“Serang!!!”
“WAIT!!!”
Sebuah suara keras di belakang Irzal terdengar dan menghentikan preman itu untuk menyerang. Seorang pemuda berjalan mendekat kemudian berhenti tepat di samping Irzal. Dia mengedipkan matanya pada pria tampan yang tengah digadang-gadang oleh kakeknya akan dijadikan cucu menantu.
“Siapa kamu?”
“Lo nanya?” balas Zar dengan gaya seperti di tiktok.
Irzal sedikit menyunggingkan senyuman melihat gaya tengil Zar. Sepertinya pria itu juga sudah mendapatkan kabar perihal Aidan yang ditahan oleh para preman ini. Zar melipat kedua tangan di depan dada, melihat pada Bontot dengan pandangan mengejek.
“Gue merasa tersinggung karena lo cuma ancem dia doang. Apa bos lo ngga bilang kalau ini bukan proyek Humanity aja, tapi ada Das Archipel juga. Jadi come on, kasih gue penawaran juga dong.”
“Banyak bacot lo. Mau lo apa?”
“Lepasin Aidan.”
“Kalau gitu tanda tangan perjanjian dengan pak Prakoso.”
“Ok! Tapi.. kalo udah ada surat keputusan dari hakim kalau pemilik tanah ini adalah bos lo.”
“Hah banyak bacot. Serang!!!”
Tanpa menunggu lama, kesepuluh preman itu segera menyerang Irzal dan Zar bersamaan. Irzal berlari sedikit menjauh diikuti oleh lima orang preman. Salah seorang langsung memukulkan tongkat baseball di tangannya. Irzal berkelit lalu melayangkan tendangan beruntun pada tiga orang penyerangnya. Ditariknya tangan yang memegang tongkat, dengan sikunya dia memukul wajah preman tersebut. Kini tongat berpindah ke tangannya.
Sementara itu, Zar juga tengah menghadapi lima orang penyerangnya. Pria itu berlari menuju tembok di dekatnya, lalu melompat dan menjadikan tembok sebagai pijakan, bersamaan dengan itu melayangkan tendangan pada musuhnya. Dua orang langsung tersungkur. Dengan tendangan memutar ditambah pukulan tangannya, dia menghajar tiga orang yang tersisa.
Perkelahian terus berlanjut, mereka yang terjatuh kembali bangun untuk menyerang. Melihat anak buahnya keteteran, Bontot berjalan menuju Aidan yang berdiri dengan lututnya. Sebuah pisau dikeluarkan dari saku celananya, dia hendak menggunakan Aidan sebagai tawanan agar negosiasi berhasil.
Saat pria itu semakin mendekat, tiba-tiba seseorang datang dan langsung menyerangnya. Dia memberikan tendangan di tangan Bontot hingga pisau terlepas dari tangannya. Kemudian ditariknya tangan pria itu, diputar ke belakang hingga dia tak berdaya. Lengan kiri pria itu menjepit leher Bontot, dan tangan kanannya dengan cepat mengambil pistol dari sarung yang tergantung di pinggangnya.
DOR!!!
Pria tersebut menembakkan pistol ke udara, mengejutkan para preman yang masih menyerang Irzal dan Zar. Kemudian dia meletakkan ujung pistol ke kening Bontot. Wajah preman itu nampak pucat.
“Bilang pada anak buahmu untuk menyingkir!”
“Diam!! Jangan lakukan apapun!!” teriak Bontot pada anak buahnya.
Dari arah luar muncul beberapa pria berseragam dan langsung membekuk para preman tersebut. Seorang petugas polisi menghampiri Bontot yang tengah menjadi tawanan atasannya. Pria itu mendorong Bontot ke arah anak buahnya. Pria itu segera digelandang menuju mobil patrol. Irzal langsung menghampiri Aidan, membuka tali yang mengikat tangan dan kakinya.
“Terima kasih sudah datang tepat waktu,” ujar Irzal sambil membantu Aidan berdiri.
“Sssttt.. siapa?” tanya Zar pada Irzal.
“Kamu pasti Abidzar, anak dari Kenzie Nagendra, cucu Abimanyu Hikmat,” tebak pria itu.
“Iya.”
“Kenalkan, saya AKP Taufik Urahman. Saya ditugaskan untuk mengurus sengketa tanah ini.”
Pria bernama Taufik Urahman itu mengulurkan tangannya pada Zar juga Irzal. Zar memandangi pria di hadapannya. Dia bertubuh tinggi dan tegap, wajahnya juga tampan. Kalau dilihat sekilas, rasanya dia tidak cocok menjadi polisi, pantasnya menjadi model.
“Ok deh, makasih pak Taufik.”
“Tolong panggil saja Tamar.”
“Yakin Tamar bukan Tamara? Hahaha… sorry-sorry bercanda bos,” Zar mengangkat kedua jarinya ke udara. Tamar hanya menanggapi dengan senyuman.
“Terima kasih, Tamar. Maaf, aku pergi dulu.”
Sambil memapah Aidan, Irzal segera keluar dari bangunan tanpa atap tersebut. Tak lama Zar dan Tamar ikut keluar. Di depan keduanya berpisah. Tamar langsung ke kantor tempatnya bertugas, sedang Zar menyusul Irzal menuju rumah sakit.
🍁🍁🍁
Irzal terus mengawasi Arsy yang tengah memeriksa Aidan. Dibantu seorang suster, gadis itu membersihkan luka dan juga mengobati memar di wajahnya. Selain wajah, Arsy juga melakukan pemeriksaan menyeluruh di sekujur tubuh pria itu. Aidan meringis menahan nyeri saat Arsy menyentuh bagian perutnya.
“Ambilkan USG,” perintah Arsy pada suster yang membantunya.
Suster tersebut keluar dari bilik dan masuk ke ruang peralatan. Tak lama dia kembali sambil mendorong mesin USG. Arsy mengangkat kaos yang dikenakan Aidan. Terdapat warna merah kebiruan di sekitar perut pria itu. Arsy mengoleskan gel di atas perut. Matanya terus memandangi layar di depannya sambil menggerakkan probe.
Selesai memeriksa bagian perut, dia lalu memeriksa mata Aidan. Dengan senter di tangannya dia menyorotkan sinar ke matanya. Kemudian dia meminta suster mengobati luka luar yang diderita pria itu. Arsy keluar dari bilik pemeriksaan dan mengajak Irzal sedikit menjauh dari bilik. Zar yang tidak diajak mengekor di belakangnya.
“Bagaimana keadaannya? Apa cederanya serius?”
“Ada tulang rusuknya yang patah dan yang paling parah bagian perut. Sepertinya dia mendapat beberapa pukulan di sana, lambungnya luka dan dia harus istirahat total minimal dua minggu.”
“Apa lagi yang terluka?”
“Tidak ada. Sisanya hanya luka luar saja.”
“Kamu yakin? Bagaimana dengan kepalanya?”
“Tidak ada luka di kepala.”
“Baiklah. Tolong lakukan yang terbaik untuknya.”
“Sy.. gue luka nih, obatin dong.”
Zar menunjuk pipinya yang sedikit memar. Bukannya mengobati, Arsy hanya meledek saja pada kakak kembarnya itu. Gadis itu kemudian melihat pada Irzal, di pipi sebelah kiri pria itu terdapat lecet seperti guratan bekas sepatu.
“Kalian duduk di sana.”
Arsy menunjuk kursi tunggu, kemudian menuju ruang obat. Tak lama dia kembali dengan beberapa obat di tangannya. Arsy mendorong kedua pria itu untuk duduk. Dibersihkannya luka Irzal dan Zar bergantian. Kemudian dia membuka penutup gel dan mengoleskannya ke luka memar Zar. Setelahnya dia membuka plester dan menempelkan ke luka Irzal.
“Udah gini doang? Kaga diperban?” tanya Zar.
“Mau gue perban kaya mummi?”
“Elo jadi dokter kaga ada lembut-lembutnya. Untung pasien lo kaga ada yang sawan. Bro.. gue balik duluan ya, bisa ayan gue deket-deket nih orang.”
Zar berdiri kemudian menoyor kepala Arsy. Belum sempat adik kembarnya membalas, pria itu langsung melesat keluar dari IGD. Irzal tertawa kecil melihat tingkah Zar yang tidak jauh beda dari Daffa.
“Sekali lagi aku minta maaf soal kejadian kemarin. Aku beneran ngga tau kalau kamu bukan copet. Dan terima kasih sudah mengembalikan tasku.”
Arsy berdiri di depan Irzal dan mengeluarkan dua kalimat sakral itu di depannya. Dia sadar tadi di rumah Irzal tidak melakukannya dengan benar. Untuk sesaat Irzal melihat pada Arsy kemudian memutus pandangan mereka.
“Tasmu.. apa ada yang hilang?”
“Tidak ada.”
“Syukurlah.”
“Aku pergi dulu. Oh ya, temanmu akan dipindahkan ke ruang perawatan sebentar lagi.”
“Terima kasih.”
Arsy membalas ucapan terima kasih Irzal dengan anggukan saja, kemudian berlalu pergi. Irzal berdiri lalu menghampiri blankar temannya. Nampak Aidan sudah tertidur setelah diberi obat pereda nyeri. Dia menarik kursi di samping blankar dan mendudukkan diri di sana.
🍁🍁🍁
“Bang…”
Aqeel yang tengah bersantai di rooftop rumah sakit menolehkan kepalanya saat mendengar sebuah suara memanggilnya. Dari belakangnya, Daffa berjalan mendekat dengan dua minuman kaleng di tangannya. Dia menyerahkan satu kaleng pada kakaknya seraya mendudukkan diri.
“Gimana pasiennya?” tanya Daffa seraya membuka penutup kaleng.
“Alhamdulillah selamat. Pasien yang lain bagaimana?”
“Selamat juga.”
“Syukurlah.”
Secara bersamaan keduanya mereguk minuman dingin dalam kaleng sambil memandangi matahari di depan mereka yang tengah bergeser menuju peraduan. Semilir angin yang berhembus terasa menyejukkan kulit.
“Abang tau ngga, papa, mama sama bang Rakan ngapain ke Jakarta?”
“Ada pertemuan bisnis kan?”
“Iya, paginya ada pertemuan bisnis. Tapi siangnya mereka lagi jemput seseorang.”
“Siapa?”
“Menurut abang siapa?”
Alis Daffa bergerak naik turun saat melihat Aqeel. Sejenak pria itu terdiam, namun setelahnya sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dia tahu siapa yang dimaksud oleh sang adik. Pasti orang tua dan kakaknya tengah menjemput Azizah, adik angkatnya, anak dari sahabat mamanya. Sejak lima tahun lalu Azizah berada di Kairo untuk menyelesaikan studinya.
“Abang mending pulang, jangan nginep di rumah sakit. Pasti Iza pengen ketemu abang.”
“Dia pasti sudah tambah dewasa sekarang,” Aqeel menyenderkan punggung ke bangku seraya melipat kedua tangannya. Dia sedang mencoba mengingat wajah Azizah, gadis yang sejak pertama bertemu langsung mengisi relung hatinya.
“Langsung halalin, bang,” Daffa terkekeh.
“Bang Rakan belum nikah.”
“Ck.. ngga usah nungguin bang Rakan. Kelamaan nungguin dia.”
“Abang masih belum bisa move on dari Shafa?”
“Ngga tau juga, bang.”
“Abang pulang dulu. Kamu juga pulang.”
Daffa hanya mengangkat jempolnya. Aqeel berdiri kemudian beranjak dari sana. Sebelum pulang, dia menuju ruangannya dulu untuk berganti pakaian. Sambil membawa tas di bahunya, Aqeel memasuki lift. Begitu pintu lift terbuka, dia segera keluar. Langkahnya terhenti di depan mesin penjual minum.
Pria itu mengambil ponsel kemudian menscan barcode yang ada di bagian sisi mesin. Kemudian tangannya menekan tombol minuman rasa buah. Setelah mengambil minuman, dia bergegas menuju IGD. Aqeel menghampiri Arsy yang sedang duduk sendiri di kursi tunggu.
“Makasih, dok.”
Tangan Arsy meraih minuman dingin dari Aqeel. Dokter tampan itu menyempatkan diri duduk di samping Arsy. Matanya melihat situasi IGD yang mulai tenang. Beberapa pasien korban kecelakaan sudah masuk ke kamar perawatan. Beberapa dari mereka ada yang diperbolehkan pulang.
“Belum pulang?”
“Sebentar lagi, dok.”
Suasana menjadi hening. Arsy membuka penutup minuman kaleng kemudian meminumnya. Aqeel tahu sekali minuman apa yang disukainya. Dia melirik pada pria di sebelahnya yang tengah mengutak-atik ponselnya. Dada Arsy selalu berdebar kencang setiap berduaan dengannya. Namun gadis itu tidak tahu bagaimana perasaan Aqeel padanya.
Sebuah senyum terbit di wajah Aqeel ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari wanita yang dicintainya.
From Iza❤️:
Assalamu’alaikum. Abang belum pulang? Iza udah masak buat abang.
To Iza❤️ :
Abang otw.
Aqeel memasukkan ponsel ke saku celananya kemudian berdiri. Sebelum pergi dia melihat pada Arsy yang masih menikmati minumannya.
“Kamu bawa kendaraan?” tanya Aqeel.
“Bawa, dok.”
“Kalau begitu aku duluan.”
“Iya.”
Dengan langkah panjang, Aqeel segera keluar dari IGD. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Azizah. Penantiannya selama lima tahun ini akhirnya berakhir sudah. Demi menyelesaikan studinya lebih cepat, gadis itu rela tidak pulang dan baru sekarang kembali.
🍁🍁🍁
Wah Arsy bakalan patah hati nih, kalau tahu Aqeel naksir siapa🙈
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
flowers city
🤣😂😂😂😂😂😂🤣pengen bgt sihh😂😂😂😂😂😂🥰🥰🥰🥰
2023-08-04
2
flowers city
🤣😂🤣🤣luka hati😂🤣🥰😘
2023-08-04
2
flowers city
🤣😂😂😂😂😂😂
2023-08-04
1