Perlahan tapi pasti, aku kembali keluar dari RS, setidaknya aku bisa melihat bahwa dia sudah baik-baik saja. Kutanamkan niat dihati untuk tidak lagi memikirkannya. Biarkan dia bahagia bersama keluarga kecilnya.
Setibanya di rumah, aku segera masuk kedalam kamar. Sesaat aku masih mengingat bagaimana dia tersenyum bahagia bersama istrinya. Ah, perasaan bodoh apa ini, sudah pasti dia tak pernah ada memikirkan perasaanku.
Aku tahu permintaan maaf yang selalu dia lontarkan, itu tak lepas dari rasa bersalahnya padaku, dan kenapa dia rela berkorban menyelamatkan aku, itu karena kewajibannya sebagai ajudan.
Jika kewajibannya hanya semata karena ajudan, tapi kenapa dia rela masang badan? Seharusnya dia cukup membalas menembak orang itu tanpa harus mengorbankan dirinya.
Aku masih memikirkan hal-hal yang seharusnya tak perlu aku pikirkan. Apakah aku berharap darinya ada sedikit perasaan yang sama. Hng! Kenapa kamu ini Khanza? Come on Khanza. Berpikirlah secara sehat.
Tidak! Aku tidak ingin larut dalam perasaan bodoh ini. Okey, ayo Khanza. Mulai sekarang berhenti memikirkan dia. Ayo fokus dengan urusanmu.
"Bismillah, ya Allah. Aku mohon tolong hapus dia dari ingatanku."
Aku berusaha keras untuk keluar dari perasaan salah ini. Ya, aku pasti bisa. Aku tak perlu lagi menemui dirinya atau mencari tahu kabar tentang dia. dan aku akan berusaha agar tak lagi bertatap muka. Aku rasa hal ini akan lebih baik untuk kesehatan batinku.
***
Semenjak hari itu, aku memang tak lagi mengetahui tentang dirinya. Karena Papa sengaja memintanya istirahat beberapa bulan agar benar-benar pulih pasca operasi pengangkatan peluru yang sempat mengenai organ vital dalam.
Aku sudah merasa cukup lega, perasaanku sudah mulai tenang. Perlahan aku sudah mulai bisa berdamai dengan keadaan. Hari-hari memang sengaja kuhabiskan dengan pekerjaanku di RS.
Sore ini aku merasa pusing, kepalaku berdenyut pening, tetapi aku masih tetap berusaha untuk konsisten dalam mengemban tugas. Aku masih memeriksa setiap pasien-pasienku yang sudah antri di ruang tunggu.
Saat aku ingin memeriksa pasien berikutnya. Perutku terasa mual. Aku mencoba menahannya. Tetapi aku tak mampu karena perutku rasa di aduk-aduk.
Aku segera berlari ke kamar mandi yang ada di dalam ruang praktekku. Ku keluarkan segala sisa makanan yang sudah menumpuk di tenggorokan.
"Uueekk... Uueek!"
"Bu Dokter kenapa?" tanya seorang perawat pendampingku.
"Mungkin saya masuk angin Sus. Sebentar lagi juga reda," jawabku segera membersihkan sisa cairan yang keluar dari mulut.
Setelah cukup tenang, aku kembali memeriksa pasienku yang sudah duduk menunggu di kursi depan mejaku. Karena anak pertama, maka aku menjawab segala keluhan yang dia kemukakan.
"Ada lagi keluhannya Ibu?" tanyaku berusaha tetap mengukir senyum. Terlihat sang pasien begitu lemah, karena mengalami mabuk berat.
"Saya capek, Dok. Harus muntah terus, tidak ada makanan yang bisa masuk." Keluhnya dengan suara lirih.
"Kehamilan di trimester pertama memang hal yang wajar, Bu, apalagi ini anak pertama. Ibu harus usahakan untuk minum susu hamil, agar ada tenaga. Ya, Bu. Nanti setelah melewati tiga bulan, maka akan kembali normal. Paham ya, Bu?"
"Baik, Dok. Saya juga ingin menanyakan keluhan saya yang lainnya, Dok."
"Silahkan, apa itu Bu?" tanyaku mencoba mendengarkan keluhannya.
"Hamil saya ini banyak keputihan, Dok."
"Oya, keputihan seperti apa itu. Lendir atau berupa tepung?"
"Seperti tepung itu, Dok."
"Oh, begitu ya. Pasti gatal sekali ya, Bu? Sebelumnya di Dokter yang lain sudah ada di kasih obat belum, Bu?"
"Sangat gatal, Dok. Belum pernah diberi obat, Dok."
"Baiklah, nanti saya berikan obatnya, tetapi obatnya berbentuk tablet, cara pakainya. Maaf, sebelumnya. Ibu cuci tangan dengan bersih, terus dimasukkan ke vag *na."
"Baik Dok." Dia mengangguk paham.
"Baik, tanggal berapa terakhir Ibu haid?" tanyaku pada sang pasien. Saat menanyakan hal itu, aku teringat pada diriku sendiri yang sudah hampir dua bulan ini tak datang haid.
Seketika tubuhku terasa kaku. Rasa takut dan cemas bergelayut dalam hati. Aku berusaha tetap tenang. Ini urusan pekerjaan, aku tidak boleh membawa urusan pribadi kesana. Aku harus selesaikan pekerjaanku terlebih dahulu.
Setenang dan konsisten aku dalam mengemban tugas, namun tak bisa dipungkiri, rasa cemas dan takutku tetap bersarang dalam hati. Aku berusaha untuk secepat mungkin menyelesaikan tugas sore ini. Rasanya sudah tak sabar agar antrian pasienku cepat selesai.
Akhirnya aku bernafas lega setelah suster mengatakan bahwa pasien yang aku periksa adalah yang terakhir. Aku segera mengambil tas kerja, dan kubuka sebuah kotak di dalam lemari yang ada diruang praktek. Kuambil Beberapa tespeck dengan berbagai macam jenis. Kumasukkan kedalam tas.
Aku segera undur diri dari perawat yang masih menyelesaikan tugasnya. Setibanya di lobby, aku sudah ditunggu oleh ADC. Aku segera masuk dan duduk di kabin belakang. Disepanjang perjalanan aku hanya diam. Perasaanku benar-benar resah dan gelisah.
Bermacam pikiran buruk terlintas dalam benakku. Berharap apa yang sedang aku cemaskan tidaklah benar. Rasanya aku ingin meminta sang driver untuk menambah kecepatan mobilnya, aku sudah tak sabar agar segera sampai dirumah.
Beberapa menit setelahnya, mobil telah menepi di halaman rumah, aku segera turun tanpa bicara sepatah katapun. Aku melangkahkan kaki menuju lantai dua. Tetapi langkahku terhenti saat Bunda dan Abang menghadang.
"Sudah pulang, Nak? Kenapa wajah kamu pucat begitu? Apakah kamu demam?" tanya Bunda yang seketika meraba dahiku.
"Tidak, Bun, aku hanya lagi capek saja," jawabku mencoba untuk tersenyum seperti biasanya.
"Dek, kita nonton yuk? Abang tadi sudah beli tiket, ada film bagus lho." Abang ikut memotong pembicaraan aku dan Bunda.
"Maaf ya, Bang, aku lagi lelah. Pengen istirahat. Abang bawa kak Rayola saja," ujarku menolak ajakan Abang.
"Dia lagi sibuk, Dek, makanya Abang ajak kamu. Tadinya tiket ini memang untuk dia," ujar Abang dengan wajah kecewa.
"Udah nggak usah murung begitu. Kalau kak Yola sibuk, Abang harus bisa ngertiin dia dong. Kalau sayang tiketnya sia-sia, ajak saja anaknya bibik Santi. Cantik lho Bang, iya 'kan Bun?" tanyaku minta pendapat Bunda. Karena pagi tadi aku melihat anak Bibik Santi datang dari kampung menemui ibunya. Dia sangat cantik dan sangat ramah.
Abang menatapku dengan tatapan malas. Bunda hanya tersenyum melihat wajah kesal Abang. Aku terkekeh dan segera menapaki anak tangga menuju lantai dua.
Setibanya di dalam kamar, aku segera mengunci pintu, ku keluarkan tespeck yang tadi aku bawa dari RS. Aku segera masuk kekamar mandi.
Dengan perasaan was-was dan gelisah, aku mencelupkan benda-benda pendeteksi kehamilan itu kedalam urine yang telah aku tampung.
Sekali lagi takdir sedang mencoba mempermainkan. Aku hamil. Kembali aku mengamati bermacam merek benda pengukur kehamilan itu di tanganku. Semua sama, garis dua tampak jelas. Segera aku lempar tespeck itu, sehingga berceceran dilantai.
Aku luruh dilantai kamar mandi, kulipat kedua lutut dan kutenggelamkan wajahku disana. Aku menangis sesenggukan.
Kenapa? Kenapa harus seperti ini ya Allah?
Bersambung.....
Jangan lupa dukungannya ya 🙏🤗
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah kan ku bilang juga apa,Hamil kan Kanza..
2024-01-21
0
Yuli Purwa
hamidun,,, kenapa dr awal setelah kejadian ga minum pil KB Khanza
2023-10-12
0
Tapsir Tapsir
hamil itu rejeki yg kebanyakan orang tunggu2..
2023-06-21
0