Tua di jalan

Pagi itu Luna dan Juna bersiap untuk berangkat ke kantor. Dengan tergesa-gesa, Luna menghabiskan secangkir kopinya, lalu membawa setangkup roti berisi selai cokelat untuk dimakan saat di mobil.

Luna dan Juna telah berada di dalam mobil mereka. Luna mengendarai mobilnya sambil memakan roti selai cokelat nya.

"Huff... Macet lagi!" Keluh Luna menghela napas.

Ia menatap antrean panjang mobil di depannya. Luna mengutuk dalam hati melihat hal itu. Rata rata dari mereka adalah para pekerja yang berbondong-bondong masuk ke Jakarta dan keluar Jakarta pada malam hari untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga mereka.

Sebenarnya, Luna juga tak ingin menjadi salah satu dari para pekerja itu. Yang harus datang berbondong-bondong saat pagi hari menuju Ibu Kota dan harus kembali ke luar Jakarta saat sore hingga menjelang malam.

Ia sangat ingin tinggal di tengah kota Jakarta, dekat dengan tempat kerjanya. Dia tak ingin tersiksa dengan perjalanan yang membuat mereka tua di jalan. Namun, apa daya, sulit sekali membeli rumah di Jakarta dengan budget pengantin baru. Bahkan dengan budget pengantin lama pun hanya segelintir orang yang mampu.

Luna tidak tertarik untuk tinggal di apartemen sejak awal, meski itu adalah hal yang paling masuk akal untuk budget yang mereka miliki.

Akhirnya dengan uang muka seadanya, Luna dan Juna memutuskan untuk mencicil rumah mungil berhalaman kecil tanpa pagar di daerah pinggiran Jakarta.

Setiap hari mereka harus menahan lelah, selama dua jam perjalanan pergi, dan dua jam perjalanan pulang, seperti hari ini.

Luna yang baru pulang, kini merasa jetlag dengan keriwehan perjalanan menuju ke tempat kerja mereka pagi ini.

Radio mengalunkan sebuah lagu terbaru soundtrack sebuah film terkenal yang sedang tayang di bioskop. Radio lah satu satunya hiburan dalam kondisi yang menyedihkan saat ini. Karena jika bermain ponsel akan berakibat fatal.

Luna bersenandung riang mengikuti lirik lagu yang sedang diputar. Ia mengetuk ngetukkan tangan di atas kemudi, mengikuti irama lagu. Ia memandang ke kursi penumpang di sebelahnya. Menatap Juna yang duduk sambil menatap layar ponselnya sambil membaca berita atau sosial media yang dimilikinya.

Juna tidak dapat menyetir. Untuk ukuran kota besar seperti Jakarta dan untuk ukuran zaman sekarang, itu aneh. Namun, Juna memiliki ketakutan tertentu pada kemudi karena kecelakaan yang pernah menimpanya sewaktu remaja dulu. Itu membuatnya selalu gagal untuk belajar menyetir.

Lagi lagi, Luna tak keberatan. Ia dengan sukarela dan senang hati menjadi sopir pribadi suami tercintanya.Ia terbiasa menyetir sejak remaja.

Mobil yang mereka pakai ini jika miliknya sebelum mereka menikah. Salah satu harta kebanggaan yang ia beli di sebuah lelang barang bekas pakai perusahaan.

"Lun, kamu tahu tidak? Ada sebuah kafe baru buka di dekat kantorku. Tempatnya keren, cozy banget. Ada live music nya juga. Harganya juga terjangkau. Bagus buat foto-foto. Lihat deh!" Juna menunjukkan Instagram sebuah kafe baru itu.

Luna melirik, berusaha membagi konsentrasi jalanan dengan ponsel yang dipegang oleh suaminya itu.

"Iya, keren. Tempatnya oke." Luna berusaha berkomentar ringan. Ia sama sekali tidak pernah peduli dengan kafe yang tempatnya bagus untuk nongkrong atau sekedar numpang foto setelah hanya membeli segelas jus jeruk.

Menurut Luna semua tempat yang asik itu yang menjual menu yang enak dan harganya tidak terlalu mahal.

Lalu Juna menatap sebuah iklan sebuah ponsel iPhone keluaran terbaru pada ponselnya. Ia sedang menonton review salah seorang youtuber gadget yang merekomendasikan ponsel itu.

"Sayang, menurutmu gimana hape ini?" Tanyanya sambil menunjukkan gambar pada ponselnya.

Luna mengerutkan keningnya sesaat.

"Ngapain?"

"Ini ponsel keluaran terbaru iPhone, daya tahannya bagus. Jika dibanting pun tidak akan pecah, bahkan masih tetap mulus dan kondisinya baik." Juna mulai berceloteh mengenai iPhone keluaran terbaru itu.

"Bukannya, ponselmu iPhone juga? Bedanya apa?" Tanya Luna sambil fokus mengemudi.

"Ya ini kapasitasnya lebih besar. Terus hasil foto atau videonya bening." Juna beralasan.

Luna tidak begitu paham mengenai gadget. Ia tak pernah peduli mau merk apa, yang penting ponselnya dapat berdaya guna baginya, mempermudah komunikasi, dan membantu pekerjaannya saat ini.

"Sayang, apakah aku dapat membeli yang ini?" Tanya Juna seperti anak kecil yang sedang memohon dibelikan barang yang tak begitu diperlukan.

Luna terdiam sejenak.

"Bukannya kemarin kamu habis beli yang seri baru juga?" Cecar Luna.

"Tapi yang ini kapasitasnya lebih bagus. Lalu aku bisa main game tanpa harus ada gangguan. Dan yang seri baru ini, fiturnya lebih keren untuk hasil kamera atau videonya." Juna memberi alasan untuk diperbolehkan membeli ponsel baru.

"Sayang, please.... Boleh ya!" Rayu Juna sambil mengedipkan matanya dengan mimik wajah memelas ya bak anak kecil yang tengah merayu ibunya.

"Terserah kamu!" Akhirnya hanya itu yang bisa Luna ucapkan dari mulutnya.

Padahal sebelumnya, suaminya juga baru membeli sebuah ponsel baru juga. Yang katanya bisa buat main game tanpa harus khawatir baterei akan drop.

Luna merasa, Juna tidak perlu membeli ponsel baru lagi. Namun kali ini ia tak ingin beradu pendapat dengan suaminya.

Mereka baru saja menikah. Luna tak ingin ada pertengkaran di masa masa bulan madu mereka kali ini. Ia ingin mempertahankan keharmonisan rumah tangga mereka selama mungkin.

"Ya sudah, kamu mau cek di marketplace atau mau aku temani ke gerai?" Tanya Luna.

"Kita ke gerai saja, supaya bisa cek langsung produknya." Sahut Juna sambil tersenyum lebar.

Luna membalas senyuman suaminya itu.

"Terima kasih, sayang!" Ucap Juna sambil mengecup kening istrinya dengan rasa senang.

Luna menghentikan kendaraannya di sebuah pusat perkantoran. Juna mengecup kembali kening istrinya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.

"Hati hati, ya, Sayang!" Seru Juna. Luna mengangguk dan tersenyum.

Juna melambaikan tangan, saat Luna menjalankan mobilnya kembali untuk menuju kantornya yang masih berjarak sekitar dua kilo meter lagi.

Luna memarkir mobilnya di area parkir. Lalu berjalan menuju kubikelnya. Lalu menghempaskan pantatnya pada kursi yang ada di sana.

"Oh, Hai Luna, kamu sudah kembali?!" Teriak seseorang menyapanya.

Luna menoleh ke arah suara itu. Ini hari pertama ia berangkat ke kantor dari rumah barunya. Ternyata ia datang terlalu pagi hari ini. Kubikel di sekitarnya masih kosong dan suasana kantor masih lenggang.

Pandangan Luna bertaut dengan sepasang mata biru milik Mr Mark. Sepagi ini, seniornya itu sudah datang.

Mr Mark adalah salah satu senior yang disegani di kantor itu. Mungkin karena ia telah bekerja di perusahaan selama lebih dari 15 tahun. Atau mungkin juga karena ia orang asing. Ia ramah, tetapi jadi sangat berbeda jika sedang bekerja. Tak ada yang berani membuat satu pun kesalahan jika bekerja dengannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!