Sudah cukup lama kami menunggu operasi itu selesai, Aku melihat waktu di pergelangan, ternyata sudah hampir dua jam Pria itu berada dalam ruangan yang mempunyai lampu emergency itu. Akhirnya Dokter keluar. Kami segera menanyakan kondisi Mas Yusuf.
"Dok, bagaimana keadaan pasien?" tanya Abang mewakili kami semua.
"Operasi pengangkatan peluru sudah selesai, tetapi keadaan pasien masih kritis. Karena peluru masuk ke rongga tulang rusuk, dan mengenai organ vital, yaitu paru-paru. Kami sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik. Kita hanya menunggu campur tangan Tuhan. Bila semangat hidup pasien kuat, semoga bisa melewati masa kritisnya."
Aku terduduk lemas sembari membekap mulut saat mendengar penjelasan dari Dokter bedah itu. Air mataku kembali luruh, Dan aku menatap wanita itu menangis histeris dalam pelukan orangtuanya.
Ya Allah, aku mohon selamatkan dia. Tolong biarkan dia hidup ya Rabb. Biarkan dia memenuhi keinginannya untuk menemani istri dan menyambut kelahiran anaknya.
Aku mencoba merayu sang khalik, berharap Do'a wanita sepertiku bisa dikabulkan. Hanya kepadaNya tempat kami meminta dan mengadu.
Aku menghapus air mata yang masih setia menetes. Jangan ditanya bagaimana perasaan dan kondisiku saat ini. Pakaian yang aku kenakan telah berganti warna, noda darah Pria itu masih menguar di Indra penciuman. Rambutku sudah acak-acakan, dan wajahku terasa lengket karena air mata yang tak berhenti menetes.
Aku hanya berharap Pria yang kini sedang berjuang mempertahankan hidupnya itu bisa selamat dari maut yang kini sempat menghadang.
Rasanya aku tak sanggup memaafkan diriku sendiri bila terjadi sesuatu pada Mas Yusuf, mungkin aku belum bisa melupakan kejadian dimalam itu apa yang telah dilakukannya padaku. Kejadian nista itu masih berputar dalam benakku bagaikan memutar sebuah rekaman. Namu, aku tak bisa membencinya karena dia telah berkorban menyelamatkan nyawaku.
Aku juga masih mengingat bahwa malam itu dia mengatakan tidak tahu apa yang membuat dirinya sampai mengalami hal sedemikian. Apakah ada seseorang yang sengaja melakukannya? Adakah teman sesama ADC yang sengaja menjebak dirinya?
Hatiku benar-benar gundah. Bayangan saat dia memohon maaf kepadaku dan memintaku untuk memberinya waktu, sungguh membuat hatiku semakin sedih dan merana.
Kini Dokter telah memindahkan Mas Yusuf di kamar rawat. Aku melihat banyak alat medis yang terpasang di tubuh yang biasanya tegap, kini tak lagi berdaya.
Kami tidak diperkenankan menjenguk terlalu ramai. Maka, kami harus secara bergantian untuk membesuk kedalam ruangan itu. Kami membiarkan istri dan keluarganya untuk terlebih dahulu menjenguk.
Aku masih setia berada di RS. Walaupun Abang sudah berulang kali memintaku untuk pulang, tapi aku masih belum bisa meninggalkan Pria itu, sebelum aku mendengar kabar baik darinya.
Jam dua dini hari, aku melihat Papa dan Bunda sudah berada di RS. Ya, setelah mendapat kabar dari Abang, mereka langsung mengambil penerbangan malam. Setelah sampai di kota Padang, Bunda dan Papa langsung menuju RS untuk mengetahui kondisi ajudan kepercayaannya itu.
Papa segera menghampiri aku, dan segera memelukku. Mungkin Papa masih sangat takut hal buruk terjadi padaku, karena dia mendapat kabar ada orang yang sengaja ingin mencelakaiku.
"Apakah kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Papa sembari mengecup keningku. Papa memang sangat menyayangi kami anak-anaknya, sehingga beliau selalu memberikan kami penjagaan yang ketat. Mungkin Papa sangat tahu resiko seorang penyidik, tentu saja banyak diluaran sana musuh-musuhnya yang berniat ingin membalas sakit hati atas kebenaran yang berhasil Papa kuak di muka pengadilan.
"Alhamdulillah Pa, aku baik-baik saja. Tapi, Mas Yusuf..." Tangisku kembali pecah.
Papa mengusap kepalaku. Dia tahu aku merasa bersalah atas apa yang menimpa pada diri ajudannya. "Tenang ya, dia pasti baik-baik saja." Papa melerai pelukannya, dan segera menuju ruang rawat Mas Yusuf, untuk membesuknya.
Aku segera menghampiri Bunda dan kembali menangis dalam pelukannya. Bunda berusaha menenangkan aku. "Tenanglah, Nak. Semua akan baik-baik saja."
"Bun, Dokter bilang kondisi Mas Yusuf masih kritis. Aku takut terjadi sesuatu padanya, Bun. Hiks... Dia sudah berkorban menyelamatkan nyawaku," lirihku dalam dekapan Bunda.
"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kita sama-sama berdo'a, semoga Yusuf segera melewati masa kritisnya. Apakah kamu sudah membesuknya?" tanya Bunda melerai pelukan, dan menghapus air mataku.
Aku menggeleng, aku masih belum punya keberanian untuk melihat kondisinya, dan aku melihat istrinya masih setia menemani, jadi aku tak ingin mengganggu waktu mereka.
"Ayo kita jenguk Yusuf kedalam. Abang mana?" tanya Bunda yang tak melihat kembaranku.
"Abang cari minum di kantin, Bun," ujarku. Tadi Abang berusaha membawaku ikut bersamanya, tetapi entah kenapa aku tidak minat apapun selain ingin tetap disini. Terpaksa Abang meminta kepada dua ajudan untuk menjagaku.
Aku dan Bunda ikut masuk keruang rawat Mas Yusuf. Aku melihat Papa memberi semangat kepada istrinya Mas Yusuf, agar wanita hamil itu tetap sabar dan kuat. Papa juga membawa kedua orangtua ajudannya itu ngobrol, Papa tahu mereka semua sangat berduka atas apa yang menimpa pada Putra mereka.
Bunda juga ikut mengucapkan prihatin atas segala yang menimpa pada Pria itu. Bunda berusaha menenangkan istrinya yang kembali menangis dalam pelukan Bunda. Aku hanya bisa mengamati acara mengharu biru itu.
Aku mengamati segala alat pengukur jantung dan nafas yang terpasang di tubuh Pria itu. Sebagai seorang Dokter, aku tahu bahwa alat itu mendeteksi begitu lambat, itu bertanda Mas Yusuf memang dalam keadaan kritis.
Perlahan tapi pasti, aku mendekati isterinya yang duduk disamping Bunda. Sesekali wanita hamil itu mengusap air matanya. Aku menelan air liur, tetapi tercekat di tenggorokan, karena bercampur dengan tangis yang ingin aku keluarkan.
"Mbak, sabar ya, aku yakin Mas Yusuf pasti bisa melewati ini semua, maafkan aku yang telah membuat Mas Yusuf celaka." Aku meminta maaf kepada istrinya, seharusnya aku tidak perlu se merasa bersalah begini. Karena itu semua sudah resikonya menjadi seorang polisi dan bertugas sebagai ajudan perwira tinggi untuk melindungi keluarganya.
Tetapi Kembali lagi, hati nuraniku tak bisa menganggap wajar hal itu. Aku sangat merasa bersalah atas apa yang menimpa dirinya. Apalagi aku melihat istrinya yang sedang hamil besar, dan sebentar lagi akan melahirkan. Tentu saja wanita itu sangat membutuhkan kehadiran suaminya untuk selalu ada mendampinginya dalam menjalani proses persalinan.
"Tidak perlu merasa bersalah, Mbak. Ini semua bukan kesalahan, Mbak." Wanita itu memegang tanganku.
Aku membalas menggengam tangannya. Kupeluk tubuhnya dan ku usap perut buncit itu dengan perlahan. Do'ain Papa kamu cepat pulih ya, Dek. Ujarku dalam hati, membawa bayi dalam perut ibunya untuk bicara.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Wooww kota Padang thor??👍👍
2024-01-21
1
Tapsir Tapsir
sedih dan terharu
2023-06-21
0
Sugiharti Rusli
sedih juga yah melihat kondisi mereka, ada dilema juga jadinya seperti Khanza
2023-03-18
0