"Mas Yudi, berhentilah! Kamu mempunyai anak dan istri, apakah kamu tidak memikirkan mereka?" tanyaku masih mencoba menyadarkan Pria yang ada disampingku. Aku tahu dia pasti dalam tekanan seseorang.
"Justru saya memikirkan mereka!"
"Tapi apakah kamu berpikir bahwa apa yang telah kamu lakukan saat ini akan berakibat fatal. Aku mohon lebih baik menyerahlah. Papa pasti akan memaafkan kamu. Dan Papa pasti akan memberi perlindungan pada keluarga kamu, Mas!"
"Siapa yang bisa menjamin akan hal itu Mbak? Saya tidak ingin membahayakan nyawa anak dan istri saya!"
"Mas, kenapa kamu tidak percaya dengan Papa selama ini? Papa pasti akan memberi perlindungan terhadap keluarga kamu!"
Aku masih berusaha bernegosiasi dengannya. Sejenak dia seperti sedang berpikir. Namun, tiba-tiba mobil berhenti mendadak karena didepan macet.
"Sial! Kenapa harus macet!"Umpatnya, tak berapa jauh mungkin sekitar sepuluh meter aku melihat ada razia didepan. Aku tahu pasti itu perintah Papa.
Yudi yang menyadari akan hal itu, dia segera mengeluarkan senpi dan menodongkan kepadaku. "Jangan bergerak Mbak Khanza! Ayo keluar!"
Aku terdiam dan mengikuti perintahnya. Dia membukakan pintu mobil sembari menodongkan senjatanya. Jangan ditanya bagaimana jantungku saat ini. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang dia menggiringku berdiri di tepi jurang yang ada di pinggir jalan.
"Jatuhkan senjata kamu Yudi!"
"Papa!" Teriakku, ternyata mobil yang mengejar kami dari belakang adalah Papa bersama dua orang ajudannya.
"Jangan mendekat Jendral! Kalau tidak Mbak Khanza akan lenyap saat ini juga!"
"Jangan berani kau menyakiti putriku! Apa masalahmu padaku Yudi? Katakan?!"
"Maafkan saya Jendral, saya hanya menjalankan perintah!"
"Perintah siapa? Kenapa kau menjadi pengkhianat! Ayo turunkan senjatamu!"
Papa berusaha bernegosiasi, tetapi Yudi masih tetap dengan pendiriannya. Dia semakin mendorongku untuk berada di tepi jurang yang begitu terjal dengan senpi masih dia arahkan kepadaku, aku berusaha menekan rasa takut yang luar biasa. Air mataku tak berhenti menetes
"Papa... Hiks." Aku menangis menatap Papa yang tak begitu jauh dari tempat aku berdiri. Semua anggota kepolisian yang mengadakan razia sudah berkerumun. Mereka juga masih berusaha untuk membujuk Yudi agar segera menyerahkan diri.
"Dengar Yudi! Aku berjanji akan melindungi seluruh anggota keluargamu. Ayo turunkan senjatamu. Katakan siapa orang yang menyuruhmu!"
"Maaf Jendral. Saya tidak berani, lebih baik saya yang mati."
"Tutup mata Mbak Khanza, kita harus mati bersama!"
Tubuhku bergetar aku masih memohon tetapi dia tak menghiraukan segala ucapan yang keluar dari bibirku. Aku melihat dia mulai menarik pelatuknya, dan aku sudah pasrah, kupejamkan mata, aku berdo'a jika memang ini takdirku maka aku harus ikhlas menerima.
"Ahhh..."
Aku mendengar dia mengerang dan senpinya jatuh menimpa kakiku. Aku segera membuka mata untuk melihat kejadian yang ada. Ternyata pergelangan tangan Yudi sudah cidera terkena timah panas. Aku tidak mendengar suara tembakan ternyata Mas Yusuf yang menembak dari samping mobil yang tadi dikendarai oleh Yudi.
Ternyata senpi yang digunakan Mas Yusuf adalah menggunakan suppressor yang di pasang pada Larasnya. Setahuku senjata itu adalah milik Papa. Apakah mereka sudah merencanakan skenario ini untuk menangkap Yudi, dan aku baru tahu bahwa Mas Yusuf penembak jitu, terlihat bahwa tembakannya tidak melenceng, karena jarak tangan Yudi dan kepalaku begitu dekat mungkin hitungan senti.
"Mas Yusuf!" Aku tersenyum melihat kehadiran Pria yang selalu melindungiku.
Yudi Seketika ingin mendorongku untuk jatuh kedalam jurang, tetapi Papa kembali memberi tembakan pada tangan sebelah kirinya sehingga dia kembali mengerang.
"Aahhh!"
Aku segera berlari menjauh darinya, dan segera berhambur masuk kedalam pelukan Papa. "Papa, aku takut. Hiks..." Tangisku kembali pecah.
"Tenanglah, Nak. Kamu sudah aman." Papa mengusap punggungku berusaha menenangkan aku.
Anggota kepolisian yang ada di sana segera mengamankan Yudi. Dengan kedua pergelangan tangan yang telah cidera, Yudi digiring masuk kedalam mobil patroli.
"Yusuf, bawa Khanza pulang. Saya akan mengusut kasus ini hingga tuntas!" Papa menyerahkan aku pada Mas Yusuf. Sementara Papa dan ajudannya yang lain ikut mendampingi mobil polisi yang membawa Yudi ke tahanan. Papa tidak ingin kecolongan lagi bila nanti Yudi mati secara tiba-tiba seperti yang pernah terjadi.
"Siap Bapak!"
Mas Yusuf segera membawaku masuk kedalam mobil, dia mengendarai mobil yang tadi dikendarai oleh Yudi. Di perjalanan, tiba-tiba aku merasakan perutku begitu mual.
"Aku mual, Mas..." Lirihku menahan gejolak dalam perutku yang terasa di aduk-aduk.
Mas Yusuf menepikan mobilnya. Dan memberiku sebotol air mineral. "Ayo minum dulu, Dek."
Aku menerima air mineral itu. Namun, tiba-tiba.
Uueek!
Muntahku sudah menyembur keluar sehingga mengenai tangan Mas Yusuf, dan cipratan cairan itu juga mengenai celananya. Sekali lagi aku membuat kekacauan dihadapannya. Aku tidak tahu kenapa selalu saja terjadi hal yang begitu memalukan bila didekatnya.
"Mas, maafkan aku." Aku segera mengambil tissue. Tetapi rasa mualku masih mendera.
"Ayo muntahlah, jangan ditahan." Sungguh diluar dugaanku. dia menampung kedua telapak tangannya dengan dialas beberapa helai tissue.
Seketika rasa mualku sirna melihat perlakuannya padaku. Aku mengira dia akan kesal karena ulahku. Tetapi dia begitu perhatian dan tak sedikitpun merasa jijik. Aku menelan kembali muntah yang sudah tersendat di tenggorokan.
"Mas, buka saja pintunya. Aku ingin keluar." Pintaku dengan berusaha menahan gejolak dalam perutku.
"Jangan, Dek. Tidak aman untuk dirimu. Muntahkan saja disini. Kita harus segera sampai dirumah." Mas Yusuf kembali mengendarai mobilnya.
"Tapi ini sangat jorok, Mas."
"Tidak pa-pa, keselamatan kamu lebih penting daripada muntah itu."
"Apakah Mas Yusuf tidak merasa jijik?" tanyaku penasaran.
"Tidak Dek. Keluarkan saja jika ingin muntah. Nanti akan saya bersihkan."
Aku tak bisa berkata-kata. Beginikah sikapnya yang sebenarnya? sungguh aku rasa setiap wanita pasti akan merasa beruntung bila memiliki suami sepertinya.
Aku hanya diam sembari mengamati wajah tampannya. Dia selalu saja tampak begitu tenang. Aku yang pernah sangat membencinya, tapi kini rasa kagumku begitu besar.
"Kenapa memandang saya seperti itu? Apakah kamu sedang memikirkan sesuatu?" tanyanya yang membuat aku menjadi salah tingkah.
"Tidak. Aku, hanya haus," jawabku asal
"Kalau haus minum, Dek. Jangan menatap saya, itu bisa membuatmu semakin dehidrasi." Dia Membentuk senyuman tipis sembari fokus mengemudi.
"Ish, apaan sih kamu, Mas." rungutku memalingkan muka.
"Ayo minumlah. Apakah dia baik-baik saja?" dia memberikan air mineral itu padaku, lalu memegang perut datarku untuk menanyakan keadaan anaknya. Perasaanku semakin tak menentu.
"Ah, ya. Dia baik-baik saja." Aku menjawab seadanya, aku tidak tahu dengan perasaanku saat ini. Rasa takutku yang tadi begitu besar, kini seakan hilang saat bersama dirinya. Aku begitu nyaman berada disampingnya.
Bersambung...
Jangan lupa dukungannya ya, nanti author update lagi 🙏🤗
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Yuli Purwa
Yudi,,,, jahat kau 😡😡😡
2023-10-12
1
Tapsir Tapsir
khanza selalu di lindungi oleh Allah SWT...
2023-06-21
1
Sugiharti Rusli
jadi dilema jan yah, kalo suatu saat harus rela melepaskan Yusuf
2023-03-18
0