"Anak bosnya Pak Uo?"
Syamsudin mengangguk.
"Yang bener kamu Syam, jangan bercanda ah." ucap ibu.
"Iya bener Syam, mana mungkin orang kaya membutuhkan guru seperti Cyra. Mereka pasti akan mencari guru lulusan dari luar negeri."
Syamsudin tersenyum sambil mengangguk - angguk, ia seakan mengerti ketidak percayaan kakaknya itu. "Guru lulusan luar negeri belum tentu bisa mengajar anak bos ku itu."
"Maksudmu?"
"Uda, anak bos ku ini memiliki sifat dan kepintaran yang istimewa, ia sangat aktif hingga sekolah dan puluhan guru yang di datangkan di rumah tidak sanggup mengajarnya."
"Orang lulusan luar negeri saja tidak sanggup apalagi anakku, jangan bercanda di siang bolong."
"Aku tidak bercanda Uda, yang dibutuhkan oleh anak bos ku itu adalah kesabaran dan kasih sayang dan aku melihat itu semua ada di Cyra. Jadi aku memang sengaja berkunjung ke sini untuk hal itu."
Syamsudin mengambil napas. "Tuan Aroon sudah tidak sanggup mendidik anaknya sendiri, apalagi keterpurukan atas kehilangan seorang istri membuatnya semakin jauh dari tuan muda."
Ayah dan ibu memandang Cyra untuk melihat responnya.
"Bagaimana nak?"
"Aku perlu waktu untuk berpikir, bu."
"Aku tidak memaksamu Cyra, tapi aku rasa kamu harus mencoba hal yang baru dan juga gaji yang diberikan sangat banyak." ucap Syamsudin.
"Eh, gaji banyak kalau menderita mending nggak usah." sanggah ibu.
"Ini juga tidak masalah gaji saja, Uni. Tapi untuk menambah pengalaman Cyra. Ia harus melihat dunia luar, tidak hanya terpaku disini."
"Sebenarnya yang dikatakan Pak Uo memang benar dan patut untuk di coba." jawab Cyra. "Nanti malam aku akan memikirkan tawaran ini. Dan itu pun kalau ayah dan ibu mengijinkan." Cyra melirik kedua orang tuanya.
Ayah menarik napas panjang. "Pada dasarnya ayah dan ibumu setuju jika kamu ingin menambah pengalaman kerja. Apalagi ada Pak Uo mu di sana. Kami tidak perlu khawatir."
"Nah Cyra, pikirkan baik - baik dan mantabkan hatimu. Besok kau bisa memberikan jawaban itu padaku, karena lusa aku sudah harus kembali ke perkebunan."
"Siap Pak Uo, aku akan memikirkannya baik - baik." jawab Cyra.
"Ya sudah ngobrolnya kita lanjutkan nanti, sekarang ayo kita makan dulu." ajak Ibu.
Malam ini ayah, ibu dan Syamsudin berjalan - jalan sambil menikmati angkringan malam. Sudah lama Syamsudin tidak menikmati itu semua. Sedangkan Cyra merenung di dalam kamarnya, kepergiannya ke kota Bogor nanti tentu saja harus meninggalkan kedua orang tuanya. Dari kecil sampai berumur sekarang ia tidak pernah berpisah jauh dari mereka. Tapi dengan gaji yang ditawarkan terus terang membuat Cyra tergiur, ia bisa membantu orang tuanya membayar hutang akibat membiayai kuliahnya dulu. Setelah memantabkan tekadnya sekali lagi, Cyra segera tidur dengan nyenyak.
🍀🍀🍀🍀
"Ayah, Ibu, Pak Uo aku sudah mengambil keputusan." ucap Cyra tiba - tiba memecah keheningan pagi hari ini.
"Bagus, aku suka dengan kecepatan berpikirmu dan membuat keputusan." balas Syamsudin.
"Apa keputusanmu?" tanya ayah.
Cyra menarik napas panjang sambil mengucapkan keputusannya dengan mantab. "Aku akan ikut Pak Uo bekerja di perkebunan."
"Kamu yakin? Kamu sanggup hidup di kota asing?"
"Aku yakin bu, seratus persen yakin. Benar kata Pak Uo, aku harus memperbanyak pengalamanku. Siapa tahu ini awal dari kesuksesanku."
Ayah menghela napas. "Aku menghargai keputusanmu."
"Kalau ayahmu setuju maka ibu juga setuju. Ada Pak Uo mu, jadi ibu sedikit lega."
"Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir, aku akan baik - baik saja disana." Cyra tersenyum lega karena orang tuanya mendukungnya.
"Baiklah kalau begitu kita kan berangkat besok." ucap Syamsudin
"Apa tidak terlalu cepat Syam?"
"Aku tidak bisa ijin terlalu lama, walaupun bos ku itu orang yang baik tapi dia orang yang disiplin."
"Kalau begitu ibu akan membantumu berkemas."
"Tidak perlu, bu." Cyra menggenggam tangan ibu. "Aku sudah melakukannya semalam, apalagi tidak banyak baju yang aku bawa."
"Uda, Uni kalau begitu aku akan memesan tiket untuk Cyra."
"Aku akan mengantarmu." ucap ayah.
"Tidak perlu, aku akan pergi bersama Cyra. Ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengannya."
"Baiklah." ucap ayah. "Pergilah bersama Pak Uo mu memesan tiket."
"Baik ayah, aku pergi dulu."
Dengan mengendarai sepeda motor mereka berdua pergi ke kota untuk memesan tiket. Setelah semuanya selesai mereka mampir ke kedai untuk makan siang.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Yakin Pak Uo. Dan tidak akan mundur selangkah pun."
"Bagus, aku suka dengan semangat dan tekadmu itu." ucap Syamsudin. "Tapi ada beberapa hal yang harus kamu ketahui tentang bos ku itu."
"Tentang apa itu?"
"Bos ku bernama tuan Aroon Tanawat Siriporn seorang pria yang berasal dari Thailand. Ia membeli sebuah tanah di Bogor dan berkat semangat dan kegigihannya ia membuat perkebunan itu tambah sukses. Tiga tahun kemudian ia menikah dengan nyonya Davira dan dikaruniai seorang putra yang sangat tampan bernama Gio Ram Tanawat. Setelah melahirkan Gio, nyonya Davira menderita sakit kanker. Ketika Gio berumur dua tahun, nyonya Davira meninggal. Itu sebuah pukulan yang sangat berat untuk tuan Aroon."
"Meninggalnya nyonya Davira berbarengan dengan Mak Uo, empat tahun yang lalu?"
"Yah kamu benar. Kami berdua kehilangan orang yang kami cintai."
"Maaf, karena pembicaraan kita ini membangkitkan kesedihan Pak Uo."
"Tidak apa - apa, setiap orang suatu saat akan mengalami kehilangan." ucap Syamsudin. "Akibat terlalu larut dalam kesedihan, tuan Aroon jadi jarang memperhatikan tumbuh kembang tuan Gio."
"Jadi itu yang membuatnya tumbuh jadi istimewa?"
"Tuan Gio hanya hidup dengan pengasuhnya, Tuan Aroon hanya sesekali saja mengajaknya berbicara. Sebenarnya tuan Gio anak yang pintar dan cerdik."
"Kasihan, anak kecil yang tidak tahu apa - apa harus menjadi korban keegoisan cinta dari ayahnya."
"Sudah banyak sekolah yang menyerah menerima murid istimewa seperti tuan Gio."
"Apa yang dilakukan oleh tuan Aroon?"
"Hanya marah dan menyerahkan semua itu pada pengasuhnya."
"Huh jadi geram aku melihat keegoisan tuan Aroon."
"Awalnya aku sudah banyak memberi masukan untuk tuan Aroon, tapi sepertinya beliau tidak suka dan akhirnya memutuskan untuk membawa guru ke rumah. Tapi kamu tahu apa yang terjadi?"
"Tidak." Cyra menggelengkan kepala.
"Mereka semua angkat tangan dan menyerah untuk mendidik tuan Gio."
"Kenapa?"
"Nanti kamu akan tahu kalau sudah melihatnya sendiri, biasa kenakalan anak - anak." jawab Syamsudin. "Setelah mendengar ceritaku ini apa kamu akan tetap pada keputusanmu."
Cyra terdiam, tak lama kemudian ia menarik napas panjang. "Apa yang sudah menjadi keputusanku, aku tidak akan menyerah ataupun mundur. Jadi aku akan tetap ikut Pak Uo ke Bogor."
"Bagus aku suka dengan keteguhan tekadmu." puji Syamsudin. "Habiskan makanmu, kita segera pulang. Besok kita harus berangkat pagi."
"Baik Pak Uo."
🍀🍀🍀🍀
Pagi ini air mata membanjiri ibu, walau bagaimanapun ia akan berpisah sementara dengan anak semata wayangnya.
"Kamu jaga diri baik - baik disana. Setiap saat telepon ibu dan ingat harus nurut sama Pak Uo mu."
"Iya bu, pasti." Cyra memeluk ibu yang membuat matanya sedikit berkaca - kaca.
"Kamu tidak usah memikirkan kami, konsentrasilah pada pekerjaanmu sehingga kamu bermanfaat disana."
"Iya ayah." Cyra melepas pelukan ibu dan berganti memeluk ayah. Selama ini orang tuanya lah yang selalu menguatkan setiap langkahnya. Mereka tidak pernah menuntut apa - apa dari Cyra.
"Ayo kita berangkat Cyra, keburu terlambat." ajak Syamsudin.
Cyra membawa koper dan sebuah tas berisi buku - buku. Syamsudin membantunya memasukkan itu ke dalam taxi yang akan mengantarnya ke bandara.
"Ayah, ibu aku pergi dulu."
"Hati - hati dijalan Cyra." ucap mereka bersamaan.
Setelah berpamitan Cyra segera masuk ke dalam taxi dan memulai perjalanannya ke tempat yang baru. Cyra bertekad akan bekerja sebaik - baiknya entah cobaan apa yang nanti akan ia terima disana, ia akan berpegang teguh untuk bertahan.
Ini pertama kalinya ia naik pesawat, biasanya ia melakukan perjalanan melalui jalur darat. Ia menikmati setiap perjalanan hingga tidak tidur. Tidak membutuhkan waktu lama mereka tiba di kota Bogor dimana Cyra akan memulai hidup barunya.
"Cyra."
"Ya, Pak Uo."
"Kamu bisa mulai kerja besok pagi saja. Hari ini pasti kamu lelah."
"Baiklah kalau begitu."
"Sementara ini kamu tinggal dulu di rumah Pak Uo."
"Bukankah Pak Uo tinggal diperkebunan?"
"Iya, itu karena Mak Uo mu meninggal. Terlalu banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi aku memilih tidur diperkebunan." Syamsudin memberi kunci rumahnya pada Cyra. "Aku akan mengantarmu kesana. Rumah itu bersih karena setiap hari ada yang membersihkannya dan sesekali ditempati oleh anakku jika pulang bersama anak istrinya."
"Baik Pak Uo."
"Besok pagi kamu bisa datang ke perkebunan jam sembilan pagi. Ingat jangan sampai terlambat."
Cyra hanya mengangguk.
"Kalau begitu aku tinggal dulu, sore ini aku harus melapor pada bos."
Sepeninggal Syamsudin, Cyra segera menata pakaiannya. Karena hari masih sore ia memutuskan untuk jalan - jalan sebentar menggunakan sepeda yang ada di sana. Letak perkebunan sangat dekat dengan rumah Syamsudin, Cyra melihat dari jauh hamparan tumbuhan yang menghijau sangat menyegarkan pandangan matanya. Setelah puas melihat ia memutuskan untuk pulang, ia melewati sebuah pasar yang saat ini masih cukup ramai. Besok pagi aku akan belanja makanan disini sebelum berangkat ke perkebunan pikirnya.
Ia mengayuh sepedanya dengan cepat karena hari mulai petang, saatnya untuk istirahat.
Pagi yang cerah dan udara yang segar membuat Cyra semakin bersemangat. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, ia memutuskan untuk jalan - jalan ke pasar membeli sarapan. Dengan wajah berseri - seri sambil menghirup segarnya udara pagi, Cyra mengayuh sepedanya dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri hingga tanpa sadar.
Tiiinnnn!!! Tiiinnn!!! Tiiinnnn!!!
Suara sebuah klakson mobil membuyarkan dan merusak momennya yang sedang mengagumi keindahan perkebunan.
"Siapa sih." ucapnya kesal. Ia berusaha meminggirkan jalannya sepeda.
Tiiinnn!!! Tiiinnn!!! Tiiinnn!!!
"Hei minggir!" teriak sang pengemudi.
"Gila apa! ini sudah minggir." umpat Cyra. Memang posisinya sudah minggir karena ada beberapa lubang di sebelah kirinya yang harus dia hindari.
Tiiinnn!!! Tiiinnn!!! Tiiinnn!!!
Pengemudi itu terus membunyikan klakson membuat Cyra menjadi gugup dan Brraakk!!!
Jatuhlah ia dari sepeda karena ada lubang yang cukup besar.
"Hei pengemudi sialan!!!" teriaknya.
Dan ciiitttt... mobil itu berhenti. Turunlah seorang pria berbadan kekar dengan tato di beberapa lengannya dan berambut gondrong. Melihat itu Cyra agak ketakutan. Waduh jangan - jangan preman pasar pikirnya. Ia menunduk dan berusaha untuk berdiri. Ia membersihkan beberapa debu yang menempel pada pakaiannya.
"Kamu yang nggak punya mata!" teriak pria itu dan segera berbalik masuk kembali ke dalam mobilnya.
What! aku yang salah. Gila! ini tidak bisa dibiarkan. "Hei harusnya kamu minta maaf!" teriak Cyra. Tapi sepertinya pria itu tidak menggubrisnya dengan tetap melajukan mobilnya. Dengan perasaan kesal, Cyra mengambil sebuah batu ukuran sekepal tangan orang dewasa dan melemparkannya ke mobil itu. Duaakkk!!! yes kena.
Tiba - tiba mobil itu berhenti membuat wajah Cyra menjadi pucat.
Waduh kalau preman itu ngamuk, bisa babak belur badanku. Padahal hari ini aku harus mulai bekerja. Tanpa pikir panjang Cyra segera mengambil sepedanya dan mengayuhnya dengan cepat menghindari pria tadi.
🍀🍀🍀🍀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Yuliana Purnomo
pasti itu ayah' nya Gio,,si Thailand dgn body guard nya
2024-09-13
0
Sugiharti Rusli
waduh siapa yah orang yang di mobil itu
2024-06-02
0
Yulia Rahma
author orang minang kah ?
2024-05-05
0