Jaxon

Dalam daftar moment terburuk dalam hidupku, memang saat ini tidak menempati urutan teratas. Namun jelas minggu ini menduduki posisi pertama. Sudah keberapa kali termasuk saat ini aku berada dalam keadaan sekarat? Otakku sudah sakit duluan memikirkannya.

Tidak bernapas di dalam air adalah keahlianku, tapi tetap saja aku punya batasan di tambah suhu air yang dingin. Ah! Semua ini benar-benar menyiksa, lecet di telapak tanganku mulai terasa perih terkena air laut. Terlebih paru-paruku mulai meronta-ronta, berteriak meminta pasokan oksigen.

Namun aku masih belum boleh memunculkan tubuhku keatas, kira-kira apa yang akan dia lakukan jika ia berhasil menangkapku yah?! Memasukanku kepenjara, melemparkanku ke kumpulan para ROUGE, atau pilihan paling mudah adalah membiarkanku mati tenggelam karena kehabisan napas di dalam laut tanpa di ketahui oleh siapapun. Pada akhirnya aku akan terlupakan.

Tidak akan ada yang mengetahui penyebab kematianku yang sesungguhnya, seperti harapan anggota GUARDIAN itu dan orang-orang akan menganggap itu tindakan kecelakaan, atau paling buruk. Aku akan dikira bunuh diri gara-gara defresi selalu menjadi peringkat terendah di kelas.

Membayangkan bagaimana keluargaku akan mendapatkan cibiran dari banyak orang membuat dadaku menjadi berlipat kali sesak. Mom mungkin hanya akan menangis seperti biasa, dan Jaxon, ia pasti hanya akan memandangi jasadku begtiu saja, masih bagus dia tidak berpura-pura tidak mengenaliku tapi Alison? Jaiden? Mereka tak akan menerima begitu saja, bagaimana jika mereka memutuskan mencari tahu yang sebenarnya, lalu tanpa sengaja menemukan petunjuk bahwa kematianku didorong oleh seseorang? Yah walaupun tidak secara langsung. Mereka pasti akan dalam intaian GUARDIAN itu. .

Mataku terasa perih ketika aku coba membukanya demi memastikan anggota GUARDIAN itu masih di sana atau tidak. Sialnya anggota GUARDIAN itu masih di sana berdiri sambil menatap kedalam air. Aku tidak tau ekpresi apa yang tengah ia tampilkan sekarang karena tertutup tudung jubahnya, tapi perasaanku mengatakan dia tengah menyeringai senang. Aku menyelam sedikit lebih dalam dan mulai berenang menjauh dari tebing.

Hanya saja air laut yang semakin lama terasa semakin dingin membuat kakiku sulit untuk di gerakkan. Sekali lagi aku merutuki diri sendiri karena lagi-lagi berbuat ceroboh. Seandainya saja aku tidak penasaran akan suara aneh itu, aku pasti tidak akan mengalami hal ini. Kalau dipikir-pikir aku tidak sepenuhnya salah, seharusnya mereka tidak melakukkan hal yang tabu untuk di lihat itu ditengah hutan, seharusnya mereka bisa mencar tempat lebih aman.

Aku menggerakan tanganku berenang ke atas ketika kebutuhan akan oksigen semakin mendesak, meskipun yang keluar hanya kepala saja. Aku menarik napas sebanyak-banyaknya dan menatap marah pada anggota GUARDIAN yang perlahan menjauhi bibir tebing. Ia pasti sangat bahagia karena berhasil membuatku mengalami hal mengenaskan seperti ini.

Tubuhku mengambang bagaikan buah kepala kering. Terombang-ambing tak berdaya. Angin berhembus dari tengah lautan membawa gelombang besar berhawa dingin. Tubuhku sempat tergulung ke dalamnya, membuatku menelan banyak air asin. Ketika akhirnya berhasil mendapatkan keseimbangan diri, aku menarik napas besar, menatap gumpalan awan gelap yang sepertinya tengah mengejekku di atas sana.

Rasa panik menyelimutiku ketika angin kembali berhembus kali ini dengan intensitas yang kencang, sanggup untuk membentuk gelombang pasang. Aku mengerahkan segenap tenaga berenang ke tepian saat gelombang setinggi tiga meter perlahan mulai bergerak mendekatiku dengan kecepatan menakutkan.

Namun aku kalah cepat, riakan ombak besar menghantam tubuhku tanpa ampun. Tubuhku berputar, bergerak seirama dengan ombak, aku megap-megap tak karuan. Pandanganku kabur berputar tak tentu arah tanpa henti, kupikir aku akan muntah tapi alih-alih mengeluarkan sesuatu, mulutku d paksa menerima banyak air.

Terakhir yang kuingat sebelum semuanya gelap adalah rasa sakit di kepala bagian belakangku yang menghantam batu karang, ketika ombak menghempas batu karang.

Ingatkan aku untuk memberi setidaknya sebuah cakaran sayang pada anggota GUARDIAN itu jika suatu hari nanti aku memiliki kesempatan untuk melakukannya. Kalau bukan gara- gara dia, aku tidak akan berakhir di sini bersama Jaxon yang berdiri dengan tangan bersedekap di dada dan matanya yang tajam menyorot tepat kedalam mataku dengan pandangan menuntut.

Jaxon weston. Kakak tertuaku. Si pria kaku, dingin, tukang intimidasi, dan semua julukan mengerikan yang kusematkan padanya karena sikap anti sosialnya yang sudah pada tahap mengkhawatirkan itu.

“Aku harap kau sudah menyiapkan penjelasan yang bagus terkait keberadaanmu yang mirip paus tersesat tadi!” Nada yang digunakannya membuatku mengigil seketika.

Sebenarnya aku sudah memikirkan itu sejak tadi, sayangnya aku belum menemukan alasan terbaik yang bisa kugunakan untuk menjelaskan keberadaanku di sini, dan pangkat Jaxon sebagai seorang warrior yang sudah sangat terlatih dalam hal introgasi semacam ini sangat tidak membantu. Masa sih aku harus bilang kalau aku mencerburkan diri ke laut karena ketahuan mengintip. Itu akan jadi rekor baru dalam daftar pengalaman burukku.

“Mati kalah bertarung melawan ROUGE itu lebih enak di dengar ketimbang mati tenggelam di laut,” ujarnya kejam. Mata coklat susu itu menggelap dengan sorot mata dingin sampai berhasil membekukan kerja otakku hingga mendadak kosong.

“Ada kali yah orang yang sengaja menjatuhkan diri hanya untuk terseret ombak,” jawabku pada akhirnya.

Setelah sisi kesalku terbangun, berhasil mengambil alih kewarasan otakku yang sejak tadi berteriak memintaku untuk menancapkan tonggak kayu dengan lembaran kain berwarna putih di atasnya.

“Jadi?” tanyanya menuntut.

“Aku sedang duduk di tebing dan tidak sengaja terperosok dan yah kau tau lah kelanjutannya.”

“Aku tidak peduli prosesnya, lagipula pertanyaanku adalah alasan keberadaanmu di sini, mengingat seharusnya sekarang kau sedang duduk manis di dalam kelas.”

Tidak heran kenapa Jaxon bisa terpilih menjadi seorang WARRIOR, terhadapku saja seseorang yang memiliki hubungan darah dengannya, dia tetap memperlakukanku dingin seperti ini.

“Kau bisa menanyakan hal itu pada Dad,” balasku tak ingin melanjutkan acara introgasi dadakan ini. “ dia berada tak jauh dari sini sedang memancing bersama paman Henry.”

“Aku tidak melihat siapapun di sekitar sini kecuali dirimu.”

Kata-kata itu membuatku sadar akan sesuatu. Oh, benar aku terseret gelombang. “Dad sedang memancing di pink beach, di pack Lunar Eclipse.”

“Tak terlalu jauh,” gumamnya.

“Di mana kita sekarang?” tanyaku mengamati sekitar, tempatku sekarang berada di sebuah pondok sederhana, dengan berbagai peralatan makan yang berantakan di meja. Sebuah jubah biru, milik Jaxon tampaknya menggantung di salah satu paku.

Aku sendiri sedang setengah berbaring di dipan kayu tanpa kain yang melapisi. Kedua telapak tangan serta dahiku sudah berbalutkan perban. Baju terusan yang kupakai lembab dan kedua alas kakiku lenyap entah ke mana. Aku bisa mendengar suara deburan ombak cukup nyaring dari luar, jadi sepertinya kami tidak terlalu jauh dari pantai.

“Pos penjagaan di perbatasan tenggara, Red Eclipse pack.”

Aku tertegun sejenak sepertinya gelombang itu mengantarku pulang dengan sendirinya.

“Bagaimana kau menemukanku?”

“Aku sedang berpatroli di area sekitar.”

Aku mengamati Jaxon, wajahnya basah, dengan air yang masih menetes dari ujung rambutnya serta baju hitam yang menempel erat memperlihatkan bentuk tubuh atasnya, yang mana memicu sesuati di dalam diriku saat melihatnya. Secara garis besar ia sama berantakan membuatku merasa tak enak hati.

“Aku minta maaf,” ucapku tulus. “lain kali aku akan lebih berhati-hati lagi.” Yah lain kali aku tidak akan mau menuruti rasa penasaran lagi, terutama jika menyangkut hal-hal yang bisa membuat kehilangan nyawa.

“Apa aku bisa mempercayai itu?”Dia meminta kepastian dariku.

“Tentu,” jawabku cepat-cepat. “tentu kau harus mempercayaiku.”

Helaan napas lega lolos dari bibirku ketika akhirnya Jaxon tidak lagi membuatku merasa seperti pelaku kejahatan. Yah, meskipun sorot batu es matanya tetap sama. Bagian yang itu memang tidak bisa di ubah sampai kapanpun.

Aku curiga jangan-jangan dulu nenek mengidam makan salju ketika tengah mengandung ayahku, untunglah yang kecipratan gen itu si shifter es alias Jaxon.

“Kepalamu, apa masih sakit?” tanyanya tiba-tiba.

“Hah?” tanyaku bingung. Ketegangan yang terjadi secara berturur-turut membuat tubuhku rupanya kehilangan keamampuan merasakan sakit.

“Kau terbentur batu karang, kan?”

“Sedikit,” jawabku hati-hati.

Yah,aku tidak bohong ketika mengatakan itu. Introgasi dadakan darimu lah yang membuat sakit sungutku, tapi tentu saja aku mengucapkan kalimat itu dalam hati. Meskipun ingin mengatakannya aku tidak punya keberanian.

“Ma ... , Mau apa?” tanyaku gugup, melihat pergerakan tak biasa darinya.

Jaxon maju dengan langkah pasti memperpendek jarak di antara kami. Dia terus mendekat hingga aku bisa merasakan dinding kayu di belakangkku. Apa yang ingin dilakukannya?

Dia baru berhenti ketika dagunya sudah menyentuh puncak kepalaku. Dia lalu melingkarkan kedua lengan kekarnya di sekeliling tubuhku.

“Kau membuatku khawatir,” ujarnya tiba-tiba.

Oh! Jadi dia mau memelukku! Sepertinya aku perlu belajar membaca gerakan tubuh agar tingkah memalukan beberapa menit lalu tidak terulang.

Aku menghela napas, lalu Ikut melingkarkan kedua lenganku di sekeliling tubuh kekarnya. Mengherankan tubuhnya terasa hangat padahal masih basah, memang sih suhu tubuh shifter dewasa memiliki tingkat kehangatan yang hampir sama dengan matahari. Oke itu berlebihan. Intinya tubuh shifter seperti Jaxon itu panas. Karena aku belum melakukan shift jadi aku belum bisa di sebut shifter.

“Hal semacam itu tak akan sanggup membunuhku.” Aku mencoba mengatakan lelucon.

Ini pelukan pertama Jaxon di tahun ini. Lucu kan? Padahal kami saudara, tapi rasanya seperti orang asing yang baru ketemu.

Pelukkan hangat Jaxon membuatku betah berlama-lama menikmati tubuhnya, saking nyamannya aku nyaris kembali terlelap. Namun suara pintu kayu yang terbuka dan seruan kaget berlebihan membuat keinginanku pupus begitu saja. Jaxon mengurai pelukan kami, menatap pengganggu tak tahu waktu itu.

“Kau sudah kembali?” Suara Jaxon datar, tidak menunjukkan tanda-tanda kesal sedikitpun.

“Hm, yah, aku baru saja berkeliling.” Suaranya patah-patah, kentara sekali ia sedang merasa canggung. Pasti ia sedang berpikir yang aneh-aneh di kepalanya sekarang. “Biar aku yang melapor kalau kau sibuk.’’

Bahu lebar Jaxon menghalangi wajah seseorang itu. Hanya saja jubah biru yang melambai memeberitahuku bahwa ia juga seorang WARRIOR, seperti Jaxon.

“Tidak, aku akan melapor sendiri. Sekalian aku akan mengambil libur.”

“ Yah, kau perlu mengambilnya. Omong-omong, maaf jika aku mengganggu.” Seseorang itu menggeser tubuh melongok demi menatapku, dan kemudian refleks berkomentar menyinggung, setidaknya bagiku.

“Oh, astaga …’ ia melemparkan pandangan sedetik pada Jaxon lalu kembali padaku. “ Dia sangat manis, tapi Jax, dia masih terlalu kecil.”

Aku menyipitkan mata, melemparkan pandagan tak suka. Orang ini kepalanya perlu diberi terapi mental rupanya. Aku mengambil langkah maju menyemprotkan kata-kata yang terbentuk di kepalaku saat itu.

“Kaulah yang kecil, maksudku otakku, apa kau tidak bisa melihat dengan jelas? Aku ini adiknya. Apa orang dewasa seperti kalian hanya bisa memikirkan hal tak senonoh itu kalau melihat pasangan beda jenis sedang berduaan.” Suaraku meninggi.

“Azu!”

Aku memelototinya, berkacak pinggang, enggan menyerah meski sudah diperingatkan Jaxon.

Anggota WARRIOR itu berjengit kaget melihat balasan dariku. Ia mundur selangkah menatap kami bergantian sekali lagi lalu melemparkan pandangan ke ara lain.

“Maaf, aku seharusnya tidak cepat menyimpulkan.”

“TIdak, bukan salahmu,” Jaxon menengahi.” Dan kau seharusnya tidak perlu bereaksi berlebihan begitu.” Ia menegurku.

“Tidak, Jax, adikmu benar. Jangan dipikirkan.” Pemuda itu menatapku intens, rasanya ia sedang menelanjangiki secara harfiah. Apa yang salah dengannya? Aku balas menatap, menantang. Dia salah jika berpikir aku akan merasa risih dan mundur.

“Hai, aku Aiolos. Senang bertemu denganmu …” Ia mengankat alis mengulurkan tangan.

Aku menatap tangan itu sesaat lalu menatap Jaxon kemudian menjabatnya. “Azu. Maaf juga sudah berlaku kasar. Aku hanya masih terbawa suasana. Hari ini sangat buruk dan emosiku meluap begitu saja saat mendengarmu mengatakan aku kecil.”

Aiolos tertawa renyah, membuat suasa sana mencair begitu saja. “Dan kau melampiaskannya padaku begitu?”

Aku meringis, mengangguk pelan-pelan,” sepertinya.”

Tumpukan ketegangan yang melandaku akhir-akhir ini rasanya terlepas begitu saja. Aku tidak ingat kapan bisa menarik napas biasa tanpa ada gangguan. Lalu begitu semuanya keluar tubuhku mulai memberikan reaksi seharusnya. Aku sedikit oleng saat beberapa badanku mulai berdenyut.

“Kau baik-baik saja?” Jaxon menangkapku tepat waktu.

“Kupikir aku akan beristirahat sebentar. Bisakah kau menemui Dad, ia pasti khawatir. Aku sudah cukup lama menghilang.”

“Tidak perlu, kita akan menemuinya bersama.”

“Tapi kau harus berjaga.”

“Sudah waktunya bergantian,” ucap Aiolos menyelah. “ sebentar lagi petugas berikutnya akan datang. Jadi kurasa itu tidak masalah.”

“Aku akan melapor, bisakah kau memastikan ia tetap di tempat saat aku kembali?” Jaxon menatap Aiolos.

Apa maksudnya itu? Aku memandang Jaxon tak terima yang diabaikan begitu saja olehnya.

“Kau bisa menyerahkan itu padaku.”

TBC.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!