Lama aku menimbang dan berpikir hingga keputusanku sudah bulat untuk mendiamkan hal ini terlebih dahulu. Aku mencoba untuk tenang. Aku tidak tahu apa yang membuat hati ini tidak tega melihat dia mendapat hukuman.
Tapi, apakah aku harus merelakan begitu saja masa depanku hancur? Adakah orang yang akan mau menikah denganku? Ah, entahlah. Otakku terlalu lelah berpikir. Aku mencoba memejamkan mata.
Mungkin karena mataku lelah menangis sehingga sejenak saja aku sudah berada di alam mimpi. Tidurku begitu lelap, aku terbangun karena ada seseorang yang mengguncang bahuku.
"Dek, bangun! Ini masih sore tumben banget kamu tidur. Hei, ayo bangun!"
Dengan susah payah kubuka kelopak mata yang terasa masih sangat lengket, rasanya aku kesal sekali dengan orang yang membangunkan, apakah dia tidak tahu bahwa aku ingin lari dari kenyataan barang sejenak saja, aku tak ingin memikirkan masalahku yang terasa begitu berat.
Kubuka mata dengan lebar sembari berusaha mengembalikan kesadaran naik kepermukaan. Seorang Pria Tampan yang sangat mendominan diri Papa.
"Bang Khenzi! Kok Abang sudah pulang? Bunda dan Papa mana?" tanya ku, segera duduk.
"Papa dan bunda besok sampainya. Abang sengaja pulang lebih dulu, karena ada hal penting di perusahaan yang tak bisa Abang tinggalkan," ujarnya sembari duduk di sisiku.
Ya, dia adalah kembaranku. Kata Bunda dia lebih tua lima belas menit dariku. Tetapi, aku tetap memanggilnya Abang, dia juga cocok aku panggil Abang, karena dia jauh sangat dewasa dariku. Dia itu, penyabar, penyayang, pengalah,
Sedari kecil kami selalu bersama. Berbeda dengan Abangku yang pertama, kami tinggal terpisah, Bang Yanju tinggal bersama orangtuanya di kota Medan, kami satu Bunda tapi beda Papa. Tapi, Ayahnya Bang Anju, adik Papa, yaitu Om Yandra.
Terkadang aku bingung sendiri dengan hubungan mereka. Tapi yasudahlah, bukan urusan aku. Yang jelas keluarga kami rukun dan damai, tidak pernah ada perselisihan.
Sebenarnya Bang Yanju juga sangat baik, tetapi karena kami jarang bertemu, maka terkadang aku tak bisa selaluasa seperti dengan bang Khenzi.
"Hei... Ngelamun lagi. Mandi sana! Pasti belum mandi 'kan? Tuh mata kenapa sembab, kamu habis nangis?" tanyanya memperhatikan wajahku.
"Ish, apaan sih, Bang? Siapa juga yang nangis. Yaudah aku mau mandi, sana Abang keluar!" usirku sembari mendorong tubuhnya untuk keluar.
"Oke, nanti setelah mandi temani Abang bertemu dengan seseorang ya."
"Bertemu seseorang? Terus apa hubungannya dengan aku?"
"Abang ingin bertemu dengan seorang wanita, Tapi..." ucapnya menggantung. Aku sedikit curiga dengan tingkahnya.
"Tapi apa? Bisa jelas nggak ngomongnya?"
"Tapi, jujur Abang tidak berani menghadapinya sendirian."
"Hah! Emang wanita itu siapa? Musuh Abang? klien?" Aku masih bingung dengan ucapan Pria satu ini. Wajahnya berkeringat dingin. "Abang Kenapa? Demam?" aku meraba keningnya.
"Ihh, apaan sih kamu! Siapa juga yang demam." Dia menyingkirkan tanganku.
"Terus... Apa yang membuat wajah Abang seperti itu? Oh, atau aku bisa menebak. Jangan-jangan Abang..."
"Apa?" tanyanya menatapku ingin minta jawaban.
"Abang lagi jatuh cinta ya...? Hmm, ayo ngaku?" aku mencubit pipinya dengan gemas.
"Hehe... Cuma ingin kenalan dulu, Dek" jawabnya tersipu malu.
"Ya Allah, ternyata Abangku ini bisa juga jatuh cinta? Hahaha..." Sejenak aku bisa tertawa lepas mendapat hiburan dari Abang kesayanganku.
"Apaan sih kamu. Bukan dibantuin, malah di tertawakan," sungutnya sembari memasang wajah cemberut.
"Hmm... Jangan-jangan wanita itu alasan Abang untuk pulang terlebih dahulu dari Papa dan Bunda. Iya 'kan?"
"Eh, nggak kok! Memang benaran, ada urusan penting di kantor," elaknya, meskipun aku tahu faktor utamanya adalah itu.
"Iya, deh iya. Baiklah aku mandi dulu, habis itu aku temani Abang menemui calon kakak iparku," selorohku masih menggoda dirinya.
"Ish.. Udah sana mandi! Abang tunggu di bawah. Oya, hari ini ADC yang piket masih Yusuf?" tanyanya yang membuat hatiku kembali terusik saat mendengar nama Pria itu disebut.
"Dek, kok bengong?"
"Ah, ya. Masih dia. Yaudah aku mandi, sana Abang keluar!"
Setelah Bang Khenzi keluar, aku segera mengunci pintu kamar. Dadaku terasa sesak, rasanya aku sulit berdamai dengan keadaan ini. Bathinku terasa sakit saat bayangan kejadian malam itu tak pernah pergi dari benakku.
Sesulit inikah untuk berkorban? Aku sudah menjadi korban, tapi aku harus berkorban dengan alasan kemanusiaan demi istri dan bayinya.
"Ya ampun, Khanza, kenapa kamu begitu mudah luluh."
Aku segera masuk kedalam kamar mandi. Kucoba menenangkan pikiran dengan berendam di dalam bathtub, ku tuang sabun cair dengan aromaterapi bunga mawar.
Sedikit rileks. Aku berusaha untuk melupakan masalah yang ada. Setelah cukup lama berendam, aku segera menyelesaikan mandi. Tak butuh lama aku sudah rapi dan bersiap untuk pergi menemani Bang Khenzi.
"Udah siap? Lama banget!" rungut Bang Khenzi, terlihat diwajahnya gelisah.
"Kenapa gelisah begitu? Rileks my brother. Ayolah, wajahnya jangan tegang. Kalau begini bagaimana mungkin calon kakak iparku akan tertarik dengan Abang. Ih, kelihatan banget baru dekat dengan cewek, Makanya jangan kerja melulu. Untung aja nggak jadi kulkas dua pintu. Kaku, bin dingin."
Aku berusaha mengubah karakter bang Khenzi yang selama ini sangat kaku, untuk lebih santai dalam menghadapi seorang wanita. Aku melihat dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari nyengir mesem.
"Ya, terus gimana dong, udah bawaannya begini," ujarnya pasrah.
"Bukan gimana-gimana, Abang harus berubah, harus lebih santai dan cool. Kalau soal tampang nggak perlu khawatir, udah cucok keren dan Maco. Yang perlu di ubah adalah sikap dingin itu, harus lebih peka dalam menghadapi seorang wanita. Karena sejatinya wanita itu menggunakan perasaan, berbeda dengan lelaki, yang selalu menggunakan logika dan pikiran."
"Oke, baiklah. Adikku yang baik. Terimakasih sudah banyak membantu. Let's go. Kalau lama kuliah begini yang nungguin bisa jenuh dan akhirnya dia pulang, terus apa gunanya mulut kamu yang sedari tadi berbusa memberiku pengarahan," ujarnya yang membuat aku terpingkal.
"Hahaha... Baiklah, ayo kita pergi sekarang."
Saat tiba diluar, aku melihat dia yang berada di pos, segera berlari menghampiri kami. Aku segera mengalihkan perhatian. Tak ingin menatapnya.
"Mau, keluar Mas Khenzi?" tanyanya.
"Iya, Mas Yusuf. Antar kami ke Cafe xx, yang ada di jalan nangka, ya."
"Baik, silahkan Mas." Pria itu membukakan pintu untuk Bang Khenzi, dia menatapku, tetapi sepertinya dia sudah tahu bahwa aku tak ingin diperlakukan sama seperti bang Khenzi. Dia hanya merunduk, lalu masuk dan duduk di bangku kemudinya.
Aku membuka pintu mobil sendiri, dan segera duduk di kabin belakang. Bang Khenzi duduk di samping driver.
Di perjalanan, aku hanya diam sembari mendengarkan obrolan bang Khenzi dengan ajudan itu. Abangku begitu tampak ramah dan menghargai dia, itu semua karena Abang tidak tahu bagaimana prilaku Pria itu padaku.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 🙏🤗
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
guntur 1609
brti ni sambungan cerita arman ya. anaknya arman....
2024-02-23
1
Qaisaa Nazarudin
Oh Yusuf namanya..
2024-01-21
0
Qaisaa Nazarudin
Whhat hubungan yg rumit..
2024-01-21
0