Labirin

Kami diperintahkan memasuki gerbang besar dengan dua daun lebar yang menghiasi masing-masing sisinya. Kami berjalan bersebelahan dengan pasangan masing-masing. Begitu sampai di dalam, kegelapan menyambut, hanya cahaya temaram dari pintu yang terbuka di belakang kami sebagai penerangan. Itupun semakin redup seiring tertutupnya pintu.

Aku mengigit bibir gelisah, ini baru semenit tapi aku sudah kesulitan bernapas. Kegelapan membawa bayangan buruk mengenai makhluk kegelapan dari nergei asing yang sering muncul di dalam mimpiku. Aku menelan ludah gugup, menggeleng kecil guna mengusir pikiran tak perlu yang muncul secara mendadak. Saat ini aku hanya bisa berharap semua ini cepat berakhir. Irama langkah yang kami ciptakan adalah satu-satunya penanda bahwa aku tidak sendirian.

Kewarasanku nyaris saja menghilang tertelan kegelapan ketika akhirnya setitik cahaya terlihat di ujung depan. Sumbernya adalah sebuah obor di kedua sisi dinding. Mengejutkan bahwa lorong ini lebih besar dari yang kukira. Kami tiba di ruangan lain. Sebuah ruangan besar di mana beberapa shifter berkumpul. Satu dari shifter berjubah merah gelap itu mendekati anggota GUARDIAN yang menuntun kami. Setelah terlibat percakapan kecil, kukira. Shifter berjubah merah itu berdiri di hadapan kami, lalu dengan santainya menarik tudung jubahnya hingga wajahnya terlihat.

Dalam temaran pancaran obor orange gelap, sulit untuk mengenali warna mata aslinya tapi kupikir itu adalah biru laut. Rambutnya di potong pendek berwarna sekali lagi susah untuk menyebutnya. Wajahnya tegas terlihat sedikit aneh karena senyum paksaan yang di padukan dengan sorot mata dingin, membuat Kombinasi ekpresinya jadi tidak matching. Kalau tidak berniat mending tidak usah tersenyum, cibirku dalam hati, wajah tampanmu jadi aneh.

“Senang bertemu kalian.”

Sapaanya terdengar sangat di paksakan.

“Perkenalkan namaku Warren, aku yang akan bertugas memantau kegiatan kalian hari ini.”

Ah, penjaga penjara yang beralih profesi menjadi pengawas permainan dadakan! Kombinasi yang unik, aku menganggukkan kepala kecil.

“Seperti yang terlihat, ada banyak lorong di dalam sini dan semuanya terhubung satu sama lain. Jadi bijaklah dalam menentukan langkah.”

Warren berbicara dengan sangat datar. Tidak ada keramahan dalam nada suaranya. Tapi mungkin itu hal terbaik yang bisa dia lakukan, mengingat bagaimana biasanya para GUARDIAN bahkan tidak pernah membuka tudung jubahnya. Mereka lebih sering tidak bersuara.

“Boleh saya mengajukan pertanyaan?” Floren dengan semua keantusiasan berlebihannya mengangkat tangan.

“Yah, itu selama berkaitan dengan kegiatan kalian.”

“Potongan kayunya, bagaimana kami bisa menemukannya di dalam kegelapan? Apa anda mau berbaik hati memberi kami petunjuk?”

Ah, akhirnya, ada juga yang menyuarakan keresahan hatiku. Tempat ini hanya memiliki obor sebagai pencahayaan, menilik dari jarak obor satu dan yang lain berjauhan. Itu akan jelas menyulitkan, bagaimana kami bisa menemukan benda berwarna hitam di dalam kegelapan?

Alis indah Warren terangkat, menarik sudut bibirnya sedikit. “Mengenai yang satu itu, maaf sekali aku tidak bisa membantu. Kalian akan menemukan jawaban sendiri saat di dalam nanti.”

Serempak ******* napas kecewa menghiasi ruangan. Itu berita buruk bagaimana kami bisa menemukan sesuatu yang petunjuknya saja tidak ada. Apakah orang-orang dewasa ini sengaja ingin mempersulit kami? Jika memang demikian, aku ucapkan selamat mereka sudah berhasil. Jadi satu-satunya pilihan tersisah hanyalah terus maju.

“Jika tidak ada pertanyaan lain lebih baik kalian mulai mencari. Jangan membuang waktu untuk berada di sini lebih lama.”

Menyadari tidak memiliki pilihan lain, teman-teman sekelasku mulai saling berpegangan tangan. Mereka tampak saling menguatkan satu sama lain. Tidak jauh dariku Floren dan Grace saling merangkul, beruntung sekali mereka berada di tim yang sama. Aku jadi iri sekaligus bisa sedikit lega, setidaknya kesempatan Floren untuk melancarkan pikiran gilanya sedikit terhambat.

“Sebagai tambahan, aku punya satu nasehat.” Warren menghentikan langkah tim pertama yang hendak melangkah. “Usahakan untuk tidak terpisah dengan rekan kalian. segala sesuatu bisa terjadi di dalam sana.”

Aku menatap satu persatu tim yang mulai menghilang ke dalam kegelapan lorong, menunggu giliran. Berduaan di lorong dengan lawas jenis terasa seperti dongeng manis yang sering dibacakan Mom. Di mana sang pria akan melindungi pasangannya dengan segenap jiwa dan raga. Itu terdengar sangat romantis, apalagi jika pasangannya tampan. Tanpa sadar aku melirik Brian di samping, mengamati wajahnya. Yah. Wajahnya tampan, fisiknya juga sangat mumpuni, dan kemampuan bertarungnya tak perlu diragukan lagi. Terutama dalam hal tindas menindas. Andai ini sebuah kisah, aku pasti akan jadi pemeran utama perempuan beruntung yang mendapatkan kebahagian di akhir setelah semua perjuangan berat memilukan dalam upaya menemukan benda suci pengusir kejahatan.

“Belum-belum kau sudah kehilangan kewarasan,” komentarnya disertai pandangan aneh, membuyarkan semua pikiranku.

Aku menggeleng kecil melenyapkan semua kisah indah itu, Brian tidak cocok untuk peran semulia itu. Setidaknya dalam kisahku, dia tidak akan pernah menjadi sang pemuda. Aku sudah menolak duluan. Bisa-bisa kehidupan kami dihiasi adegan saling mencakar. Aku bergidik ngeri, jelas jika itu benar-benar terjadi aku adalah pihak yang paling dirugikan.

“Berhentilah bertingkah seperti orang kerasukan. Jalan.” Perintahnya.

Alih-alih menjadi partner yang saling melengkapi dan berjalan bersisihan. Aku dan Brian berjalan layaknya tuan dan budak. Ia memimpin di depan sedangkan aku mengikuti di belakang. Ada empat lorong yang bisa dipilih sebagai permulaan. Brian memilih lorong paling ujung sebelah kanan.

Dalam menit pertama keadaan sangat hening, aku nyaris berlayar dalam ilusi lagi ketika teriakan histeris terdengar dari ujung lorong. Tubuhku otomatis menabrak badan besar Brian saat ia tiba-tiba berhenti.

“Apa yang terjadi? Antara penasaran dan ketakutan, aku mempersempit jarak dengan Brian.”

“Seseorang tampaknya bertemu hal tidak menguntungkan,” katanya tenang, seolah sudah menduga semua ini.

“Apa maksudmu?”

“Tidak heran kau berada di peringkat kedua terendah di kelas.” Ia berbicara dengan nada mencemooh. “ Kau ingat apa yang dikatakan penjaga bernama Warren sebelumnya?”

Aku mengangguk. “Segala sesuatu bisa terjadi di dalam sana. Lantas hubungannya dengan anak yang berteriak itu?”

Aku akui, di dalam sini sangat menyeramkan, tapi hanya itu. Tidak ada hal lain yang bisa membuat berteriak histeris. Bahkan para ROUGE yang mendiami cell di sepanjang tembok labirin. Mereka hanya diam tidak melakukan apa-apa. Beberapa ROUGE memang memberikan pandangan menakutkan, tapi mereka terikat rantai, tidak akan bisa menyentuh kita selama tidak mendekati cellnya.

“Alpha bilang ini untuk uji nyali. Kau yakin itu hanya sekedar menemukan potongan kayu di sarang ROUGE? Jelas tidak. Benda berharga tidak akan semudah itu untuk didapatkan. Menurut dugaanku, Alpha setidaknya mengirim satu atau dua penjaga yang bertugas sebagai penggangu, atau mungkin itu para GUARDIAN sendiri yang turun tangan.”

“Tunggu, maksudmu akan ada yang datang untuk menakut-nakuti kita?” tanyaku memperjelas. Oh, yang benar saja, seolah kegelapan ini tidak cukup membuat serangan jantung. Sekarang aku benar-benar yakin ini ide MISS. Sellin. Sulit untuk dipercaya jika rencana ini datang dari Alpha David.

“Sepertinya, tantangannya bukan hanya para ROUGE, bahkan lorong ini saja sudah memberi kesulitan.”

Kenapa aku tidak memikirkannya? Labirin kan memang seperti itu. Lorong di dalamnya dibuat untuk memperumit keadaan, dalam kondisi terang saja orang bisa tersesat saking memusingkannya, apalagi di dalam keremangan seperti ini. Bahkan jika ada tambahan cahaya dari atas labirin, itu tidak membantu banyak. Di dalam sini tetap saja gelap, belum lagi liukan lorongnya yang menyatu satu sama lain. Siapapun akan kesulitan untuk memastikan apakah itu lorong yang sama atau bukan.

“Karena itulah Warren meminta kita untuk tidak terpisah dengan pasangan,” kataku mulai memahami situasi. Kurasa aku akan berterima kasih padanya setelah keluar dari sini.

“Kalau kau sudah mengerti, sebaiknya jangan terlalu menjaga jarak.”

Aku mengangguk paham, meraih lengannya cepat dan memegangnya erat. “Apa? Ini cara paling aman, kita tidak akan terpisah dengan posisi ini.”

Mata Brian menunjukkan ketidakterimaan, tapi itu hanya berlangsung selama beberapa detik. Ia menghela napas dalam membiarkan semuanya dan mulai berjalan lagi.

Kami sudah berjalan cukup lama, tapi sama sekali belum mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan potongan kayu itu. Rasanya usaha kami menemui jalan buntu, selain itu intensitas teriakan semakin sering terdengar. Di setiap lorong yang kami lewati ada saja gema teriakan. Berita baiknya sampai saat ini siapapun yang bertugas menakut-nakuti itu belum mendatangi kami.

“Aku tidak sanggup lagi. Biarkan aku istirahat.”

Aku tidak tahu berapa lama waktu sudah berlalu. Kakiku mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan, ditambah lorong yang semakin lama semakin pajang dan berkelok. Ini benar-benar neraka, tidak heran para penghuninya kehilangan kewarasan. Aku menatap simpati pada ROUGE muda di sala satu cell tahanan. Dia duduk diam menatap kosong pada satu-satunya sumber cahaya di atas ruangannya. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya hingga menjadi ROUGE di usia sangat muda. Dikatakan bahwa para ROUGE adalah mereka yang gagal mengendalikan jiwa wolfnya. Makannya menjadi liar dan buas.

“Jangan manja, ayo cepat jalan.” Brian menarik paksa tubuhku yang berjongkok. “Kita tidak tahu kapan penjaga akan datang sementara potongan kayu itu masih belum ditemukan.”

Sampai kapanpun itu tidak akan ditemukan pikirku sinis, mungkin saja sejak awal itu tidak ada. MISS. Sellin hanya ingin menghukum kami dengan berjalan di lorong dan mati kelelahan.

Aku baru akan melayangkan protes ketika sebuah suara terdengar. Itu bukan gema langkah yang diciptakan kaki melainkan gesekan kain dengan lantai batu. Semakin lama suaranya semakin terdengar jelas.

Mungkinkah!?

Kami berdua saling berpandangan sejenak mengkomonikasikan semua kata lewat tatapan mata lantas mengangguk. Dia datang akhirnya …

“Lari!”

Brian menarik lenganku menjauhi sumber suara. Kakiku yang sudah sekaku kayu kering kupaksa bergerak. Kami belum menemukan potongan kayu dan sekarang haru mengeluarkan tenaga tambahan untuk menghindari kejaran iseng penjaga itu.

Demi dewi bulan.

Aku menyumpah, merutuk, dalam pikiran, siapapun yang kepikiran ide terlampau brilian ini semoga menerima ganjaran serupa seperti yang kami alami.

“Aw!”

Aku merintih pelan ketika ujung lututku terantuk sisi tajam dinding batu. Kami berlari seperti orang kerasukan, berbelok secara acak. Prioritas utama saat ini adalah selamat dari kejaran para penjaga.

Dari lorong lain, sebuah pekikkan terdengar disusul teriakan lainnya. Dalam sekejap lorong gelap itu dipenuhi oleh suara ketakutan dari anak-anak di dalamnya. Suaranya menggema tumpang tindih tanpa henti hingga sulit untuk menentukan itu datang dari lorong yang mana. Brian terus menarikku dan baru berhenti ketika seseorang menabrak kami. Tubuhku sempat menggigil membayangkan siapakah lawan kami. Untungnya dia sala satu murid.

Murid itu memekik histeris tanpa henti bahkan setelah dua menit berlalu. Brian sendiri tampaknya enggan memperbaiki situasi, ia berdiri diam menatap anak malang itu. Ah, mulai lagi, jiwa penindasnya keluar.

“Hentikan, menjauh, jangan ganggu aku,” ia terus mengulang kalimat tanpa henti.

Anak itu, Helena, sala satu teman sekelasku. Ia benar-benar berantakan, rambutnya mencuat ke sana-kemari, matanya merah oleh genangan air. Wajahnya seputih salju, kalau saja aku tidak mengenali dirinya, aku juga pasti akan berteriak saking menyedihkan penampilannya.

“Hei, tidak apa-apa,” kataku menenangkannya. “kami siswa sama sepertimu.”

Ia refleks berbalik cepat, memelukku secara spontan. Aku yang tidak siap ikut terjengkang di lantai lorong.

“Tolong,” katanya lagi, “ izinkan aku ikut kalian, aku sudah tidak peduli lagi soal potongan kayu atau apapun. Aku hanya ingin keluar.”

Aku melirik Brian meminta persetujuan, secara pribadi aku sama sekali tidak keberatan, tapi ini masalah tim. Aku tidak bisa seenaknya mengambil keputusan.

“Di mana rekanmu?’ Brian bertanya ketika keadaan sudah sedikit tenang. Matanya menyiratkan pandangan seperti terganggu.

“Kami terpisah, saat makhluk itu muncul,” Suara Helena serak, saking banyaknya ia beteriak. “ aku tidak tahu dia di mana.”

“Makhluk? Maksudmu ROUGE?”

“Bukan,” Helena menggeleng, pandangannya tak fokus saat berbicara, ia bahkan meremas erat tangan kami yang bergandengan. “ aku tidak tahu makhluk apa itu, terlalu gelap, aku hanya mendengar suaranya, tapi yang pasti ia bukan ROUGE.”

Aku dan Brian saling berpandangan, ia mengangguk kecil memahami apa maksudku. Tampaknya dugaan Brian ternyata benar, mereka mengirim penjaga untuk berpartisipasi memeriahkan permainan.

“Mungkinkah itu penjaga?” Kataku berniat memberi petunjuk, lantas berseru begitu menyadari hal yang terlewatkan. “benar, penjaga, mereka tidak ada. Alpha bilang akan ada penjaga di setiap dua puluh cell, tapi sampai saat ini aku belum melihat satu pun dari mereka."

Helena melebarkan mata, hanya Brian yang tetap terkendali.

“Bagaimana itu bisa terjadi? Semua melenceng jauh dari apa yang diterangkan Alpha David.”

“Mungkinkah para GUARDIAN, mengubah cara bermainnya.”

Itu bisa saja, ini wilayah mereka. Mereka bisa berbuat sesuka hati dan para Alpha tidak memiliki hak untuk mengajukan protes selama itu tidak membuat kehilangan nyawa.

“Kalau begitu, tak ada alasan bagi kita untuk tetap mengikuti peraturan yang ada,” kata Brian, matanya berkilat kegirangan, seolah dia menemukan sesuatu yang menarik. “Mari kita temui anak-anak lain, dan ajak mereka berkoalisi. Jika nanti mereka memprotes kita juga bisa mengajukan keluhan.”

Rencana yang sempurna, jika bersama-sama kami mungkin bisa keluar dari sini tanpa perlu terjebak terlalu lama.

“Aku setuju, mari kita lakukan.” Helena tampaknya mendapat suntikkan semangat, ketakutan dalam sorot matanya pun telah menghilang.

“Ayo!”

Kami baru saja berniat memulai langkah ketika teriakan lain datang, tapi kali ini bukan hanya dari para siswa, melainkan juga dari para ROUGE. Mereka menggeram kasar, saling bersahutan. Sepertinya mereka terganggu oleh banyaknya suara dan mulai menyalakkan protes.

“Sepertinya para ROUGE juga mau bergabung dalam keramaian.” Brian berkata enteng, tapi aku segera memukul belakang lehernya.

“Sudah kuduga kau ini sikopat. Bisa-bisanya kau merasa senang saat keadaan menjadi lebih genting.”

“Aku hanya menyatakan fakta,” elaknya tak terima.

Kami mulai mengambil langkah lagi, menuju suara terdekat. Namun ditengah banyaknya suara yang tumpang tindih itu menjali lebih sulit. Apalagi sekarang, para ROUGE, tidak lagi berdiam tenang di cellnya, mereka menggeram bergerak liar seolah hendak menerkam kami.

Kegiatan Study tour yang berubah drastis dari tujuan awalnya ini semakin kacau, saat semua benar-benar tak terkendali, sebuah moment ajaib, aku menyebutnya tersaji. Sala satu ROUGE, meneriakkan kata mate kearah kami. Itu sesuatu yang sangat langkah, karena di zaman ini mengenali mate tidak lagi seperti zaman kuno.

Setelah perang besar antar ras ribuan tahun lalu, para shifter kehilangan kemampuan mengenali pasangan mereka. Buku sejarah mencatat bahwa dulu, shifter mengenali mate mereka secara alami, entah itu dari aroma tubuh, pandangan mata atau sentuhan fisik. Namun di zaman ini itu tidak berlaku lagi, mereka memilih pasangan berdasarkan perasaan yang muncul secara pribadi, ketertarikan entah itu dari wajah atau perilaku. Mom bilang tidak ada yang bisa memastikan apakah mereka benar-benar pasangan sejati atau bukan. Ia bahkan berkata kalau mungkin saja Dad bukanlah pasangan sejatinya.

Jadi jika ada shifter yang mengenali pasangannya, itu merupakan sebuah anugerah. Seharusnya, karena sepertinya Helena tidak melihat itu sebagai berkah sama sekali.

“Apakah yang dimaksud itu dirimu?” ia bertanya padaku, padahal jelas-jelas ROUGE itu mengisaratkan padanya.

“Kupikir itu sebaliknya, atau kau ingin berpikir itu Brian?” kataku setengah melucu.

Brian mendelik ganas, saat aku menyebut namanya. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Helena jika ia menolak terang-terangan, tidak ada orang yang mau berpasangan dengan ROUGE, tapi tetap saja itu matenya.

“Aku harap ini hanya akan menjadi rahasia kita bertiga. Jika sampai tersebar keluar …” ia menatap aku dan Brian bergantian.” Kurasa tidak sulit untuk menyadari siapa pelakunya.”

“Aman padaku,” kataku berjanji.

“Aku juga.” Brian mendengus, tapi aku menangkap tarikan kecil di sudut bibirnya, ia pasti tengah menahan tawa. “jadi apa yang akan kau lakukan padanya?”

Kami berhenti di depan cell, mate Helena. Terlepas dari satusnya sebagai ROUGE, pemuda itu sebenarnya tidak terlalu buruk.

“Aku akan memikirkannya, prioritas sekarang adalah keluar dari sini.” Helena memandang pasangan yang baru ditemukannya itu.

“Tidak berniat di sini saja dan menemaninya?” goda Brian, yang langsung dihadiahi Helena pukulan maut.

“Mati saja sana.”

Aku terkikik kecil, merasa bersyukur akan hiburan kecil ini, setidaknya aku masih bisa menarik napas lega setelah ketegangan yang terus menerus bermunculan.

“Ayo, jangan membuang waktu lagi.”

Aku menunggu Helena yang masih memandangi pasangannya. Pemuda itu mungkin tidak seperti kebanyakan pasangan yang diinginkan banyak gadis, tapi tetap saja, ia belahan jiwanya. Helena tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Kurasa akupun akan demikian, setidaknya memberi kesempatan untuk salling mengenal.

Kami sedang berusaha menemukan anak lain saat sebuah sentuhan mengejutkan system sarafku. Jantungku pun bereaksi heboh sampai-samapi kukira ia akan membongkar rongga dadaku. Datangnya dari lorong lain di sebelah lorong yang akan kami masuki. Serangan panik membekukan otakku hingga proses pengolahan informasi dan penyaluran dalam bentuk teriakannya jadi terhambat.

“B …”

Benda, sosok, atau apapun itu telah berhasil menaham kedua bibirku untuk terkunci. Bukan hanya itu, ia pun sudah menarikku terpisah ke lorong lain dari Brian dan Helena, dan menyedihkanya kedua orang itu sama sekali tidak menyadarinya.

Aku akan mati, aku akan mati, saat pikiran itu terasa sangat dekat untuk menjadi kenyataan, kikikan dari suara familiar membuyarkan keputuasaan dalam diriku.

“Akhirnya kami mendapatkanmu,” ucap seseorang, yang detik berikutnya kuketahui adalah Grace. Di sebelahnya Floren tersenyum geli.

“Kau harus melihat ekspresi dirimu Azu, sangat lucu,” komentarnya.

Aku menghela napas lega, tidak memiliki tenaga lagi meski hanya sekedar memelototi keisengan mereka. “kupikir rohku benak-benar akan terpisah dari jasad tadi. Apa yang kalin berdua pikirkan?”

“Floren menemukan petunjuk mengenai potongan kayu, ia bahkan menemukan jalan keluar rahasia.” Grace menjelaskan, ia berdiri tepat di bawah api obor.

“Itu berita bagus, kalau begitu mari beritahu yang lain, agar semua kegilaan ini cepat berakhir. Aku akan mati terkena serangan jantung kalau begini terus.”

“Aku juga inginnya begitu, tapi Flo bilang kita harus membantunya.” Grace secara terang-terangan bersikap sinis. “Kau mengertikan?”

“Aku sudah menghapal jalan menuju kediaman mereka.” Floren sangat antusias, tampaknya ketegangan apapun yang terjadi selama ini sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Kita akan mendapat hukuman tambahan kalau ketahuan.”

“Karena itulah kita harus berhati-hati. Bagaimana?”

“Grace?”

“Kuserahkan keputusan padamu.”

Hah! Membuat pusing saja.

“Oke, tapi kita harus cepat dan kami hanya akan berjaga, kalau kau ingin masuk, lakukan sendiri.”

“Setuju.” Floren menyanggupi begitu saja, lalu membawa kami ke lorong lain yang katanya jalan pintas untuk keluar.

“Itu dia.” Floren menunjuk sebuah pintu di dinding labirin. Pintu itu agak tersembunyi dan memiliki rantai di kedua palangnya.

‘Kau yakin itu jalan keluar?” sejenak aku ragu, bagaimana jika di balik pintu itu bukan jalan keluar, melainkan neraka lainnya?

Floren mengangguk pasti, keyakinan besar dalam matanya berkobar.

“Kau yang memimpin.”

Kami berjalan mendekati pintu itu, melepas rantainya secara perlahan. Bunyi debuman keras saat rantai besi itu menghantam lantai batu sukses membuatku kaget sendiri, tapi Floren sepertinya tidak terpengaruh. Ia dengan santai menggeser daun pintu sampai sebuah suara mengejutkan kami.

“Ini area terlarang anak nakal,” katanya serak diikuti suara geraman tertahan.

Kami terlalu panic untuk menyadari siapa yang berbicara, dan kabur begitu saja. Namun sialnya ujung jubahku terinjak Floren membuatku jatuh.

“Kau ..”

Tiba-tiba ROUGE di balik pintu itu mendongkak melihat kearahku dengan mata hitamnya yang berhasil membekukan seluruh kerja tubuhku.

TBC.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!