Mobil yang dikendarai Zar berhenti di depan rumahnya. Arsy turun lalu masuk ke dalam rumah. Dia segera membawa kue pesanan Nara ke dapur. Di sana sang mama sedang menata ulang dapurnya. Zar yang baru saja masuk langsung menuju dapur. Mengambil minuman dingin lalu menenguknya sampai habis.
“Ma.. tadi si jutek bikin masalah,” Zar mulai mengadu pada Nara.
“Masalah apa?”
“Masa dia nyerang Irzal. Dia nuduh si Irzal copet. Padahal Irzal yang bantuin dia nangkep copet.”
“Bener Sy?”
“Dasar tukang ngadu!”
Sambil menghentak kakinya Arsy keluar dari dapur. Dia memilih menuju ruang tengah. Mencari channel televisi yang layak ditonton. Tak lama Kenzie bergabung bersamanya. Di dapur, Zar tengah berkutat dengan ponselnya. Setelah mendapat yang diinginkannya, pria itu segera menuju ruang tengah.
“Pa.. bilangin sama anak papa tuh. Minta maaf kalau udah buat salah.”
“Bacot mulu, lo!” kesal Arsy.
“Ada apa ini?”
“Kata Zar, tadi Arsy berantem sama Irzal,” Nara datang dari arah dapur sambil membawa kue yang tadi dibeli anak-anaknya.
“Benar Sy?”
“Ya mana aku tahu kalau itu dia.”
“Ck.. udah salah ngeles mulu.”
Zar mengambil ponselnya, lalu dia memutar video yang dikirim Zaldy, ahli IT di kantornya. Video tersebut didapat dari rekaman cctv dari lokasi kejadian. Pria itu memberikan ponselnya pada Kenzie. Nara yang penasaran ikut duduk di samping suaminya.
“Itu siapa pa?” tanya Zar.
“Ini Irzal kan?” tanya Kenzie seraya melihat pada Zar.
“Tuh papa yang lihat dari rekaman cctv aja udah tau kalo itu Irzal. Nah elo yang berhadapan langsung sama dia, malah ngga ngenalin. Bener kata Irzal, mata lo emang bermasalah.”
“Beneran rese ya, lo!”
“Sudah-sudah.”
Kenzie segera melerai kedua anaknya yang sedang bersitegang. Pria itu mengembalikan ponsel pada Zar. Dia lalu merangkul bahu sang putri. Arsy hanya menundukkan kepalanya. Dalam hati dia memang mengakui telah melakukan kesalahan.
“Sy.. papa pernah bilang apa sama kamu?” Kenzie melihat pada putrinya.
“Harus berani meminta maaf kalau salah.”
“Yang kamu lakukan tadi, benar atau salah?”
“Salah.”
“Jadi kamu tahu harus bagaimana?”
Arsy hanya menganggukkan kepalanya. Namun dia masih belum rela harus meminta maaf pada pria menyebalkan itu. Bisa dibayangkan bagaimana reaksinya nanti.
“Kamu tahu kalau om Elang itu koleganya papa. Irzal juga sekarang sedang menggarap kerja sama dengan daddy kamu. Jadi, kamu harus bisa bersikap bijak. Papa percaya, Irzal tidak akan merasa dendam dengan apa yang kamu lakukan. Tapi.. bukan berarti kamu bisa pergi begitu saja. Kamu tetap harus mengucapkan maaf dan juga terima kasih. Mengerti?”
“Iya, pa.”
“Sekarang dimakan dulu kuenya.”
Nara memberikan piring-piring kecil berisi kue lalu memberikannya pada suami dan kedua anaknya. Sambil memakan kuenya, Arsy masih memikirkan waktu yang tepat untuk meminta maaf pada Irzal. Tapi yang jelas bukan hari ini, karena dirinya harus bertugas di rumah sakit.
🌸🌸🌸
Suasana IGD rumah sakit Ibnu Sina tergolong sepi untuk hari ini. Arsy yang sudah selesai berganti pakaian, segera menuju IGD. Terlihat beberapa rekannya, hanya duduk santai di depan meja perawat. Beberapa pasien yang dirawat di IGD juga nampak santai. Ada yang tengah berbaring menunggu infusan habis, ada yang tengah diperban lukanya. Atau ada yang berbincang santai dengan keluarganya.
Perbincangan di meja perawat cukup menarik perhatian Arsy. Wajah-wajah mereka nampak serius. Arsy segera melangkahkan kakinya ke sana. Dia juga penasaran apa yang sedang mereka bicarakan.
“Jadi anak yang kemarin dibawa ke IGD korban KDRT?”
“Iya. Ibunya ngga mau jadi saksi. Ngga tau takut atau ngga mau suaminya jadi tersangka.”
“Sekarang dokter Aqeel lagi ditanya-tanya ya?”
“Iya. Soalnya kan ada tetangga mereka yang laporin. Kalau aku jadi dia, udah kulaporin. Enak aja nyiksa anak kaya gitu.”
“Tapi ngga bisa nyalahin ibunya juga. Kali aja dia juga korban dan takut buat lapor.”
“Bisa jadi.”
Tanpa ikut menimbrung pada pembicaraan, Arsy menyerap semua yang didengarnya. Kemarin dia memang sempat mendengar kalau ada pasien anak yang terkena pneumothorax.
Semua yang ada di meja perawat langsung menolehkan kepalanya ke pintu, ketika dari arah dalam muncul dokter Aqeel bersama dengan petugas kepolisian yang tak memakai pakaian dinasnya. Mereka berjalan menuju meja perawat.
“Suster Mirna ada?” tanya Aqeel pada perawat yang bertugas.
“Suster Mirna hari ini libur, dok.”
“Apa saya bisa minta no telepon atau alamat rumahnya?” tanya lelaki di sebelah Aqeel.
“Sebentar, pak.”
Perawat tersebut mengambil ponselnya lalu mencari nomor Mirna. Dia mencatat nomor salah satu suster senior di IGD lalu memberikannya pada petugas tersebut. Sejenak pria itu melihat deretan nomor yang tertera di kertas, lalu memasukkannya ke saku celana.
“Terima kasih atas kerjasamanya dr. Aqeel,” pria tersebut mengulurkan tangan pada dokter tampan tersebut.
“Sama-sama, pak. Kalau masih membutuhkan informasi, silahkan datang kapan saja.”
“Iya, dok. Terima kasih.”
Petugas polisi itu menganggukkan kepalanya pada semua yang ada di meja perawat kemudian keluar dari IGD. Merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Aqeel segera meninggalkan IGD. Arsy berlari menyusul dokter tersebut.
“Dok…”
“Ya..”
“Anak yang korban KDRT apa baik-baik saja?”
“Iya. Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan.”
“Syukurlah.”
“Kamu tidak ada kerjaan?”
“Seperti yang dokter lihat, IGD sepi.”
Baru saja kalimat Arsy selesai, terdengar suara ambulans mendekati pintu masuk IGD. Arsy merutuki ucapannya barusan. Itu adalah kata sakral yang dilarang disebut di IGD. Menurut mitos yang berkembang di rumah sakit ini, setiap ada yang mengatakan itu, maka pasien akan datang bertubi. Dan sepertinya mitos itu benar adanya. Arsy segera berlari kembali ke IGD. Aqeel hanya tersenyum sekilas, lalu melanjutkan langkahnya lagi.
Tiga buah ambulans dan dua mobil pick up berhenti di depan ruang IGD. Para perawat langsung keluar menyambut pasien yang datang. Begitu pula dengan para coas. Mereka mendorong blankar untuk memindahkan pasien yang dibawa ambulans.
“Kasus apa ini?” tanya Arsy pada petugas medis.
“Keracunan di hajatan.”
Arsy ikut mendorong blankar masuk ke IGD, disusul oleh blankar lainnya. Dari arah mobil pick up juga muncul beberapa orang yang nampak lemas. Mereka baru saja muntah-muntah setelah memakan hidangan prasmanan di sebuah pesta pernikahan. Ruangan IGD yang semula sepi mulai riuh didatangi pasien.
🌸🌸🌸
Arsy mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi. Kepalanya menyender ke tembok di belakangnya. Gadis itu tengah melepas rasa lelahnya. Tadi dia menangani hampir sepuluh pasien keracunan. Keadaan mereka akhirnya bisa terselamatkan. Ada yang sudah masuk ruang perawatan, ada juga yang sudah diperbolehkan pulang. Matanya menatap jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Itu artinya, setengah jam lagi shift-nya selesai.
Matanya terbuka ketika pipinya terasa dingin. Dilihatnya Aqeel tengah menempelkan minuman kaleng dingin di pipinya seraya melempakan senyum tipis. Arsy mengambil minuman tersebut lalu membukanya. Aqeel mendudukkan diri di sisi gadis itu sambil meneguk minumannya.
“Sebentar lagi shiftmu selesai?”
“Iya, dok.”
“Saya juga mau pulang. Biar saya antar kamu pulang.”
“Ngga ngerepotin, dok?”
“Ngga. Lagi pula rumah kita searah, kan?”
“Iya, dok.”
Arsy meneguk minuman rasa buah yang diberikan Aqeel padanya. Entah rasa minumannya memang manis atau orang yang memberikannya Aqeel, Arsy merasakan minuman tersebut terasa manis dan menyegarkan.
“Bagaimana dengan para pasien korban keracunan?” tanya Aqeel. Tangannya melempar kaleng kosong di tangannya ke tong sampah yang ada di depannya. Sekali lempar kaleng tersebut langsung masuk ke dalam tempat sampah.
“Alhamdulillah semuanya selamat, dok. Sebagian sudah diperbolehkan pulang.”
“Syukurlah.”
Keadaan kembali hening. Aqeel memang orang yang jarang bicara, kecuali dengan orang-orang tertentu. Arsy bersyukur, dia bisa menjadi bagian orang-orang tersebut, walau intensitas mereka masih terbilang jarang.
“Kamu sudah menentukan akan mengambil apa nanti untuk residensi?”
“Belum, dok. Masih dipikirkan.”
“Kamu anak yang pintar. Saya harap kamu bisa memilih spesialisasi yang tepat nantinya.”
“Iya, dok. Kalau keluarga inginnya saya ambil penyakit dalam. Tapi sepertinya itu bukan passion saya.”
“Jangan terpengaruh oleh keluarga. Pilih spesialisasi sesuai passion kamu sendiri.”
“Iya, dok.”
Aqeel melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas kurang sepuluh menit. Pria itu berdiri dari duduknya. Sebelum pergi dia melihat sejenak pada Arsy.
“Tunggu saya di pintu depan lobi.”
“Iya, dok.”
Pria itu kemudian melangkahkan kakinya. Dia berjalan menuju ruangannya yang ada di lantai tiga. Sebelum pulang, dia hendak berganti pakaian lebih dulu. Tak lama kemudian Arsy ikut berdiri. Dia memilih kembali dulu ke IGD. Menghabiskan sisa waktu di sana. Sambil serah terima pekerjaan dengan coas berikutnya.
🌸🌸🌸
**Udah kejawab ya, Arsy suka sama siapa.
Yang tanya dr. Rafa anak siapa, dia ngga masuk klan mana pun. Kan di awal mamake udah bilang, cucu keluarga Hikmat mengembangkan sayap, jodohnya bukan cuma dari klan Ramadhan tapi juga dari luar😁
Eh mamake mau promosi dong. Yuk intip salah satu karya teman mamake. Cerita tentang Tan Palupi Gulizar yang di usia muda udah dijual ibunya untuk melunasi hutang. Yang mau mampir jangan lupa tinggalin jejaknya, like, komen dan rate bintang 5. Ketik aja judul novelnya I'M NOT A FLOOZY atau nama othornya DELIMA RHUJIWATI di kolom pencarian. Makasih🙏**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
Anonymous
Othor psti terinspirasi dr drakor "romantic dr yaa" hihiiii
2023-12-31
1
Dwi MaRITA
aqeel dingin jutek tp perhatian...
irzal kang nyablak pemarah...
hadewh.... arsy ma irzal perang mulut teros tp bikin kangen, penengahnya stella anak anya keren tuh 🙊🙈😩
2023-07-12
2
☠️⃝⃟𝑽𝑨 ¢σє'ѕ 𝓐𝔂⃝❥
ternyata jadi dokter di UGD iku berat Yo.....tak kira nyantai ae
2023-05-08
3