Aku membawa Mas Yusuf naik kelantai dua menuju kamarku. Dikamar ini, aku dan Mas Yusuf begitu canggung dan kaku. Kamar ini dimana dia pernah merenggut kesucianku secara paksa.
Aku membawanya duduk di sofa. Dia hanya diam tetapi tatapannya tak lepas kepadaku, sehingga aku menjadi serba salah. Aku berusaha untuk mengalihkan pandangan agar perasaanku tetap aman.
"Sebentar ya Mas, aku ambil kotak obat."
Dia hanya mengangguk, sedikit meringis sembari menyandarkan tubuhnya, terlihat wajahnya masih lebam kebiruan, pasti sangat sakit dan ngilu.
Aku segera turun kebawah untuk mengambil perlengkapan pengobatan. Ku ambil es batu yang ada di freezer, kotak obat juga ku letakkan di dalam nampan yang akan aku bawa ke atas. Dan aku meminta pada Bibik untuk menyediakan makan malam untuk Mas Yusuf.
Saat aku masuk kembali kedalam kamar, aku melihat dia sudah tertidur. Aku menghela nafas dalam dan berjalan menghampirinya. Dengan perlahan aku meletakkan nampan yang berisi perlengkapan obat itu diatas meja.
Dengan sangat hati-hati aku duduk di sisinya, aku mengamati wajah tampan yang kini sedang cidera karena amukan Papa mertuanya sendiri. Rasa sedih yang tak bisa aku utarakan saat melihat keadaannya.
Lama aku termenung sendiri, aku tidak ingin mengganggu tidurnya, mungkin dia begitu lelah, tentu saja lelah fisik tidak seberapa, tetapi lelah hati dan pikiran yang membuat dia lebih memilih untuk tidur agar keluar dari carut marut kenyataan yang ada.
Aku mencoba untuk menunggu hingga dia bangun, tetapi aku juga tak bisa menahan kantuk, air mata yang sedari tadi aku keluarkan, membuat aku begitu mudah untuk terlelap sehingga aku tak sadar lagi.
***
Aku terbangun dan menatap sekeliling ruangan, dan aku merasakan tubuhku begitu hangat berbalut selimut tebal. Bukankah tadi aku duduk di sofa?
Aku segera mengedarkan pandangan untuk mencari sosok Pria yang tadi ingin aku obati lukanya. Ah, Khanza, kenapa kamu yang jadinya terlelap.
Aku tak melihat Mas Yusuf ada diruangan itu, segera aku duduk dan perlahan turun dari tempat tidur, aku melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul lima pagi. Ya ampun, ternyata aku tidur sudah cukup lama. Pasti dia yang memindahkanku ke atas tempat tidur.
Saat aku hendak menuju kamar mandi, aku mendengar suara gemericik air, menandakan ada orang didalam sana. Aku memilih untuk duduk di sofa sembari menunggu Mas Yusuf keluar dari kamar mandi.
Tak berselang lama terdengar pintu kamar mandi terbuka, aku melihat Mas Yusuf keluar hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya. Seketika wajahku terasa panas, sudah pasti warnanya merah merona, aku segera memalingkan muka. Jantungku berdebar tak menentu.
"Ah, maaf jika saya tidak sopan karena sudah menggunakan handuk Mbak Khanza. Kalau boleh, saya ingin pinjam kain sarung dan sajadah," ujarnya begitu formal.
"Baiklah, tunggu sebentar aku ambilkan." Aku segera keluar menunju lemari yang ada di kamar laundry, disana tempat penyimpanan kain sarung dan perlengkapan yang lainnya. Setelah mendapatkan kain sarung aku mengingat dia tidak mengenakan pakaian, mungkin pakaiannya yang semalam sudah kotor tidak nyaman lagi untuk dikenakan.
Aku segera menuju kamar Abang, aku mengetuk pintu kamarnya, aku rasa Abang juga sudah bangun jam segini, karena Abang juga pasti akan melaksanakan sholat subuh. Benar saja Abang membukakan pintu kamarnya.
"Ada apa Dek?" tanya Abang, terlihat dia sedikit heran jam segini aku datang menghampirinya.
"Bang, aku pinjam baju Abang ya, buat Mas Yusuf, soalnya dia tidak ada baju ganti."
"Oh, yaudah kamu ambil saja dilemari." Abang mempersilahkan aku untuk mengambil pakaiannya, maka aku segera masuk dan menuju lemari pakaian Abang. Aku mematut mana yang cocok untuk suamiku.
Tanpa sadar aku sudah mengacak pakaian Abang, entah kenapa aku merasa serba salah untuk memberinya pakaian, takut jika pilihanku tidak sesuai dengan seleranya.
"Ya ampun, Khanza. Kamu ini mau pinjam atau mau pilih barang obralan sih? Ini kenapa pakaian Abang di acak-acak begini!" Abang menahan tanganku saat ingin mengacak pakaiannya yang ada di tingkat paling atas.
"Bang, aku bingung harus pilih yang mana." Aku masih ingin membongkar pakaiannya.
"Stop Dek! Kamu ini kenapa bertingkah aneh begini sih?" tanya Abang penuh selidik.
"Eh, apaan? Enggak ada yang aneh, biasa aja. Aku hanya tidak tahu mana yang cocok buat Mas Yusuf," elakku tetapi jiwaku masih merasa tak tenang, berdebar saat membayangkan sosok pria itu.
"Ini pakaian Abang, tentu saja tidak cocok untuk dia, kalau mau pinjam sementara tidak ada masalah. Kalau kamu ingin yang cocok dan pas buat dia, sana kamu cari di mall atau di toko baju," ujar Abang tampak kesal karena ulahku yang pagi-pagi sudah merusuh dikamarnya.
"Ish, Abang kok gitu ngomongnya? Abang tidak ikhlas minjamin buat suami aku? Yaudah nggak usah!" Entah kenapa jiwa sensitifku keluar saat mendengar ucapan Abang, padahal aku sudah biasa mendengar Abang bicara seperti itu padaku, yang sebenarnya Abang begitu menyayangi aku adik perempuannya satu-satunya.
Aku menangis ingin keluar dari kamar Abang. Tetapi tanganku diraih olehnya. "Eh, jangan nangis dan ngambek gitu dong, Abang bukan tidak ikhlas, Dek. Cuma kamu itu sudah mengacaukan pakaian Abang," ujarnya sembari menahan aku untuk keluar.
"Ada apa ini?" tanya Bunda yang tiba-tiba masuk. Mungkin melihat pintu kamar Abang terbuka.
"Abang pelit, Bun, aku hanya ingin pinjam pakaian dia buat Mas Yusuf, karena Mas Yusuf tidak ada pakaian ganti, tetapi dia marahin aku. Hiks..." Aku menangis sembari memeluk Bunda.
"Ya ampun, bukan pelit Bun, aku sudah suruh Adek mengambilnya dilemari, tetapi dia mengacak semua pakaianku." Abang membela diri, memang benar sih kenyataannya begitu, tapi aku hanya tidak tahu selera suamiku.
"Udah jangan menangis lagi, Abang bukan pelit sayang, tapi apa yang dikatakan Abang memang benar, kenapa kamu harus mengacak pakainya? Apa salahnya mengambil dengan baik mana yang menurut kamu cocok buat suamimu."
Bunda membenarkan ucapan Abang. Aku melerai pelukan Bunda. Aku mengusap air mata. Bunda dan Abang menatap dengan heran.
"Katakan Sayang, apa yang membuat kamu melakukan hal itu?" Bunda mengusap rambutku dengan lembut.
"Aku hanya tidak tahu selera Mas Yusuf, Bun, aku takut dia tidak suka dengan pakaian yang aku pilihkan untuknya."
"Namanya juga pakaian pinjam, Nak, suka atau tidaknya ya terima saja, kan cuma sementara."
Aku hanya diam sembari menghirup air hidung yang ikut keluar saat aku menangis. Aku sudah seperti anak kecil. Bunda dan Abang masih menatapku dengan aneh.
"Bunda dan Abang kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku tak terima
Bunda hanya tersenyum sembari mencium pipiku. "Kamu kenapa, Nak? Apakah ini bawaan cucu Bunda? Atau pesona Papanya yang membuat Mamanya jadi tak menentu seperti ini?" tanya Bunda yang sepertinya sudah tahu apa yang aku rasakan.
"Ih, Bunda apaan sih?" Aku menyangkal ucapan Bunda dengan tersenyum malu.
"Nih, berikan buat suami kamu." Abang memberiku sepasang pakaian yang tadi tidak aku lihat ada di lemari itu. Aku menatap Abang ingin meminta penjelasan. "Ini pakaian baru, belum Abang kenakan, semoga saja cocok buat suami kamu. Udah nggak usah cengeng, udah punya suami masih aja manja dan cengeng." Abang menghapus air mata dan mengecup keningku dengan penuh kasih sayang.
Aku benar-benar terharu dengan kakak kembaranku ini. Dia begitu dewasa dan penuh pengertian. Aku memeluk Abang dan mengucapkan terimakasih.
"Terimakasih ya, Bang, lagian kenapa Abang tidak dari tadi memberikannya padaku. Jadi kan tidak perlu ada drama begini," rungutku tersenyum malu.
"Masih aja protes, udah sana berikan pakaian itu pada dia, jangan biarkan dia mati kedinginan karena menunggu istrinya yang cengeng penuh drama ini." Abang masih menggodaku. Bunda hanya tersenyum melihat aku dan Abang saling mengasihi.
"Yaudah, aku pamit balik ke kamar."
"Iya, tapi nanti jangan lupa pakaian Abang di rapikan Kembali," ujarnya meminta pertanggungjawaban ku.
"Sudah nanti Bunda minta bantuan Arumi untuk merapikan pakaian kamu," ujar Bunda menimpali.
"Hah? Nggak, nggak usah Bun, biar Bibik Santi saja." Tolak Abang cepat.
"Kenapa aneh sekali, Abang? Sama ibunya mau, tapi sama anaknya nggak. Kenapa? Perasaan Abang terganggu ya?" tanyaku menggoda Abang.
"Ish, apaan sih? Udah sana kamu pergi!" Abang mendorongku untuk keluar dari kamarnya.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Tapsir Tapsir
khanza istri yg baik
2023-06-21
2
Sugiharti Rusli
wah sepertinya ada sesuatu ni antara Khenzi sama Arumi jadi kepo deh
2023-03-18
0
shylia
ahhh sepertinya khanza dan mas yusuf otw bucin nih...ayo up lg ka dew ku tunggu karyamu yg the best ini👍👍😘
2023-01-09
2