Sudah satu minggu mas Yusuf dirawat, dan dinyatakan koma oleh dokter. Sore setelah mengurus segala keperluan izin praktekku di sebuah RS. Aku menyempatkan diri untuk mampir ke RS dimana Pria itu dirawat.
Kini aku selalu dijaga oleh dua ADC yang Papa khususkan mendampingi kemanapun aku pergi. Papa belum bisa menguak dalang penembakan itu, karena orang suruhan mereka yang berhasil di tangkap malam itu juga meregang nyawa di dalam lapas.
Kecurigaan Papa semakin kuat, bahwa ada jajarannya yang bekerja sama dengan mafia yang kini belum diketahui siapa, karena mereka sangat pandai bermain halus. Namun, Papa tidak akan pernah berhenti untuk mengusut kasus itu.
Setelah sampai, aku segera masuk kedalam ruangan dimana Mas Yusuf dirawat. Cuma ada Mamanya yang sedang duduk menunggu Putranya.
"Assalamualaikum...."
"Wa'alaikumsalam...."
"Bagaimana keadaan mas Yusuf, Bu?" tanyaku mendekati wanita baya itu.
"Dokter bilang, Alhamdulillah sudah banyak kemajuan, Dek," jawab beliau tersenyum ramah.
"Alhamdulillah... Oya, bagaimana keadaan Mbak Tiara dan bayinya?" tanyaku yang sudah mengetahui bahwa istrinya telah menjalani operasi Caesar dua hari yang lalu. Dan operasinya berjalan lancar meskipun tidak didampingi oleh sang suami.
"Alhamdulillah sudah pulang kerumah, bayi dan ibunya baik-baik saja," jawabnya sembari memberiku ruang untuk duduk.
"Alhamdulillah... Semoga Mas Yusuf juga segera pulih ya, Bu." Aku mencoba membesarkan hati sang ibu dari ajudan kepercayaan Papaku itu.
Cukup lama kami berbincang-bincang diruangan itu. Sesekali mataku memperhatikan tubuh lemah yang berada diatas ranjang. Entah kenapa rasa benci yang begitu besar, kini seakan memudar begitu saja.
Aku tak tahu, ada segelintir perasaan yang tak bisa aku utarakan saat menatap wajah tampan itu. Namun, cepat-cepat aku tepis. Jangan sampai otakku menjadi error'
Tidak, aku tidak boleh mempunyai perasaan apapun terhadapnya. Aku harus cepat membuang, jangan sampai dia tumbuh, tidak akan aku biarkan.
"Dek Khanza, Ibuk titip Yusuf sebentar ya, Ibuk mau sholat ashar sebentar ke mushola," ujar Ibu yang bernama Lilis. Aku sudah mulai mengenali satu persatu keluarga Mas Yusuf.
"Ah, ya Bu, biar Mas Yusuf saya yang jaga."
Bu Lilis segera mengambil perlengkapan ibadahnya yang ada di tas kecil terletak di dalam lemari di sudut ruangan itu.
Setelah beliau pergi. Aku masih termenung di sofa tempat semula aku duduk bersama ibu Lilis. Aku kembali mengalihkan pandangan tertuju pada tubuh yang masih terbaring lemah.
Aku berdiri dari duduk dan melangkah menghampirinya. Ku amati wajah pucat itu, kembali rasa bersalah hadir. Aku menghela nafas dalam, kursi besi disisi ranjang kutarik, lalu kutimpakan tubuhku disana.
"Mas Yusuf, cepatlah bangun. Apakah kamu tidak ingin melihat wajah anakmu? Aku janji Mas, jika kamu sembuh, aku tidak akan melaporkan kesalahanmu. Aku akan berusaha untuk melupakannya."
Mataku mulai memanas, setitik cairan bening menetes disudut pipi, namun cepat-cepat aku menghapusnya, meski sulit tetapi aku tak sanggup melihat dia harus menderita kembali. Biarlah aku mengorbankan masa depanku.
Entah kenapa perasaanku jadi tak menentu saat menatap wajahnya, perlahan tanganku terulur menyibak rambut hitamnya yang berantakan. Namun, aku tersentak saat melihat kelopak mata itu bergerak dan perlahan terbuka.
"Mas Yusuf!" Aku segera menarik tangan untuk menjauh darinya.
"Mbak Khanza!" Sepertinya dia juga kaget dan heran melihat diriku ada disampingnya.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar Mas. Apakah kamu baik-baik saja? Adakah yang sakit? Sebentar aku panggil Dokter ya." Aku segera ingin beranjak, tetapi pergerakanku terhenti.
"Mbak Khanza, tunggu!" Dia menarik tanganku dengan suara lirih.
Jantungku berdegup kencang, aku mencoba menatap mata sayu itu. "Ada apa, Mas?"
"Mbak, tolong maafkan kesalahan saya. Jangan membenci, saya berjanji akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan saya," ujarnya sembari menguatkan pegangan.
Aku menghela nafas dalam, dan menelan air liur yang terasa tercekat di tenggorokan. Kembali ku dudukki kursi itu, dan menghadap kepadanya.
"Mas, aku sudah memaafkan. Jangan pikirkan hal itu. Sekarang fokuslah dengan kesembuhanmu."
Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis, wajahnya tampak lega saat mendengar ucapanku. "Terimakasih ya Mbak. Aku janji tidak akan pernah lari dari hukuman yang memang pantas aku terima."
"Jangan bahas tentang itu lagi. Apakah Mas Yusuf tidak ingin bertemu dengan istri dan bayi kamu?" tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Tiara! Apakah istriku sudah melahirkan? Dimana istri dan anakku?" tanyanya baru saja teringat kedua orang yang disayanginya.
"Alhamdulillah, Mbak Tiara sudah melahirkan, Ibu dan bayinya baik-baik saja."
"Alhamdulillah ya Allah. Dimana mereka sekarang, Mbak? Apakah aku boleh bertemu dengan mereka?"
"Mereka sudah pulang. Mas Yusuf fokuslah dengan kesembuhan, agar cepat pulih dan bisa bertemu dengan mereka."
Aku mencoba menyemangati agar dia segera sembuh. Dia kembali menatapku dan tersenyum bahagia. "Mbak Khanza, terimakasih ya."
Aku mengangguk membalas senyuman itu, tanpa aku sadari tanganku dan tangannya masih bertaut. Secepatnya aku melepaskan.
"Ah, maaf, Mbak." Aku dan dia hanya tersenyum kaku.
Kami berbincang-bincang mengenai kejadian penembakan malam itu. Mas Yusuf juga tak dapat melihat jelas siapa orang yang telah menembak.
Banyak obrolan diantara kami. Walau canggung masih terasa. Sesekali tatapan kamu bertemu, aku berusaha untuk membuang segala perasaan yang menurutku sangat tidak pantas itu.
Tak berselang lama, Bu Lilis masuk kedalam ruangan itu. Dia segera menghampiri kami. Seketika wanita itu mengucapkan syukur tak terkira atas sadar Putranya.
Tampak Bu Lilis mengeluarkan air mata. Aku memberi ruang untuk Bu Lilis berbicara dan melepaskan rindu pada anaknya.
"Bu, Mas Yusuf, aku pulang dulu ya. Semoga cepat pulih. Nanti akan aku sampaikan kabar baik ini pada Papa dan Bunda."
"Terimakasih banyak atas kunjungan ya, Dek Khanza. Sampaikan salam Ibu, untuk Bapak dan Ibuk," ujar Bu Lilis.
"Baik, Bu, akan saya sampaikan."
Aku segera keluar dari ruangan itu. Di perjalanan pulang aku terus tersenyum, aku sangat bahagia, setelah beberapa hari ini membuat aku tak bersemangat melakukan apapun, karena mengingat Pria itu belum juga sadarkan diri.
Setibanya dirumah, aku segera menemui Bunda, untuk menyampaikan kabar baik itu.
"Bik, Bunda mana?" tanyaku pada bibik.
"Bapak dan Ibuk, ada di taman belakang, Mbak." Bibik memberitahu dimana Bunda dan Papa.
Segera langkahku menuju dimana kedua orangtuaku berada. Aku melihat Papa berbaring, kepalanya berada di atas pangkuan Bunda, dan tangan Bunda senantiasa membelai rambut Papa. Sungguh cinta yang begitu sempurna.
Sesaat aku tertegun melihat kedua orangtuaku yang masih begitu mesra di usia mereka yang tidak lagi muda. Apakah aku bisa mendapatkan cinta seperti mereka? Tapi siapa lelaki yang ingin menikah denganku? Siapakah lelaki yang mau menerima segala kekuranganku.
Aku hanya tersenyum hambar. Aku mencoba untuk tetap tegar, aku benci sekali dengan air mata yang begitu mudah jatuh.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Tapsir Tapsir
Allah sja mha memaafkan..masa kita umatnya tidak bisa..
2023-06-21
3
Sugiharti Rusli
sepertinya sang bunda belum pernah cerita ya ke anak" nya tentang masa lalunya yang kelam sebelum ketemu papanya
2023-03-18
0
Roslina Dewi
semoga Khanza ga hamil..koq nasibnya sm kyk bunda-nya dl ya
2023-01-05
6