Di perjalanan aku tak ingin melihat wajah Pria itu. Sengaja pandangan ku alihkan keluar agar sedikit saja netraku tak bertemu dengannya.
Benci. Ya, itulah yang aku rasakan saat ini, aku sangat membenci Pria yang sedang mengemudi dihadapanku. Rasanya sudah tak sabar menunggu lusa kepulangan Papa dan Bunda.
Aku ingin Pria ini segera dihukum atas segala perbuatannya yang telah berani melecehkan aku. Dia benar-benar telah menghina harkat martabat keluargaku, terutama Papaku seorang jendral di kepolisian.
Saat aku masih larut dalam lamunan, tiba-tiba mobil yang aku tumpangi berhenti. Dia segera turun untuk memeriksa kendaraan roda empat itu. Aku melihat jam yang ada dipergelangan, ternyata aku sudah hampir terlambat.
"Mbak Khanza, mohon maaf mobilnya ada masalah, saya harus menelpon mekanik untuk datang," ujarnya yang berdiri sedikit merunduk di samping pintu tempat aku duduk.
"Yasudah, aku naik taksi saja."
Dia hendak membukakan pintu mobil itu untukku, tetapi, aku segera mencegahnya.
"Tidak perlu! Sudah kukatakan, jangan berlagak sok ramah dan baik padaku!" Aku segera membuka pintu mobil, segera keluar, lebih cepat tak melihat wajahnya itu akan lebih baik.
Saat kakiku hendak menapaki menunju pinggir jalan raya, aku mendengar ada seseorang memanggil Pria itu. Aku segera menoleh dan memperhatikan
"Mas... Aku kangen, kapan pulang?"
Aku melihat seorang wanita dengan perut yang membuncit memeluk Pria itu dengan mesra. Terlihat sekali dimatanya menyimpan kerinduan. Aku sudah bisa menebak bahwa dia adalah istri dari Pria itu.
"Mas, juga kangen banget sama kamu, sayang, tapi waktu piket belum selesai, kamu sabar ya." Dia mendekap tubuh wanita itu beberapa detik, setelah mengusap rambutnya dengan sayang.
Dasar lelaki tak bermoral, kau mengatakan rindu, tetapi apa yang telah kau lakukan kepadaku! Dasar lelaki baji ngan!
Aku memakinya dalam hati dan segera beranjak meninggalkan kedua orang itu. Aku pastikan dia akan mendapat hukuman berat.
Aku menggunakan jasa taksi untuk sampai ke RS. Diperjalanan mataku mulai memanas, cairan bening menetes di sudut mata, aku tidak tahu apa yang membuat hatiku begini.
Sesampainya di RS, aku segera mengikuti ujian yang di bimbing oleh seorang Dokter spesialis sesuai Sp yang aku ambil. Dokter Akmal. Dia begitu baik dan ramah. Jujur, sebenarnya kami sedang dekat. Tetapi, dengan apa yang telah terjadi pada diriku seakan harapan itu menguap begitu saja. Aku sudah tak punya keberanian untuk dekat dengan pria manapun.
Aku merasa masa depanku telah hancur, tidak ada lelaki yang mau menikah jika mereka tahu bahwa aku sudah tak suci lagi. Setelah selesai ujian, dan Dokter Akmal memberiku nilai yang cukup bagus, aku tak tahu apakah karena dia ada perasaan atau memang karena usahaku memang layak mendapatkannya.
Sore hari saat hendak pulang, tiba-tiba langkahku terhenti, Dr Akmal meraih tanganku. Pria itu menatap dengan dalam, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Aku hanya menunduk tak berani menatapnya.
Aku sudah tak mempunyai keberanian menatap mata teduh itu, merasa bahwa diri ini sudah tak pantas di sukai oleh Pria sebaik Dr Akmal.
"Khanza, ayo aku antar kamu pulang. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ucapnya sembari membimbing tanganku.
"Maaf, Dok, aku tidak bisa. Karena sudah dijemput," tolak ku dengan halus, aku mencoba mengalihkan perhatian, netraku bertemu dengan Pria yang sangat aku benci itu. Dia sudah standby menungguku.
Aku terpaksa ikut dengan Pria itu, daripada aku harus pulang diantar oleh Dr Akmal, aku tidak ingin membuat Dr Akmal menaruh harapan, karena aku sudah tak pantas untuknya.
Diperjalanan pulang, aku hanya diam sembari memejamkan mata. Tubuhku lelah, jiwaku goyah, merasa sudah tak bersemangat menjalani hari-hari. Cita-cita yang sebentar lagi aku raih, kini terasa hambar.
Mobil yang aku tumpangi kembali berhenti, padahal sudah dekat dengan kediamanku. Apakah mobil ini kembali rusak? Tetapi kenapa ajudan itu tidak turun?
"Mbak Khanza..."
Pria itu memanggilku. Kuberanikan diri untuk menatapnya melalui kaca kecil yang ada dihadapannya sehingga netra kami bertemu.
"Mbak Khanza, sekali lagi saya minta maaf, saya benar-benar tidak pernah berniat untuk kurang ajar terhadap diri Mbak Khanza, tapi sungguh malam itu saya tidak tahu kenapa tubuh saya beraksi setelah saya pulang dari luar. Saya hanya kumpul-kumpul dengan ADC yang lainnya, kami hanya minum kopi di rumah dinas yang ada di jalan xxx."
Dia mencoba menjelaskan padaku, tapi bagaimana mungkin aku bisa percaya begitu saja dengan ucapannya. Terlalu bodoh sekali jika aku harus percaya dan menerima alasan yang dia lontarkan.
"Apapun alasanmu, aku akan tetap melaporkannya pada Papa, kamu harus membayar segala perbuatanmu!" Tegasku dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ku alihkan pandangan dengan menatap keluar jendela, aku tak ingin hati ini menjadi luluh, sehingga dia bisa lepas begitu saja.
Lama Pria itu terdiam setelah mendengar ucapanku. Suasana di mobil begitu mencekam, hanya ada helaan nafas diantara kami.
"Aku siap segala hukuman yang harus aku terima, Mbak. Tapi, apakah aku boleh memohon agar Mbak Khanza memberiku waktu hingga istriku melahirkan. Biarkan aku bertemu dengan istri dan bayiku, untuk yang terakhir kalinya, Mbak Khanza tidak perlu khawatir, aku seorang polisi, aku tidak akan mungkin lari dari segala hukuman yang harus aku pertanggungjawabkan."
Seketika hatiku bagaikan diremat, Ingatanku tertuju pada wanita yang pagi tadi memeluk dirinya, apakah aku tega membiarkan bayi itu terlahir tanpa kehadiran ayahnya?
Kuhela nafas dalam, mencoba untuk menggunakan hati nurani. Aku seorang wanita, dan juga calon Dokter kandungan, tentu saja aku dapat mengerti bagaimana perasaan istrinya jika melahirkan tanpa kehadiran seorang suami. Rasa tak tega melipir dalam hatiku. Ah, aku benci sekali dengan hati yang selalu mudah luluh ini!
"Jalan!" Perintahku. Dia kembali mencuri tatapan padaku sebelum menjalankan mobilnya.
Sesampainya di rumah, aku segera naik kelantai dua menuju kamarku. Kuhempaskan tubuh yang terasa lelah, hatiku juga gundah. Ucapan permohonan Pria itu kembali terngiang-ngiang di telingaku.
Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benci dengan hati ini yang mudah sekali tidak tegaan, apa urusanku? Dia bisa bertemu dengan bayinya atau tidak. Yang jelas sakit hatiku terbalaskan.
Tapi kembali lagi hati nuraniku berkata lain, sungguh aku berada di sebuah kebimbangan. Aku dilema. Harus memilih yang mana, membalas perbuatannya kah? Atau membiarkan dia bebas dengan alasan kemanusiaan.
Aku tak tahu. Aku serahkan semua ini kepada Allah, biarkan semuanya berjalan, bila nanti hatiku tak sanggup berdamai. Maka disitulah rasa ibaku menguap.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak ya🙏🤗
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
❤️❤️Liu tie ❤️❤️
semangat khanza
2023-11-24
1
Yuli Purwa
sungguh pilihan yg sulit 😢😢😢
2023-10-12
0
🍁Dhita ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
saya suka sekali dengan cerita abdi negara.. bagus kak ceritanya .
2023-09-10
0