Sekujur tubuhku bergetar, kaki terasa lemas saat melihat darah mengucur deras dari punggung ajudan yang aku benci itu. Kini kemeja yang dia kenakan sudah basah dengan cairan yang berwarna merah.
"Mas Yusuf!" Aku berteriak saat tubuh tegap itu jatuh merosot. Aku mencoba menahannya agar tak jatuh ke lantai kasar di area parkir.
Aku mengangkat kepalanya dan meletakkan di atas pangkuan. "Mas, bertahan ya. Kita akan ke RS sekarang. Tolong...!" Aku meminta tolong pada orang-orang yang ada disana, mereka tak ada yang berani menolong.
"Khanza, apa yang terjadi? Mas Yusuf Kenapa?" tanya Abang tak kalah panik.
Aku sudah terisak-isak. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu pada dia. "Bang, ba-bawa, Mas Yusuf, ke-kerumah sakit dulu... Hiks." Aku sangat sulit untuk berbicara menjelaskan kronologinya, aku hanya ingin dia bisa diselamatkan terlebih dahulu.
"Baiklah!" Abang segera mengambil kendaraan yang ada diparkiran. Semua orang tak ada yang berani mendekat. Hanya aku dan bang Khenzi, juga kak Rayola yang kelabakan.
Aku menangis begitu takut, dia menatapku sayu. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. "Mbak Kha-khanza, Ma-maafkan saya, Mbak," lirihnya masih dengan mata sayu sembari menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Aku mengangguk secepat mungkin. Seakan aku lupa dengan masalah itu. "Kamu jangan pikirkan soal itu, Mas. Aku sudah memaafkan," lirihku, tanpa sadar tanganku telah mengusap rambutnya yang hitam legam.
Tak berselang lama mobil sudah terparkir disamping tempat aku masih memeluknya. Kami meminta salah seorang untuk membantu mengangkatnya naik keatas mobil. Aku ikut masuk dan kembali menjadikan kedua pahaku untuk bantalan kepalanya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Disepanjang perjalanan ke RS, aku berulang kali memeriksa nadinya yang sudah melemah. Namun, disaat sekarat seperti itu, dia masih bisa meminta Bang Khenzi untuk menghubungi ADC yang lainnya, agar memberi penjagaan untukku dan Bang Khenzi.
"Mas, to-tolong se-segera telpon ADC ya-yang lainnya. Mi-minta mereka be-berjaga." lirihnya dengan suara bergetar
Sunyi, mencekam, aku tak mendengar lagi rintihan dan erangan yang keluar dari bibirnya. Seketika aku kembali memeriksa. Nadinya sangat lemah dibawah 30 bpm.
"Abang ayo cepat, Bang! Nadinya sangat lemah!" Ujarku meminta Bang Khenzi untuk menambah kecepatan mobilnya.
Kini pakaianku sudah basah dengan cairan berwarna merah yang masih mengalir dari punggung Mas Yusuf. Aku menatap wajah pucat tak berdaya itu berada dalam pangkuan. Kembali air mataku mengalir.
Entah kenapa hatiku terasa begitu pilu. Apakah hanya karena merasa berhutang Budi? Atau ada hal lain yang membuat kecemasanku tidak normal begini, seakan aku begitu takut kehilangannya.
Aku mendengar Abang menelpon ADC yang lainnya untuk segera datang ke RS, untuk memberi penjagaan kepada kami. Setelah itu Abang juga menghubungi Papa, memberitahu apa yang telah terjadi.
Kembali ku amati wajah tampan yang sudah tak beraksi itu. Hanya ada helaan nafas lemah, sekelabat rentetan peristiwa sebelum kejadian itu, membuatku merasa bersalah. Aku selalu mengancamnya untuk mendapatkan hukuman.
Tapi lihatlah sekarang, dia sudah mendapatkan hukuman itu, semua yang terjadi tak lepas demi menyelamatkan nyawaku. Dia rela berkorban menukar nyawanya demi melindungiku.
Tidak, bagaimana jika dia tak bisa diselamatkan? Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya.
Tanpa sadar aku menangis tergugu sembari memeluknya. "Mas bertahanlah." Lirihku hampir tak terdengar.
Aku tak tahu bagaimana Abang dan kak Rayola memandang kecemasanku saat ini. Aku sudah tak peduli lagi. Mungkin kecemasanku ini dianggap tidak wajar terhadap seorang ajudan. Tapi, aku benar-benar merasa bersalah dan berhutang Budi.
Aku tidak tahu bagaimana nasib istri dan anaknya nanti, bila terjadi sesuatu padanya. Aku benar-benar takut. Bahkan keinginan untuk mendampingi istrinya melahirkan tak terwujud. Ini semua demi melindungiku.
Tak berselang lama mobil yang dikendarai oleh Bang Khenzi sudah masuk ke halaman Rumah Sakit. Petugas RS segera mendorong brankar dan membantu menurunkan Mas Yusuf.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya petugas RS.
"Tolong, Dok, korban terkena tembakan." Abang menjelaskan apa yang terjadi pada pasien. Sepertinya dokter paham mereka segera membawa Mas Yusuf untuk menuju ruang operasi.
Aku masih mengikuti langkah petugas yang mendorong brankar. Ku amati wajah itu sebelum masuk kedalam ruang operasi.
"Mohon menunggu. Kami akan segera mengambil tindakan," ujar Dokter meminta kami menunggu dengan tenang.
Aku duduk dengan gelisah. Abang duduk disampingku dan meraih tubuhku untuk membawa masuk kedalam dekapannya. Kembali tangisku pecah.
"Abang, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Dia sudah menyelamatkan aku. Aku benar-benar takut, Bang..." Kupeluk tubuh abangku demi mencari ketenangan sedikit saja, agar bathinku tak semakin terguncang.
"Tenang, Dek, kita berdo'a ya, semoga Mas Yusuf, bisa melewati masa kritisnya." Abang mengusap punggungku dengan lembut. Aku sedikit tenang.
Tak berselang lama dua orang ajudan datang menghampiri kami, dan di ikuti dua orang polisi berpakaian dinas ikut menjaga. Mungkin mereka Papa yang memerintahkan.
Mereka mencoba menanyakan kronologi kejadiannya. Aku kembali mengingat kejadian singkat itu.Terasa begitu cepat, tetapi aku sempat melihat kedua lelaki yang menggunakan kacamata hitam dan bertopi keluar dari mobil saat ban mobil mereka kempes karena di tembak oleh Mas Yusuf.
"Apakah Mbak Khanza mengenali orangnya?" tanya salah seorang ADC padaku.
"Aku tidak bisa melihat wajah mereka,Mas. Karena begitu samar dan di tutupi oleh topi yang mereka kenakan." Aku mencoba mengingat kembali dengan detail. Tetapi tak banyak petunjuk yang aku berikan.
Beruntungnya mobil yang mereka gunakan, kini sudah diamankan oleh petugas kepolisian. Cukup lama kami berbincang di ruang tunggu, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan di ikuti beberapa orang yang menemaninya. Wanita itu menangis histeris sembari membawa perut buncitnya berlari menghampiri kami.
Ya, dia adalah wanita yang tempo hari memeluk Mas Yusuf. Semua perhatian kami teralihkan kepadanya. Wanita itu menghampiri Abang yang berdiri tak jauh dariku.
"Mas Khenzi, bagaimana keadaan suami saya? Apa yang terjadi?" tanyanya berurai air mata.
Aku tak kuasa menahan haru, tanpa diminta air mataku ikut menetes. Aku juga seorang wanita, tentu dapat merasakan bagaimana takut dan cemas hatinya.
"Mbak, tenang ya. Mas Yusuf sedang menjalani operasi pengangkatan peluru. Kita berdo'a bersama, semoga Mas Yusuf baik-baik saja." Abang berusaha menenangkan wanita itu.
Ya, sepertinya Abang cukup mengenal wanita itu. Karena Abang memang terbilang dekat dengan Mas Yusuf. Berbeda denganku, aku baru beberapa bulan ini mengenalinya. Karena selama ini aku kuliah diluar negeri, hingga Koas aku juga di luar negeri. Namun, atas permintaan Papa dan Bunda, aku harus menyudahi masa kos di RS asal.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak ya sahabat yang Budiman, biar author semangat Update. Kalau sempat nanti malam update lagi ya 🙏🤗😘
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Tapsir Tapsir
sangat menyedihkan
2023-06-21
1
Sugiharti Rusli
miris juga ya sama nasib Yusuf dan istrinya sudah jatuh tertimpa tangga oula, pasti akan ada hikmah di setiap kejadian
2023-03-18
0
YuWie
bunga untuk mas yusuf
2023-02-22
0