Aku diantarkan oleh ajudan yang Papa telpon setelah Mas Yusuf pergi. Papa tidak mengatakan bahwa Mas Yusuf telah diberhentikan, karena tidak ingin diantara mereka ada yang curiga.
Setelah sampai, aku menyusuri lorong RS untuk menuju ruang praktek. Saat aku melewati poli syaraf, aku melihat ibu Lilis sudah duduk menunggu antri dengan pasien rawat jalan yang lainnya. Aku segera menghampiri Mama mertuaku itu.
"Selamat pagi, Bu."
"Eh, pagi, Nak Khanza." Beliau sedikit terkejut saat aku memegang bahunya.
"Sudah lama Ibu ngantrinya?" tanyaku memastikan.
"Sudah 30 menit, Nak. Kamu mau praktek?"
"Iya, Bu, Ibu dengan siapa kesini?"
"Dengan Papamu, lagi ke toilet dia."
"Oh." Aku segera duduk disamping Bu Lilis. "Bu, aku temui Dokter didalam ya biar ibu didahulukan, nanti kalau Dr tanya hubungan kita, ibu bilang saja kita saudara," ujarku pada Bu Lilis.
Beliau tersenyum dan mengangguk paham , sembari mengusap bahuku. "Maaf ya Khanza, Anak Mama sudah membuat kamu berada di situasi seperti ini," ujar beliau dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan bicara seperti itu, Bu, ini semua sudah takdir yang harus aku terima. Aku sudah ikhlas, ibu tidak perlu merasa bersalah." Aku berusaha untuk meyakinkan beliau agar tak selalu merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan oleh putranya.
Setelah ibu Lilis paham, aku segera masuk keruang praktek Dr syaraf. Kebetulan aku kenal dengan Dr yang bernama Ayuni itu. Aku meminta tolong agar pasien yang bernama Lilis didahulukan. Karena kami sesama Dr bertugas di RS yang sama, maka Dr Ayuni dengan senang hati membantuku.
Setelah selesai, aku kembali keluar dari ruangan, dan berpamitan pada ibu mertuaku, dan aku lihat sudah ada Papa juga disana. Tanpa mengurangi rasa hormat aku menyalami tangan kedua orangtua suamiku. Dan segera pergi menuju ruang praktek.
Seperti biasanya, aku melayani para pasien-pasienku dengan sabar dan mendengarkan segala keluhan mereka, yang pastinya seputaran organ reproduksi wanita.
Tak terasa waktu berjalan, kini sudah jam 12.30. Itu tandanya jam praktek sudah selesai bertepatan dengan pasien terakhir aku periksa. Aku segera bersiap untuk pulang.
Sesampainya di lobby, aku sudah ditunggu oleh Mas Yudi, ajudan yang pagi tadi yang mengantarkan aku. Dia segera membukakan pintu mobil.
"Loh, kok didepan, Mas?" tanyaku padanya yang tak biasa. Karena biasanya aku duduk di belakang, aku tidak pernah duduk didepan.
"Untuk jaga-jaga saja, Mbak," ujarnya yang tak sedikitpun aku menaruh curiga, karena dia juga cukup bagus bekerja selama ini dengan Papa.
Tanpa curiga aku mengikutinya untuk duduk di depan, yaitu disisinya. Setelah mobil keluar dari perkarangan RS, aku membuka tas untuk memeriksa ponselku yang sengaja aku bikin mode silent.
Aku melihat puluhan kali panggilan tak terjawab dari Papa maupun Mas Yusuf. Aku segera membuka pesan dan aku sangat syok dan terkejut.
Dek, jangan pulang, hindari Yudi. Tunggu Mas di RS.
"Khanza, hindari Yudi. Papa akan segera kesana
Tubuhku terasa bergetar setelah membaca pesan Papa dan Mas Yusuf. Aku segera menatap pria yang ada di sampingku.
"Kenapa, Mbak?" tanyanya acuh.
"Mas Yudi, saya mau beli sesuatu di Alfa, tolong berhenti sebentar ya." Aku berusaha untuk mencari alasan agar bisa turun dari mobil. Aku segera ingin membalas chat dari Papa atau Mas Yusuf, tetapi ponselku telah berpindah dari tanganku, dia sudah merampas benda pipih itu.
"Mas Yudi, apa yang kamu lakukan? Kembalikan ponsel saya!"
Dia hanya menyeringai menatapku. "Apakah Yusuf dan Bapak jendral sudah tahu yang sebenarnya? Hng! Aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja!"
Aku benar-benar merasa ketakutan setelah mendengar ucapannya, tetapi aku berusaha untuk tetap tenang, aku takut sekali jika dia akan berbuat buruk, dan akan mencelakaiku dan bayi yang ada dalam kandunganku.
"Apa maksud kamu? Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu tega berkhianat dengan keluarga saya?!" Aku berusaha untuk menanyakan.
"Saya hanya menjalankan perintah."
"Perintah? Perintah siapa? Bukankah atasanmu adalah Papa?"
"Bukan!"
"Siapa? Ayo katakan?!"
"Kamu tidak perlu tahu. Sebelum saya menyerahkan diri, misi saya harus selesai, yaitu melenyapkan kamu!"
Seketika tubuhku membeku saat dia mengatakan hal itu. Siapa orang yang telah menyuruhnya untuk membunuhku? Aku salah apa?
"Jaga bicaramu Mas Yudi! Lebih baik sekarang kamu menyerahkan diri, Papa akan memaafkan kamu. Ayo sekarang turunkan saya!"
"Maaf Mbak. Saya tidak bisa, lebih baik saya mengorbankan nyawa saya daripada saya harus menyerahkan diri!"
"Jangan gila kamu! Ayo berhenti sekarang! kalau tidak aku akan lompat!" Aku membuka pintu mobil tetapi dia segera mengunci otomatis.
Aku benar-benar takut, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mau mati. Aku menangis dan kembali memohon agar dia menghentikan mobilnya. Tetapi sepertinya Pria ini sudah tak bisa berpikiran jernih.
Aku meronta sembari menatap ke kaca spion. Aku melihat ada sebuah mobil mengejar kami. Namun, Yudi semakin menambah kecepatan mobilnya. Mungkin dia sudah tahu bahwa ada yang mengikuti dari belakang.
"Ayo berhentilah! Kamu lihat kan, itu sudah ada yang mengikuti!" Aku mencoba untuk memintanya berhenti.
Mobil yang aku tumpangi benar-benar melaju di atas rata-rata. Rasanya aku sudah tak mempunyai pasokan oksigen dalam rongga dada. Aku mengucapkan Do'a agar dilindungi oleh Allah.
Entah kemana dia akan membawa aku pergi, yang jelas mobil ini sudah keluar dari kota Padang mengarah ke kampung kecil yang ada di selatan. Jalanan yang begitu sempit dan di tepi gunung, dan disisinya lagi jurang.
Tentu saja aku mengenali jalanan ini, karena ini jalan menuju ke kampung Bunda. Tak jarang banyak kecelakaan terjadi di sepanjang jalanan ini. Yudi membawa kendaraan roda empat ini begitu kesetanan. Aku hanya merapatkan tubuhku pada pintu mobil dengan Do'a yang tak terputus.
Mobil yang mengikuti kami tidak mendapatkan kesempatan untuk menyalip, selain dikarenakan akses jalan yang sempit, jurangnya juga sangat terjal. Aku tidak tahu padahal jalanan ini adalah lintas Sumatra, yaitu menghubungkan sampai ke kota Bengkulu dan Jambi. Mungkin karena letaknya yang berada di badan gunung sehingga pemerintah kesulitan untuk menambah luasnya badan jalan.
Tubuhku menggigil, perutku terasa mual, keringat dingin mengucur di dahi. Kepala berdenyut pening. Aku masih berdo'a agar Allah memberi pertolongan. Aku mengusap perutku dengan lembut sembari dalam hati membisikkan pada bayiku.
Adek jangan takut ya Sayang, Adek bantu Mama berdo'a kepada Allah, agar kita bisa selamat.
Aku kembali menangis sesenggukan. Aku berulang kali meminta maaf jika aku ada salah padanya, tetapi dia mengatakan bahwa dia hanya melaksanakan perintah.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Tapsir Tapsir
kenapa harus khanza yg di tahan.
2023-06-21
2
Sugiharti Rusli
kenapa sasarannya Khanza ya, kira" ada masalah apa sama mereka
2023-03-18
0
Ersa
jd mencoba mengingat siapa musuh2 Arman di novel "dokter Tampa itu ayah Anakku"... cuma ingat anaknya bu ratna yg mencoba melecehkan Lyra...
2023-02-20
0