Entah berapa lama aku duduk didalam kamar mandi dengan pikiran kosong. Aku mengelus perut datar ku, awalnya aku hanya menduga-duga tetapi kenyataan sudah berada didepan mata. Kini aku benar-benar hamil anak Mas Yusuf, Pria yang sengaja aku hindari beberapa bulan ini.
Dengan tertatih aku keluar dari kamar mandi, aku terduduk lemas diatas tempat tidur. Aku berbaring sembari mengusap perut datarku.
"Ternyata kamu benar-benar hadir disini, kenapa Dek? Aku bingung harus bagaimana?" Aku membawa bayi tak berdosa itu bicara, aku tahu ini bukan salahnya. Karena kejadian naas itu, kini ada nyawa hadir dalam rahimku.
Aku tidak tahu rencana Allah kedepannya seperti apa. Apakah ini bentuk perasaan yang hadir dalam hatiku, mungkin aku tak bisa memiliki Pria itu, tetapi Allah menitipkan bagian dirinya padaku.
"Kenapa ya Allah, kenapa engkau menitipkan bayi tak berdosa ini dirahimku? Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku bisa melewati semua ini? Aku benar-benar tidak tahu ya Rabb..."
Aku kembali menangis sesenggukan. Apa yang harus aku lakukan, aku tidak mungkin meminta tanggung jawab padanya. karena aku tidak mungkin menyakiti perasaan istrinya. Aku harus mengambil keputusan.
Ya, sepertinya aku harus pergi dari kota ini. Setidaknya hingga anak ini lahir. Aku tidak ingin membuat Papa dan Bunda malu. Jika orang-orang tahu aku hamil diluar nikah, maka pasti akan membuat harga diri Papa jatuh. Aku tidak tahu bagaimana hancurnya hati Bunda dan Papa jika mengetahui yang sebenarnya.
Tidak, aku tidak mau ini semua terjadi. Aku harus pergi jauh dari kota ini. Aku akan merawat dan menjaganya sendiri. Tak ada yang bisa aku perbuat, selain menyelamatkan nama baik keluarga. Aku tidak sanggup jika nanti Papa mendapat malu besar dengan semua ini.
"Jangan khawatir ya, Dek, kita akan hidup berdua. Mama janji akan memberikan semua kasih sayang dan cinta Mama hanya untukmu. Mama tidak menyesal Dek, jika kamu hadir dirahim Mama."
Aku menghapus air yang sedari tadi tak bisa berhenti. Kini ku bulatkan tekad untuk pergi menjauh, aku berharap ditempat baru aku bisa mendapatkan ketenangan.
Aku membawa tas selempangku, dan kumasukkan semua kartu kredit dan dompetku kesana. Aku sengaja tak membawa pakaian, agar Bunda tak curiga. Sebelumnya aku sudah memesan tiket pesawat melalui online. Penerbangannya diperkirakan Satu jam lagi.
Aku segera turun. Dengan perlahan aku menapaki anak tangga, dan memperhatikan sekeliling ruangan, ternyata tidak ada siapapun. Aku sedikit merasa lega.
Sesampainya di luar. Nafasku terasa hampir berhenti, orang yang selama ini sengaja aku hindari, kini dia berada dihadapanku, dan bahkan orang itulah yang telah menitipkan benih dirahimku.
"Mbak Khanza mau keluar?" tanyanya, dia menatapku begitu dalam. Andai saja dia tidak mempunyai anak dan istri. Mungkin saat ini juga aku sudah berhambur masuk kedalam pelukannya. Aku akan meminta pertanggungjawabannya. Sungguh batinku terasa begitu sakit. Sekali lagi aku sangat benci dengan air mata ini yang mudah sekali jatuh.
"Mbak, kenapa?" Dia kembali bertanya saat melihat aku menangis.
"Tidak apa-apa, Mas. Aku ingin keluar, mana Mas Yudi, aku ingin dia yang mengantarkan," ujarku sengaja menghindarinya.
"Maaf Mbak, Mas Yudi ada urusan keluarga, maka dari itu Bapak meminta saya untuk memberi penjagaan pada Mbak Khanza," ujarnya masih menatapku dengan dalam.
"Kalau begitu panggil ADC yang lainnya, aku tidak ingin diantarkan oleh kamu." Aku sengaja mengubah sikapku. Aura dingin aku perlihatkan agar dia menjauh dariku.
"ADC yang lain sedang mengantar Bapak dan Ibuk, ke acara pesta Pak agung, dan Mas Hakim sedang mengawal, Mas Khenzi."
Dia memberitahuku. Aku baru ingat ternyata hari ini pesta pernikahan anak Pak agung, yaitu rekan Papa di kepolisian. Lama aku terdiam, tidak ada lagi yang harus aku mintai untuk mengantarkanku.
"Kalau begitu aku naik taksi saja," ujarku mencari solusi sendiri.
"Tidak bisa, Mbak. Saya sudah diperintahkan untuk menjaga Mbak Khanza."
"Tapi aku tidak mau diantarkan oleh kamu."
"Mbak harus mau. Jangan sampai Mbak membahayakan nyawa sendiri."
Dia bergegas mengambil mobil didalam garasi. Tak berselang lama mobil itu sudah terparkir di Sampingku. Aku bingung harus berbuat apa. Mau tidak mau aku harus naik.
Entah kenapa aku memilih untuk duduk didepan, disampingnya. Aku ingin menatap dan mengamati wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Jujur hatiku begitu merindukan dirinya.
Diperjalanan aku hanya diam. Aku tak tahu harus bicara apa. Seandainya dia tahu saat ini aku hamil, apa yang akan dia lakukan? Ah, pertanyaan bodoh apa itu. Sudah pasti dia akan memintaku untuk menggugurkannya. Karena dia tidak mungkin mau anak dari wanita lain, selain istrinya.
"Mbak Khanza mau kemana?" Dia bertanya, karena sedari tadi aku tak mengatakan kemana tujuanku.
"Bandara," ujarku singkat.
"Bandara?"
"Iya."
"Mbak mau kemana?"
"Bukan urusanmu."
"Tapi, apakah Bapak dan Ibuk sudah tahu?"
"Sudah, kamu tidak perlu khawatir." Aku sengaja berbohong. Karena ini adalah keputusan yang aku ambil agar semua keadaan baik-baik saja.
"Saya akan telpon Bapak sekarang." Dia mengeluarkan ponselnya untuk menelpon Papa. Ini benar-benar diluar dugaanku.
"Apa yang kamu lakukan? Jangan hubungi Papa!" Aku meraih ponsel ditangannya.
Dia menginjak pedal rem. Tatapannya mengunciku. "Katakan, Mbak? Ada masalah apa?"
Aku menghela nafas berat, bagaimana mungkin dia menayangkan ada masalah apa. Tentu saja masalahnya ada pada dirinya. Aku menghapus air mataku yang sudah kembali jatuh.
"Mas Yusuf, aku mohon jangan beritahu Papa dan Bunda. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku pergi hanya sementara." Aku mencoba melunakkan bicaraku padanya. Berharap dia mau mendengarkan keinginanku.
"Saya tidak bisa Mbak. Saya tidak mungkin membiarkan Mbak Khanza pergi begitu saja tanpa pengawasan, diluaran sana banyak orang yang ingin berbuat jahat. Bagaimana jika nanti Mbak celaka."
Bahkan sekarang aku sudah celaka atas apa yang kamu lakukan, Mas. Aku harus pergi agar semua tak menanggung malu. Aku juga ingin menyelamatkan kamu.
"Mas, tolong ngertiin aku. Untuk kali ini saja. Aku benar-benar ingin butuh ketenangan!" Aku kembali meyakinkan dia.
Dia menatapku dengan tatapan sendu. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan. "Apa yang membuat Mbak merasa tidak tenang lagi tinggal dikota ini? Apakah karena kajadian malam itu?"
"Mbak Khanza, jika benar itu yang membuat hati Mbak tak bisa tenang, maka mulai saat ini aku sudah siap menerima hukuman itu Mbak. Ayo sekarang kita pulang, Mbak bisa bercerita semua pada Bapak dan Ibuk, agar hati Mbak tenang. Aku tidak akan pernah lari sedikitpun."
Kata-katanya membuat air mataku semakin luruh. Apa yang harus aku perbuat, haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Sungguh aku tidak sanggup melihat rumah tangganya akan berantakan.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Yuli Purwa
jujur aja Khanza drpd urusan nya jd tambah runyam🥺🥺 kali aja mas Yusuf mau,,,, ????
2023-10-12
1
Tapsir Tapsir
jujur itu lebih baik
2023-06-21
1
Sugiharti Rusli
ikut baper dan simpati atas apa yang Khanza alami dab pergolakan batinnya sekarang
2023-03-18
0