Pengasuh Idaman
"Fin, semakin kesini pasar semakin sepi ya. Tidak seperti dulu," keluh Badiah dengan tangan kanan yang dipakai menopang pipinya. Wanita berusia empat lima tahun itu menatap beberapa orang yang berlalu lalang melewati jalan di depan lapaknya.
Fina hanya tersenyum tipis saat mendengar keluh kesah dari Badiah yang tidak lain adalah ibu kandungnya. Gadis berhijab itu setiap hari membantu ibunya berjualan tempe dan tauge di pasar semenjak ayahnya meninggal satu tahun yang lalu.
"Sabar, Bu." Hanya itu saja yang bisa diucapkan oleh Fina.
Fina Imaniyah adalah anak pertama dari pasangan Badiah dan Hasan. Dia memiliki satu adik perempuan yang masih duduk di kelas dua SMA dan menjadi seorang santriwati di salah satu pondok pesantren yang ada di Jombang. Begitupun dengan Fina, semenjak lulus dari sekolah dasar, dia sekolah sekaligus masuk pesantren di Jombang. Tentu di tempat yang berbeda dengan adiknya yang bernama Khairunnisa atau biasa dipanggil Nisa.
"Assalamualaikum, bu Bad," sapa seorang wanita seusia Badiah saat berdiri di depan lapaknya.
"Waalaikumsalam. Masyaallah ... Bu Sri apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu ya, Bu." Badiah berdiri dari tempatnya dan segera menghampiri sosok tersebut.
"Iya, Bu. Saya memang jarang kemana-mana karena di rumah ada cucu. Saya sibuk mengurus cucu sekarang," jawab wanita yang memiliki nama Sriamah itu.
"Alhamdulillah." Badiah ikut bahagia ketika mendengar kabar baik tersebut, "Ini tadi dari mana, Bu?" tanya Badiah.
"Oh, tujuan saya memang datang kemari untuk menemui bu Bad karena ada titipan surat dari Nisa. Saya kemarin kan 'sambang' ke pondok terus Nisa menitipkan surat untuk bu Bad," ucap Sriamah sambil menyerahkan secarik kertas yang dilipat menjadi persegi.
Anak bungsu Sriamah memang satu pesantren dengan Nisa. Mereka dulu satu sekolah saat masih duduk di sekolah dasar dan untuk tempat tinggal, mereka tetangga kampung. Sudah menjadi tradisi jika anak pesantren menitipkan surat untuk keluarganya jika membutuhkan sesuatu, karena di tempat Nisa menimba ilmu itu, peraturan cukup ketat. Keluarga hanya diperkenankan menjenguk satu bulan sekali.
"Terima kasih ya bu Sri sudah bersedia repot-repot kemari hanya untuk mengantar surat dari Nisa," ucap Badiah sambil mengusap lengan Sriamah.
"Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya pamit ya Bu, karena masih ada keperluan di tempat lain," ucap Sriamah dengan diiringi senyum yang manis.
Badiah kembali masuk ke dalam lapaknya setelah Sriamah pergi. Dia duduk di bangku bambu yang ditempat Fina saat ini. Wanita paruh baya itu segera membuka surat dari putri bungsunya karena pasti ada sesuatu yang penting sehingga Nisa mengirim pesan tertulis untuknya.
Assalamualaikum, Bu.
Ibu dan Mbak Fina kapan sambang ke pondok? Nisa kangen loh sama ibu dan Mbak. Sabun mandi, detergen, sampo, pembalut, pasta gigi juga sudah menipis, Bu. Kalau sambang jangan lupa dibawakan ya Bu.
Bu maaf jika Nisa merepotkan ibu. Kemarin pihak sekolah meminta agar Nisa segera melunasi buku, tunggakan SPP dan sisa pembayaran uang gedung. Pihak sekolah tidak akan memberikan kartu ujian sebelum lunas karena Nisa kan sudah lama menunggak. Ujian semesternya minggu depan, Bu. Nisa harap ibu segera datang ke pondok bersama mbak Fina. Cukup itu saja kabar dari Nisa, sekali lagi Nisa minta maaf karena sudah merepotkan ibu.
Wassalamu'alaikum
Nisa
Badiah hanya bisa mengela napas setelah membaca surat dari putri bungsunya. Kepalanya terasa semakin berat karena tidak tahu harus mencari uang kemana lagi untuk membayar biaya sekolah Nisa. Semenjak suaminya meninggal, ekonomi keluarga kecilnya menjadi berantakan. Hutang di saudara pun mulai menumpuk.
"Kenapa, Bu?" tanya Fina setelah mengamati ekspresi wajah ibunya, "Nisa minta sambang ya, Bu?" Fina mencoba menerka masalah yang sedang dipikirkan oleh ibunya.
"Iya. Pihak sekolah menyuruh Nisa segera membayar tunggakan biaya karena minggu depan ujian. Ibu harus mencari uang kemana lagi ya, Fin? Ini juga waktunya bayar angsuran bank. Tadi pagi kan sudah dihubungi pihak bank," gumam Badiah tanpa menatap Fina.
"Berarti semuanya harus dibayar dalam minggu ini ya, Bu?" tanya Fina dengan suara yang lirih, "apa kita mencari pinjaman saja Bu?" usul Fina.
"Memang kita mau nyari pinjaman kemana lagi, Fin? Kita kan sudah punya hutang di lek Har dan lek No." Badiah menatap wajah putri sulungnya sekilas dan setelah itu beralih ke arah lain.
Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah manis Badiah. Hal itu membuat Fina merasa sedih dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semenjak ayahnya meninggal, kondisi ekonomi keluarganya menurun drastis. Sebagai anak pertama, Fina merasa tidak berguna karena hanya bisa membantu Badiah berjualan di pasar. Beberapa kali Fina melamar kerja dengan ijazah SMA nya tetapi tidak diterima, karena dia tidak memiliki pengalaman apapun.
"Fin, ibu mau ke lapaknya si Anin sebentar. Waktunya bayar arisan sekarang," pamit Badiah setelah berdiri dari tempatnya setelah mengambil uang dari dompet.
Sementara Fina hanya bisa mengela napas yang berat setelah melihat kepergian Badiah. Lagi dan lagi perasaan bersalah hadir kembali karena tidak bisa membantu apapun selain berjualan di lapak kecil ini.
"Eh Fin, melamun aja sih! Lagi jatuh cinta atau gimana nih?" Tiba-tiba saja suara Mega yang tak lain adalah penjual ayam di samping lapak Badiah mengejutkan Fina.
"Jatuh cinta sama siapa sih Mbak Mega? Cak Dayat udah menikah, Cak Amin juga sudah tunangan." Fina mencoba tersenyum saat menanggapi candaan wanita berusia tiga puluh lima tahun itu.
"Cari lagi aja! Tuh ada anaknya bakul tomat masih fresh. Mau gak?" tawar Mega sambil menunjuk lapak yang ada di ujung pasar.
"Mbak Me ada info pekerjaan gak? Kalau ada bagi infonya dong Mbak, yang menerima pegawai dengan ijasah MA(Madrasah Aliyah)." Fina berusaha mencari pekerjaan setelah teringat beban berat yang dipikul ibunya.
"Kemarin budeku yang kerja jadi pembantu di Surabaya nawarin kerjaan, Fin. Itu jadi pengasuh anak-anak. Katanya gajinya lumayan besar dan harus tinggal di sana," ucap Mega setelah teringat tentang informasi yang disampaikan saudara ibunya.
"Selain itu gak ada ya Mbak?" Fina terlihat lesuh setelah mendengar pekerjaan yang disebutkan oleh Mega.
"Eh, jangan salah ya. Kata budeku gajinya gede loh, Fin. Tiga juta lima ratus gaji pokoknya. Biasanya kan kalau jadi pengasuh cuma dua juta, Fin. Kalau di Surabaya yang ada di sebelah rumah majikan budeku, kamu tinggal di rumah majikan dan dapat makan. Kamu kan sabar dan telaten sama anak kecil. Kenapa gak dicoba aja," jelas Mega tanpa dilebih-lebihkan.
Fina nampaknya sedang memikirkan tawaran dari Mega. Tiga juta lima ratus adalah nominal yang cukup banyak untuk Fina. Mungkin dengan gaji tersebut dia bisa membantu biaya mondok dan sekolah Nisa, serta membayar angsuran bank setiap bulannya. Dengan begitu Badiah tidak perlu mencari pinjaman ke orang lain. Adakalanya Fina merasa sakit hati saat mendengar kalimat pedas dari saudara ibunya saat meminta bantuan.
Terkadang memang seperti itu, kita akan dipandang sebelah mata hanya karena harta.
"Begini saja Mbak Me, sekarang pastikan dulu apa pekerjaannya masih ada. Nanti kabari aku lagi deh Mbak Me, tapi ya gitu jangan pas ada ibu ya," ucap Fina setelah berpikir tentang pekerjaan tersebut.
***
Kewajiban tiga rakaat telah selesai ditunaikan oleh Fina dan Badiah. Wanita berbeda generasi itu duduk di ruang tengah yang biasa mereka tempati untuk berkumpul bersama keluarga sekaligus ruang makan. Televisi berukuran 21 inch pun ada di sana sebagai pelengkapnya.
"Ibu kenapa menangis?" Fina merasa heran ketika melihat ibunya yang sedang terisak dengan tatapan yang tak lepas dari layar televisi.
"Ibu sedih saja Fin ketika melihat hafidzah itu. Ibu jadi kepikiran Nisa di pondok. Kalau keadaannya ekonomi kita seperti ini terus, apakah mungkin Nisa berhasil hafalan Al-Qur'an. Ibu rasanya tidak sanggup membiayainya lagi." Isak tangis Badiah terdengar pilu. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak sanggup membayangkan bila hal itu terjadi, karena cita-cita almarhum suaminya adalah memiliki putri yang berhasil menghafalkan Al-Qur'an.
Fina semakin tidak tega melihat gurat kesedihan di wajah yang mulai keriput itu. Mungkin inilah saat yang tepat untuk membahas tentang pekerjaan yang ditawarkan oleh Mega. Kebetulan pekerjaan tersebut belum terisi oleh orang lain. Gadis cantik itu pun duduk bersimpuh di depan kursi yang ditempati oleh Badiah.
"Bu, Fina ingin bicara dengan Ibu," ucap Fina sambil menyentuh lutut Badiah yang tertutup daster batik.
"Ada apa, Fin? Apa lek Har menelfonmu agar kita segera membayar hutang?" tanya Badiah dengan suara yang bergetar.
"Tidak. Bu. Fina ingin minta izin bekerja ke Surabaya, Bu," gumam Fina dengan suara yang lirih.
"Kerja apa, Nak? Gak! Ibu gak mengizinkan kamu. Maaf jika keluh kesah ibu menjadi beban pikiranmu, tetapi Ibu tidak mau jika kamu harus bekerja, apalagi sampai ke Surabaya," tolak Badiah seraya menatap wajah putrinya dengan intens.
Fina menceritakan tentang pekerjaan yang disampaikan Mega tadi pagi. Dia berusaha keras meyakinkan ibunya agar memberinya izin untuk pergi ke Surabaya, "Bu, Fina mohon untuk kali ini saja, berikan izin untuk Fina bekerja. Tidak ada jalan lain, Bu. Fina tidak mau jika sampai Nisa putus mondok karena biaya. Lagi pula Fina bekerja hanya untuk sementara saja, sampai Nisa selesai sekolah dan mondoknya, Bu." Fina menatap Badiah penuh harap.
Badiah semakin tergugu setelah mendengar permohonan putri sulungnya. Sungguh, dari lubuk hati yang paling dalam, Badiah tidak mau jika Fina bekerja sebagai seorang pengasuh, apalagi jauh dari rumah. Namun, keadaan ekonomi yang menghimpit membuatnya bimbang akan keputusan itu.
"Jika kamu pergi ke Surabaya, bagaimana dengan latihan bela dirimu, Nak? Siapa yang akan melatih anak-anak di balai desa?" tanya Badiah ketika teringat anak-anak yang membutuhkan Fina.
"Nanti Fina akan bicara dengan kang Ali. Lagi pula masih banyak pelatih yang lain, Bu. Sekarang yang paling penting adalah restu dari Ibu. Boleh ya Bu ... ini adalah pekerjaan yang mudah kok, Bu." Fina masih berusaha meyakinkan Badiah.
Wanita paruh baya itu pun termenung beberapa menit lamanya. Mungkin saat ini dia sedang berperang dengan perasaannya sendiri, "baiklah, kalau memang ini adalah jalan dari Allah untuk keluarga kita, ibu mengizinkan kamu pergi ke sana." Dengan terpaksa Badiah pun memberikan izin kepada putrinya. Beberapa nasihat untuk Fina terdengar di sana, karena Badiah tidak mau jika Fina sampai lupa dengan pedoman agama yang sudah dia pelajari di Pesantren selama enam tahun lamanya.
"Terima kasih, Bu. Fina pasti akan melakukan yang terbaik. Fina tidak akan melakukan sesuatu yang bisa mencoreng keluarga kita," ucap Fina dengan senyum yang manis. Air mata pun tak bisa terbendung lagi, "kalau begitu Fina sekarang mau menemui mbak Mega dan kang Ali untuk menyelesaikan urusan sebelum Fina berangkat ke Surabaya," pamit Fina sebelum beranjak dari tempatnya.
Mungkinkah keputusan Fina bisa merubah perekonomian keluarga atau justru memperburuk keadaan?
...🌹To Be Continue 🌹...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
Capricorn 🦄
n
2024-09-22
1
Anonymous
k
2024-08-30
1
Aynk Maria
seperti nya seru ni lanjut tor☺️
2024-08-21
0