Di pagi hari yang cerah, sinar matahari telah menyeruak masuk ke dalam sebuah kamar.
Tok... Tok... Tok...
"Juna... Junnaa... Juna!" Suara memanggil dengan keras sambil mengetuk pintu kamar.
Tok.. tok.. tok...
"Juna... Juna!"
Juna mengerjapkan matanya. Hal pertama yang diingatnya adalah rasa lelah luar biasa. Kemudian setelah melihat interior kamarnya, ia baru sadar bahwa ia telah setuju untuk memasuki sebuah dunia lain yang asing bagi dirinya. Dunia tinggal bersama mertua.
Awalnya Juna masih merasa keberatan, jika harus tinggal bersama mertuanya. Namun, ia kembali memikirkan dengan kepala dingin, mengesampingkan egonya dan memikirkan pilihan yang terbaik untuk mereka saat ini. Demi keselamatan dan kesehatan istri dan anak dalam kandungan Luna.
Juna telah sepakat dengan Luna untuk tinggal sementara di rumah ibu dan ayah Luna hingga Luna melahirkan.
Dan semalam, mereka telah memboyong beberapa barang penting dari rumah mereka. Ternyata barang yang di sebut penting itu ada banyak dan berbagai macam bentuknya. Sehingga mereka seperti benar benar pindahan rumah. Padahal, ruang yang disediakan oleh mertuanya hanyalah sebuah kamar tidur berukuran 4 x 5 meter persegi.
Dulunya, kamar itu ditempati oleh Luna. Sepanjang masa mereka pacaran, sebenarnya Juna cukup akrab dengan kamar itu. Namun, untuk benar benar menempatinya, dia masih merasa canggung.
Ia masih merasa tidak nyaman akan sesuatu yang tak dapat ia jelaskan. Kamar ini nyaman. Masih sama seperti waktu Luna menempatinya.
Foto foto mereka berdua, deretan buku, sofa baca, poster Justin Bieber dalam berbagai pose. Luna boleh tetap memajang poster idolanya, sebagai balasannya, Juna boleh merokok dalam kamar dengan jendela terbuka.
Semua masih ada di tempatnya. Namun, entah mengapa, Juna masih merasa asing di tempat itu.
"JUNNAA...!" Suara membahana kembali memanggil namanya.
Sontak Juna tersentak sadar dari mimpi indahnya.
Sedari tadi, panggilan itu seperti hanya bergaung sayup sayup di telinganya. Itu suara ibu mertuanya. Juna bertanya tanya, apa yang sedang diinginkan oleh ibu Luna pagi itu.
Juna bangkit dari tempat tidur, dan dengan malas, ia mendekati pintu kamar dan memutar gagangnya.
"Ya, Bu?" Juna membuka pintu kamar sedikit. Wajahnya terlihat kusut dan rambutnya acak-acakan. Ia tak berniat membiarkan Ibu melihat lebih banyak lagi kekacauan di dalam kamarnya supaya tidak bertambah heboh.
"Sudah pukul delapan? Kamu tidak sarapan dulu?" Tanya ibu mertua Juna. Wajah Ibu sudah rapi dengan make up tipis. Pakaiannya pun seperti orang yang akan keluar jalan jalan. Meski pun sebenarnya Ibu hanya di rumah saja. Perempuan itu mengabdi kepada keluarga lahir dan batin. Namun, Juna saat ini tidak membutuhkan perhatian dari Ibu.
Juna menggeram dalam hati. Ia sengaja minta ijin ke kantornya untuk masuk siang hari ini, karena masih agak kelelahan setelah proses pindahan tadi malam.
Tentu saja, ia minta ijin seperti itu supaya dapat meneruskan tidurnya hingga pukul sepuluh. Tapi sekarang, masih pukul delapan pagi. Mertuanya sudah berteriak membangunkannya.
Rasanya Juna ingin berteriak kesal saat itu juga.
Batinnya bertanya tanya, mengapa ibu mertuanya tak dapat membiarkannya tidur begitu saja. Lagian ia bukan anak kecil lagi saat ini.
Ia akan makan saat membutuhkan makan, ia akan bangun, jika dia harus bangun. Dan akan pergi ke kantor, jika sudah saatnya.
Ia sedikit menyalahkan Luna, karena tidak memberi tahu ibunya mengenai hal ini. Tapi, mungkin saja, istrinya lupa.
Tadi pagi sayup sayup Juna mendengar, bahwa Luna harus buru buru berangkat pagi ini. Karena ada rapat lagi bersama pihak manajemen kantornya.
"Iya, Bu. Nanti saja saya sarapan setelah mandi. Kebetulan, saya berangkat ke kantor agak siang hari ini." Sahut Juna pelan dengan suara serak.
Ibu masih menatapnya dengan penuh selidik.
"Saya sudah minta ijin dengan kantor, untuk masuk sekitar pukul satu nanti, Bu." Imbuh Juna menjelaskan pada ibu mertuanya.
Ibu manggut-manggut dengan gamang. Tatapan matanya seolah tak percaya akan kata kata Juna saat itu.
"Tapi, tetap penting bagimu untuk bangun pagi." Ucap Ibu dengan tegas.
"Nanti rejekimu kabur loh kalo kamu nggak bangun pagi!" Imbuh Ibu sambil berjalan menjauh dari kamar Juna dan Luna.
Juna menghela napas dalam dalam, sambil menutup kembali pintu kamarnya.
"Astaga...Drama! Pagi pagi sudah drama! Dan, ini baru hari pertamanya, tinggal di sini!" Gerutu Juna dalam hati.
Juna diam diam berdoa pada Tuhan agar dilancarkan kehidupannya selama berada di Pondok Indah Mertua. Paling tidak, hingga sembilan bulan ke depan. Saat Luna melahirkan buah hati mereka.
Juna menghembuskan napas berat. Ia telah menahan napasnya selama berbicara dengan ibu mertuanya tadi. Keringat bercucuran. Mulut terasa sangat kering hingga tenggorokannya. Dan ia merasa sangat sakit kali ini.
Dengan langkah gontai ia mencoba mencari handuk dalam tumpukan baju, dalam koper yang belum dibongkar isinya.
Saat ini sangat tidak mungkin ia melanjutkan tidurnya kembali. Tidur lagi, berarti mana yang ibu mertuanya. Dan, Juna masih belum berani membuat langkah yang salah di hari pertamanya tinggal di rumah mertuanya.
Ia ibarat pegawai baru yang masuk kerja. Ia ingin terlihat sesuai dengan kemauan atasannya. Mencoba segala cara untuk dapat melewati masa percobaan.
Juna telah menemukan handuknya. Lalu ia bergegas masuk ke kamar mandi untuk mandi. Dan sesegera mungkin berangkat ke kantornya. Menjauh sejauh jauhnya dari rumah ini. Menjauh dari rumah mertuanya.
Juna bersiap berangkat ke kantor , lalu mengenakan sepatu kerjanya dan menentang tas kerjanya.
Ia membuka aplikasi ojek online yang ada pada ponselnya, dan memesan untuk mengantarnya menuju tempat kerjanya.
"Wow... Jun, kamu terlihat sangat menyedihkan!" Kata Rey saat bertemu dengan Juna di lift kantor.
Wajah Juna terlihat sangat kacau dan suram. Di matanya ada kerutan dan lingkaran hitam. Rambutnya terlihat masih acak acakan. Kemeja kerjanya kusut karena tertumpuk tumpuk dengan kacau di dalam koper.
Juna menceritakan sedikit tentang hari pertamanya di rumah mertua. Rey tertawa geli mendengar curhatan Juna.
Juna juga menceritakan tentang rasa tak enak badan yang terjadi saat bertemu dengan mertuanya tadi pagi.
"Waduh, kamu sepertinya terkena pentheraphobia, atau fobia mertua!" Sahut Rey sok yakin.
"Hah? Beneran ada gitu? Fobia mertua?" Juna terbelalak, dan tanya balik pada Rey.
"Ya, sebenarnya nggak secara khusus untuk mertua, sih. Ini fobia untuk hal hal yang sebenarnya tidak berbahaya. Cuma pikiran kita saja, yang membuat kita bersikap waspada dan takut dengan hal ini." Terang Rey sambil terkekeh menertawakan Juna.
Juna masih terdiam, meski Rey telah keluar dari lift dan pergi rapat.
"Hah? Fobia mertua? Memalukan!" Rutuknya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments