentuknya, mungkin itu juga mengapa rata-rata bangunan para shifter terbuat dari material kayu. Jika perkelahian terjadi menggantinya dengan yang baru cenderung lebih mudah, tapi tetap saja aku menunduk menghindari beberapa benda yang di lemparkan oleh Brian ataupun oleh Rome.

Kupikir aku akan terjebak lebih lama lagi tapi untungnya suara teriakan dari arah pintu sukses menghentikan itu semua.

"Apa yang terjadi di sini?” Suara nyaring Mrs. Sellin terdengar mengerikan. Rupanya ada anak yang melaporkan keributan dan aku menduga itu Grace mengingat dia yang pertama menghilang. Ia berjalan mendekati keduanya dengan wajah mengerikan. Tamatlah riwayat kami.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!