"Fin, semakin kesini pasar semakin sepi ya. Tidak seperti dulu," keluh Badiah dengan tangan kanan yang dipakai menopang pipinya. Wanita berusia empat lima tahun itu menatap beberapa orang yang berlalu lalang melewati jalan di depan lapaknya.
Fina hanya tersenyum tipis saat mendengar keluh kesah dari Badiah yang tidak lain adalah ibu kandungnya. Gadis berhijab itu setiap hari membantu ibunya berjualan tempe dan tauge di pasar semenjak ayahnya meninggal satu tahun yang lalu.
"Sabar, Bu." Hanya itu saja yang bisa diucapkan oleh Fina.
Fina Imaniyah adalah anak pertama dari pasangan Badiah dan Hasan. Dia memiliki satu adik perempuan yang masih duduk di kelas dua SMA dan menjadi seorang santriwati di salah satu pondok pesantren yang ada di Jombang. Begitupun dengan Fina, semenjak lulus dari sekolah dasar, dia sekolah sekaligus masuk pesantren di Jombang. Tentu di tempat yang berbeda dengan adiknya yang bernama Khairunnisa atau biasa dipanggil Nisa.
"Assalamualaikum, bu Bad," sapa seorang wanita seusia Badiah saat berdiri di depan lapaknya.
"Waalaikumsalam. Masyaallah ... Bu Sri apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu ya, Bu." Badiah berdiri dari tempatnya dan segera menghampiri sosok tersebut.
"Iya, Bu. Saya memang jarang kemana-mana karena di rumah ada cucu. Saya sibuk mengurus cucu sekarang," jawab wanita yang memiliki nama Sriamah itu.
"Alhamdulillah." Badiah ikut bahagia ketika mendengar kabar baik tersebut, "Ini tadi dari mana, Bu?" tanya Badiah.
"Oh, tujuan saya memang datang kemari untuk menemui bu Bad karena ada titipan surat dari Nisa. Saya kemarin kan 'sambang' ke pondok terus Nisa menitipkan surat untuk bu Bad," ucap Sriamah sambil menyerahkan secarik kertas yang dilipat menjadi persegi.
Anak bungsu Sriamah memang satu pesantren dengan Nisa. Mereka dulu satu sekolah saat masih duduk di sekolah dasar dan untuk tempat tinggal, mereka tetangga kampung. Sudah menjadi tradisi jika anak pesantren menitipkan surat untuk keluarganya jika membutuhkan sesuatu, karena di tempat Nisa menimba ilmu itu, peraturan cukup ketat. Keluarga hanya diperkenankan menjenguk satu bulan sekali.
"Terima kasih ya bu Sri sudah bersedia repot-repot kemari hanya untuk mengantar surat dari Nisa," ucap Badiah sambil mengusap lengan Sriamah.
"Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya pamit ya Bu, karena masih ada keperluan di tempat lain," ucap Sriamah dengan diiringi senyum yang manis.
Badiah kembali masuk ke dalam lapaknya setelah Sriamah pergi. Dia duduk di bangku bambu yang ditempat Fina saat ini. Wanita paruh baya itu segera membuka surat dari putri bungsunya karena pasti ada sesuatu yang penting sehingga Nisa mengirim pesan tertulis untuknya.
Assalamualaikum, Bu.
Ibu dan Mbak Fina kapan sambang ke pondok? Nisa kangen loh sama ibu dan Mbak. Sabun mandi, detergen, sampo, pembalut, pasta gigi juga sudah menipis, Bu. Kalau sambang jangan lupa dibawakan ya Bu.
Bu maaf jika Nisa merepotkan ibu. Kemarin pihak sekolah meminta agar Nisa segera melunasi buku, tunggakan SPP dan sisa pembayaran uang gedung. Pihak sekolah tidak akan memberikan kartu ujian sebelum lunas karena Nisa kan sudah lama menunggak. Ujian semesternya minggu depan, Bu. Nisa harap ibu segera datang ke pondok bersama mbak Fina. Cukup itu saja kabar dari Nisa, sekali lagi Nisa minta maaf karena sudah merepotkan ibu.
Wassalamu'alaikum
Nisa
Badiah hanya bisa mengela napas setelah membaca surat dari putri bungsunya. Kepalanya terasa semakin berat karena tidak tahu harus mencari uang kemana lagi untuk membayar biaya sekolah Nisa. Semenjak suaminya meninggal, ekonomi keluarga kecilnya menjadi berantakan. Hutang di saudara pun mulai menumpuk.
"Kenapa, Bu?" tanya Fina setelah mengamati ekspresi wajah ibunya, "Nisa minta sambang ya, Bu?" Fina mencoba menerka masalah yang sedang dipikirkan oleh ibunya.
"Iya. Pihak sekolah menyuruh Nisa segera membayar tunggakan biaya karena minggu depan ujian. Ibu harus mencari uang kemana lagi ya, Fin? Ini juga waktunya bayar angsuran bank. Tadi pagi kan sudah dihubungi pihak bank," gumam Badiah tanpa menatap Fina.
"Berarti semuanya harus dibayar dalam minggu ini ya, Bu?" tanya Fina dengan suara yang lirih, "apa kita mencari pinjaman saja Bu?" usul Fina.
"Memang kita mau nyari pinjaman kemana lagi, Fin? Kita kan sudah punya hutang di lek Har dan lek No." Badiah menatap wajah putri sulungnya sekilas dan setelah itu beralih ke arah lain.
Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah manis Badiah. Hal itu membuat Fina merasa sedih dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semenjak ayahnya meninggal, kondisi ekonomi keluarganya menurun drastis. Sebagai anak pertama, Fina merasa tidak berguna karena hanya bisa membantu Badiah berjualan di pasar. Beberapa kali Fina melamar kerja dengan ijazah SMA nya tetapi tidak diterima, karena dia tidak memiliki pengalaman apapun.
"Fin, ibu mau ke lapaknya si Anin sebentar. Waktunya bayar arisan sekarang," pamit Badiah setelah berdiri dari tempatnya setelah mengambil uang dari dompet.
Sementara Fina hanya bisa mengela napas yang berat setelah melihat kepergian Badiah. Lagi dan lagi perasaan bersalah hadir kembali karena tidak bisa membantu apapun selain berjualan di lapak kecil ini.
"Eh Fin, melamun aja sih! Lagi jatuh cinta atau gimana nih?" Tiba-tiba saja suara Mega yang tak lain adalah penjual ayam di samping lapak Badiah mengejutkan Fina.
"Jatuh cinta sama siapa sih Mbak Mega? Cak Dayat udah menikah, Cak Amin juga sudah tunangan." Fina mencoba tersenyum saat menanggapi candaan wanita berusia tiga puluh lima tahun itu.
"Cari lagi aja! Tuh ada anaknya bakul tomat masih fresh. Mau gak?" tawar Mega sambil menunjuk lapak yang ada di ujung pasar.
"Mbak Me ada info pekerjaan gak? Kalau ada bagi infonya dong Mbak, yang menerima pegawai dengan ijasah MA(Madrasah Aliyah)." Fina berusaha mencari pekerjaan setelah teringat beban berat yang dipikul ibunya.
"Kemarin budeku yang kerja jadi pembantu di Surabaya nawarin kerjaan, Fin. Itu jadi pengasuh anak-anak. Katanya gajinya lumayan besar dan harus tinggal di sana," ucap Mega setelah teringat tentang informasi yang disampaikan saudara ibunya.
"Selain itu gak ada ya Mbak?" Fina terlihat lesuh setelah mendengar pekerjaan yang disebutkan oleh Mega.
"Eh, jangan salah ya. Kata budeku gajinya gede loh, Fin. Tiga juta lima ratus gaji pokoknya. Biasanya kan kalau jadi pengasuh cuma dua juta, Fin. Kalau di Surabaya yang ada di sebelah rumah majikan budeku, kamu tinggal di rumah majikan dan dapat makan. Kamu kan sabar dan telaten sama anak kecil. Kenapa gak dicoba aja," jelas Mega tanpa dilebih-lebihkan.
Fina nampaknya sedang memikirkan tawaran dari Mega. Tiga juta lima ratus adalah nominal yang cukup banyak untuk Fina. Mungkin dengan gaji tersebut dia bisa membantu biaya mondok dan sekolah Nisa, serta membayar angsuran bank setiap bulannya. Dengan begitu Badiah tidak perlu mencari pinjaman ke orang lain. Adakalanya Fina merasa sakit hati saat mendengar kalimat pedas dari saudara ibunya saat meminta bantuan.
Terkadang memang seperti itu, kita akan dipandang sebelah mata hanya karena harta.
"Begini saja Mbak Me, sekarang pastikan dulu apa pekerjaannya masih ada. Nanti kabari aku lagi deh Mbak Me, tapi ya gitu jangan pas ada ibu ya," ucap Fina setelah berpikir tentang pekerjaan tersebut.
***
Kewajiban tiga rakaat telah selesai ditunaikan oleh Fina dan Badiah. Wanita berbeda generasi itu duduk di ruang tengah yang biasa mereka tempati untuk berkumpul bersama keluarga sekaligus ruang makan. Televisi berukuran 21 inch pun ada di sana sebagai pelengkapnya.
"Ibu kenapa menangis?" Fina merasa heran ketika melihat ibunya yang sedang terisak dengan tatapan yang tak lepas dari layar televisi.
"Ibu sedih saja Fin ketika melihat hafidzah itu. Ibu jadi kepikiran Nisa di pondok. Kalau keadaannya ekonomi kita seperti ini terus, apakah mungkin Nisa berhasil hafalan Al-Qur'an. Ibu rasanya tidak sanggup membiayainya lagi." Isak tangis Badiah terdengar pilu. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak sanggup membayangkan bila hal itu terjadi, karena cita-cita almarhum suaminya adalah memiliki putri yang berhasil menghafalkan Al-Qur'an.
Fina semakin tidak tega melihat gurat kesedihan di wajah yang mulai keriput itu. Mungkin inilah saat yang tepat untuk membahas tentang pekerjaan yang ditawarkan oleh Mega. Kebetulan pekerjaan tersebut belum terisi oleh orang lain. Gadis cantik itu pun duduk bersimpuh di depan kursi yang ditempati oleh Badiah.
"Bu, Fina ingin bicara dengan Ibu," ucap Fina sambil menyentuh lutut Badiah yang tertutup daster batik.
"Ada apa, Fin? Apa lek Har menelfonmu agar kita segera membayar hutang?" tanya Badiah dengan suara yang bergetar.
"Tidak. Bu. Fina ingin minta izin bekerja ke Surabaya, Bu," gumam Fina dengan suara yang lirih.
"Kerja apa, Nak? Gak! Ibu gak mengizinkan kamu. Maaf jika keluh kesah ibu menjadi beban pikiranmu, tetapi Ibu tidak mau jika kamu harus bekerja, apalagi sampai ke Surabaya," tolak Badiah seraya menatap wajah putrinya dengan intens.
Fina menceritakan tentang pekerjaan yang disampaikan Mega tadi pagi. Dia berusaha keras meyakinkan ibunya agar memberinya izin untuk pergi ke Surabaya, "Bu, Fina mohon untuk kali ini saja, berikan izin untuk Fina bekerja. Tidak ada jalan lain, Bu. Fina tidak mau jika sampai Nisa putus mondok karena biaya. Lagi pula Fina bekerja hanya untuk sementara saja, sampai Nisa selesai sekolah dan mondoknya, Bu." Fina menatap Badiah penuh harap.
Badiah semakin tergugu setelah mendengar permohonan putri sulungnya. Sungguh, dari lubuk hati yang paling dalam, Badiah tidak mau jika Fina bekerja sebagai seorang pengasuh, apalagi jauh dari rumah. Namun, keadaan ekonomi yang menghimpit membuatnya bimbang akan keputusan itu.
"Jika kamu pergi ke Surabaya, bagaimana dengan latihan bela dirimu, Nak? Siapa yang akan melatih anak-anak di balai desa?" tanya Badiah ketika teringat anak-anak yang membutuhkan Fina.
"Nanti Fina akan bicara dengan kang Ali. Lagi pula masih banyak pelatih yang lain, Bu. Sekarang yang paling penting adalah restu dari Ibu. Boleh ya Bu ... ini adalah pekerjaan yang mudah kok, Bu." Fina masih berusaha meyakinkan Badiah.
Wanita paruh baya itu pun termenung beberapa menit lamanya. Mungkin saat ini dia sedang berperang dengan perasaannya sendiri, "baiklah, kalau memang ini adalah jalan dari Allah untuk keluarga kita, ibu mengizinkan kamu pergi ke sana." Dengan terpaksa Badiah pun memberikan izin kepada putrinya. Beberapa nasihat untuk Fina terdengar di sana, karena Badiah tidak mau jika Fina sampai lupa dengan pedoman agama yang sudah dia pelajari di Pesantren selama enam tahun lamanya.
"Terima kasih, Bu. Fina pasti akan melakukan yang terbaik. Fina tidak akan melakukan sesuatu yang bisa mencoreng keluarga kita," ucap Fina dengan senyum yang manis. Air mata pun tak bisa terbendung lagi, "kalau begitu Fina sekarang mau menemui mbak Mega dan kang Ali untuk menyelesaikan urusan sebelum Fina berangkat ke Surabaya," pamit Fina sebelum beranjak dari tempatnya.
Mungkinkah keputusan Fina bisa merubah perekonomian keluarga atau justru memperburuk keadaan?
...🌹To Be Continue 🌹...
Aroma obat-obatan menyeruak ke dalam indera penciuman seorang pria yang duduk di sisi bed pasien. Tatapan matanya tertuju kepada sosok wanita cantik yang sedang terbaring lemah dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya. Tentu keadaan ini berhasil membuat perasaan pria itu semakin hancur. Istri yang sangat dicintainya harus bertahan karena penyakit yang dideritanya.
"Nurma, aku harap kamu segera sembuh. Anak kita di rumah sedang menantimu. Please, lawan penyakit ini demi aku dan juga Elza," gumam pria tersebut saat menggenggam tangan dingin sang istri.
Tak berselang lama, kelopak mata wanita cantik itu terbuka. Dia tersenyum tipis ketika melihat pria yang dicintainya selalu ada di sisinya, "kenapa Mas masih ada di sini? Tadi katanya mau pulang?" tanya Nurma dengan suara yang lirih.
"Aku masih ingin di sini bersamamu. Perasaanku mendadak tidak enak jika aku pulang." ucap pria tampan itu tanpa melepaskan genggaman tangannya.
"Seharusnya Mas pulang saja. Kasihan Elza di rumah sendiri. Dia membutuhkan Mas," ucap Nurma dengan suara yang bergetar.
"Ada ibu di rumah kita. Jangan mengkhawatirkan Elza." Pria tersebut tersenyum simpul setelah mengatakan hal itu, "kamu harus cepat sembuh agar kita bisa bermain lagi dengan Elza."
"Mas," gumam Nurma dengan tatapan sendu.
"Ada apa?"
"Maaf ya Mas karena aku belum bisa menjadi istri dan ibu yang baik untuk Mas dan Elza. Mas harus lebih bersabar ya saat menghadapi sikap anak kita. Jika aku tidak bisa menemani Mas dan Elza lagi, aku harap Mas bisa menjadi ayah dan ibu yang baik untuk Elza. Jangan sampai habis kesabaran jika anak kita nanti nakal dan memancing emosimu."
Bruak!
Suara hantaman keras memekik di telinga. Hal itu berhasil membuat bayang-bayang kenangan di masa lalu harus hilang begitu saja. Wajah cantik yang sudah lama dirindukan itu menghilang dari pikiran dan yang tersisa hanya pesan terakhir yang disampaikan oleh wanita bernama Nurmala.
"Nurma, aku merindukanmu," gumam lirih dari seorang pria yang berdiam diri di ruang tamu.
Adalah Benny Chandra Suherman. Seorang duda berusia tiga puluh dua tahun yang sudah menyandang status duda satu anak selama dua tahun ini. Istrinya meninggal karena menderita kanker payudara stadium akhir. Pernikahan mereka yang belum lama itu telah dikarunia anak laki-laki bernama lengkap Elzayin Rayyan Suherman. Kini anak laki-laki itu sudah berusia tiga tahun.
"Maaf, Pak. Itu ... pintu kamar Elza jebol, Pak." Laporan yang disampaikan pengasuh Elza berhasil membuat Benny memijat kepalanya.
"Ya Tuhan. Apalagi ini," gumam Benny dengan suara yang lirih.
Benny serasa hilang kesabaran saat menghadapi tingkah laku putra pertamanya itu. Dia sendiri sampai bingung harus bagaimana lagi menyikapi tingkah aktif putranya, "ya sudah biarkan saja. Nanti akan ada tukang yang memperbaikinya," ucap Benny tanpa menatap pengasuh putranya.
"Maaf, Pak. Apakah saya bisa pulang secepatnya, Pak? Saya benar-benar sudah tidak sanggup menghadapi Elza. Hari ini saya dipukul dan dijadikan objek musuh lagi, Pak."
Untuk yang kesekian kalinya Benny mendengar keluh kesah seperti ini dari beberapa pengasuh yang pernah merawat Elza. Mereka hanya bertahan beberapa bulan saja saat menghadapi bocah tersebut. Entah mengapa, putra dari Benny dan Nurmala itu suka sekali dengan kekerasan dan akan dilampiaskan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Benny sendiri pun sudah sering merasakannya dan perlu diakui jika pukulan tangan Elza terasa sakit layaknya pukulan orang dewasa.
"Kamu tidak bisa pergi dari rumah ini sebelum saya dapat penggantimu," ucap Benny seraya menatap pengasuh putranya. Bukan tanpa sebab Benny melarang pengasuh putranya pergi, karena tidak ada yang membantunya jika belum mendapatkan pengasuh pengganti.
"Kamu istirahat dulu saja. Saya akan melihat Elza," ujar Benny sebelum beranjak dari tempatnya.
Helaan napas berat mengiringi langkah Benny menuju kamar putranya yang ada di lantai dua. Lebih tepatnya bersebelahan dengan kamar pribadinya. Satu persatu anak tangga telah dilaluinya hingga sampai di depan kamar dengan keadaan pintu yang terlepas dari engselnya. Benny hanya bisa menggeleng pelan melihat keadaan tersebut. Dia heran saja apa kiranya yang sudah dilakukan putranya sampai pintu kamar itu terlepas dari engselnya. Benny membuka dan menyandarkan pintu tersebut di dinding agar tidak membahayakan keselamatan Elza.
"Elza. Kenapa pintunya lepas begini?" tanya Benny setelah masuk ke dalam kamar putranya. Tentu dia harus menahan amarah yang sudah bergemuruh di dalam dada.
Sementara Elza hanya menatap sekilas kehadiran Benny di sana dan setelah itu kembali fokus pada layar ponsel yang ada di atas pangkuannya. Tentu sikap ini berhasil membuat Benny semakin meradang.
"Elza! Kalau ditanya itu harus dijawab!" Mungkin karena kesal, duda tampan itu sampai hilang kendali dan suaranya semakin meninggi.
"Tadi El hanya main, Papa," jawab bocah berusia tiga tahun itu sambil menunjukkan video yang dia lihat di ponselnya.
"Astaga!" gumam Benny setelah melihat video di ponsel tersebut.
Elza tidak bisa lepas dari ponsel yang sengaja dibelikan Benny untuk mengatasi kenakalan putranya. Sebagai orang tua tunggal, tentu Benny memilih jalan pintas yang bisa membuat putranya asyik tanpa harus menggangu kegiatannya. Alhasil Elza pun kecanduan bermain ponsel hingga mempengaruhi pertumbuhannya dalam bicara. Bocah berusia tiga tahun itu jarang sekali berbicara. Dia cenderung melakukan aktifitas fisik ketika meminta sesuatu yang dia inginkan. Jika pengasuhnya tidak mengerti apa yang dia minta, maka pukulan pun melayang.
"Nurma. Kamu dulu ngidam apa sih?" Itulah yang diucapkan Benny setiap kali menghadapi sikap putranya. Padahal seharusnya dia bercermin dan melihat kesalahan dalam mendidik putranya.
Benny memutuskan keluar dari kamar Elza karena takut semakin emosi saat menghadapi sikap acuh bocah tersebut. Dia turun ke lantai satu dan mencari asisten rumah tangganya yang bernama Dewi untuk bertanya tentang pengasuh baru untuk putranya.
"Wi, bagaimana dengan pengasuh barunya? Apa sudah dapat?" tanya Benny setelah sampai di dapur untuk menemui Dewi yang sedang menyiapkan makan malam.
"Saya baru saja dapat kabar dari mak Asih jika tetangga saudaranya yang dari Mojokerto bersedia bekerja di sini. Katanya sih masih sangat muda, Pak," ucap Dewi sambil menghadap Benny. Asisten rumah tangga yang berasal dari Magetan itupun seorang janda dan masih terbilang cukup muda karena masih berusia dua puluh delapan tahun.
"Baiklah. Kalau bisa suruh datang secepatnya," ucap Benny sebelum berlalu dari dapur.
Duda tampan itu melangkahkan kakinya menjauh dari dapur dan menemui pengasuh Elza yang masih ada di ruang tamu. Ada rasa kasihan saat Benny melihat wanita berusia tiga puluh lima tahun itu menangis di sana. Mungkin pengasuh tersebut sedang meratapi nasib dan merasakan beberapa bagian tubuhnya yang sakit akibat ulah Elza.
"Tolong bersabarlah dulu. Saya sudah mendapatkan pengasuh baru untuk Elza. Kamu bisa berhenti dari sini setelah pengasuh baru datang," ucap Benny seraya menatap pengasuh putranya dengan intens.
...🌹To Be Continue 🌹...
...Ada yang pernah mengalami gak? Berada di dekat anak aktif yang gak banyak bicara karena pengaruh ponsel? Share di kolom komentar yuk!...
...🌷🌷🌷🌷🌷...
Hari terus berganti karena pengaruh waktu. Dua hari telah berlalu begitu saja, meninggalkan kenangan yang ada. Hari ini adalah keberangkatan Fina ke Surabaya. Sejak pagi buta dia sudah berangkat dari Mojokerto menuju Surabaya dengan memilih kereta api sebagai transportasi nya. Kereta yang ditumpangi Fina sampai di stasiun tepat pukul delapan pagi. Ini adalah pengalaman pertama bagi Fina, berada di kota besar seorang diri dengan berbekal alamat pemberian dari Mega.
Drama kesedihan yang diperankan Badiah berlangsung sejak kemarin. Wanita yang menyandang status janda itu sebenarnya tidak rela melihat putrinya menjadi seorang pengasuh. akan tetapi bujuk rayu yang diucapkan Fina telah berhasil meluluhkan hati wanita itu. Dia hanya bisa membekali Fina dengan doa dan ridho darinya, serta beberapa lembar rupiah hasil pinjaman dari tetangga untuk ongkos keberangkatan Fina.
"Mbak, sudah sampai di alamat sesuai yang ada di aplikasi," ucap driver ojek online yang dipesan oleh Fina.
"Bapak yakin ini rumahnya?" tanya Fina sambil menunjuk rumah yang cukup besar di komplek elit yang ada di kawasan Surabaya barat itu.
"Iya, Mbak. Ini sesuai dengan alamat yang Mbak maksud," ucap driver ojek online itu.
Fina membuka tas ranselnya untuk mengambil selembar rupiah berwarna hijau yang akan dibayarkan kepada driver tersebut, "terima kasih, Pak," ucap Fina setelah menyerahkan uang pembayaran sesuai yang ada di aplikasi.
Awalnya Fina ragu untuk menekan bel yang ada di pagar depan. Namun, setelah beberapa menit meyakinkan diri jika tidak salah alamat, pada akhirnya gadis berhijab itu menekan bel yang ada di sana beberapa kali. Ada seorang wanita yang keluar dari rumah tersebut dan buru-buru membukakan pagar besi tersebut.
"Mau cari siapa ya, Mbak?" tanya wanita yang tak lain adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah tersebut. Dewi.
"Apa benar ini kediaman bapak Benny Chandra Suherman?" tanya Fina dengan tutur kata yang sopan dan lembut.
"Iya benar. Ini dengan Mbak Fina dari Mojokerto itu ya?" tebak Dewi setelah mengamati Fina dari ujung rambut hingga ujung kaki, "mari masuk, sudah ditunggu ibu di dalam," ajak Dewi sambil menggeser tubuhnya untuk memberi jalan kepada Fina.
Fina mengedarkan pandangan ke sekeliling teras rumah tersebut. Tak lupa dia melepas sepatunya sebelum menginjakkan kaki di teras rumah yang nampak sangat bersih itu, "Mbak, ini sepatu saya ditaruh di mana? Apa boleh diletakkan di sini?" tanya Fina setelah melepas sepatunya.
"Loh tidak usah dilepas, Mbak. Dipakai saja," ucap Dewi seraya menatap Fina.
"Saya lepas saja, Mbak." Fina tersenyum tipis sambil mengangguk pelan.
Dewi pun menunjukkan rak yang biasa dipakai menyimpan alas kaki di sisi kanan teras. Setelah itu Dewi membawa Fina ke dalam rumah untuk menghadap ibu dari Benny, karena pria tersebut sedang pergi ke tempat kerjanya.
"Silahkan duduk," ucap Dewi setelah sampai di ruang keluarga. Dia menunjuk sofa tunggal yang ada di sana, "ibu mungkin masih di atas bersama Elza," ucap Dewi sambil menunjuk ke atas.
"Iya, Mbak." Fina tersenyum manis saat menanggapi ucapan Dewi.
Setelah menunggu selama beberapa menit, pada akhirnya ada seorang wanita paruh baya berjalan ke tempat Fina berada. Wanita dengan penampilan cukup anggun tanpa memakai jilbab itupun akhirnya tiba di ruang keluarga. Wanita yang biasa dipanggil dengan nama Bu Ani itu duduk tak jauh tempat Fina berada.
"Siapa namamu?" tanya bu Ani seraya menatap wajah cantik Fina.
"Nama saya Fina, Bu," jawab Fina dengan suara yang terdengar lirih.
"Kamu yakin ingin bekerja sebagai pengasuh cucu saya? Karena yang saya lihat kamu masih sangat muda," tanya bu Ani sambil mengamati Fina.
"Yakin, Bu. Saya akan berusaha keras untuk mengasuh cucu ibu dengan baik. Saya membutuhkan pekerjaan ini, Bu," ucap Fina seraya menatap bu Ani.
"Baiklah. Saya harap kamu betah tinggal di sini. Cucu saya cukup aktif, jadi saya harap kamu lebih bersabar. Kamu bisa mulai kerja hari ini dan nanti akan ada yang menjelaskan bagaimana pekerjaanmu. Kamu bisa belajar ke pengasuh lama sebelum dia pulang besok pagi," ucap bu Ani dengan sikap yang tegas. Pasalnya wanita paruh baya itu sudah lelah harus bergonta-ganti pengasuh, "soal gaji nanti kamu akan diberitahu oleh putra saya sendiri. Mari ikut saya ke atas, akan saya tunjukkan di mana kamar Elza." Bu Ani beranjak dari tempatnya.
Fina meletakkan tas ranselnya di lantai dan setelah itu dia mengikuti langkah bu Ani menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai dua. Fina pun masuk ke dalam kamar yang ditempati Elza setelah bu Ani membukakan pintu.
"Elza Sayang," sapa bu Ani saat menghampiri cucunya yang sedang asyik dengan ponsel di tangannya, "coba lihat siapa yang datang," ucap bu Ani sambil merebut ponsel yang ada di tangan Elza.
"Uti!" teriak bocah berusia tiga tahun itu sambil menatap bu Ani dengan tatapan tak suka.
"Nanti Uti kembalikan ponselnya. Sekarang lihat dulu siapa yang datang." Bu Ani menunjuk Fina yang sedang berdiri di dekat pintu.
Fina tersenyum manis ketika tatapan matanya beradu pandang dengan Elza. Senyum ramah dan wajah kalem Fina berhasil membuat tatapan bocah berusia tiga tahun itu terpaku padanya.
"Dia namanya Mbak Fina. Setelah ini Elza dirawat Mbak Fina ya. Kalau main juga sama Mbak Fina, oke?" Bu Ani memberikan penjelasan singkat kepada cucunya itu.
"Hallo Elza ... Sekarang kita tos dulu yuk! Mulai sekarang kita berteman." Fina semakin mendekat ke tempat Elza sambil mengangkat telapak tangannya. Dia mencoba untuk mendekati bocah yang akan diasuhnya beberapa waktu ke depan.
Elza pun beranjak dari tempatnya. Dia mendekat ke tempat Fina berada saat ini untuk membalas 'tos' dari Fina. Namun, tanpa diduga sebelumnya, Elza justru mengeluarkan pukulan andalannya ke telapak tangan Fina.
Tentu sebagai seorang yang biasa berlatih bela diri, Fina reflek menjauh dan segera mengambil posisi kuda-kuda ketika mendapat serangan mendadak dari Elza. Bocah kecil itu pun semakin antusias ketika melihat aksi Fina seperti video yang sering kali dia tonton di entup.
"Gelot a!" tantang Elza dengan bahasa yang kurang jelas. 'Gelot' adalah bahasa jawa yang biasa dipakai untuk menantang bertengkar kepada lawan.
"Elza! Tidak boleh seperti itu! Astaghfirullah!" Bu Ani mengelus dada ketika melihat sikap cucunya, "Fin, maafkan sikap Elza, ya." Bu Ani terlihat tidak enak hati kepada Fina.
"Tidak masalah, Bu. Memang anak kecil seperti itu, Bu," Fina tersenyum manis sambil menatap bu Ani. Dia kembali ke posisi awal.
Wanita paruh baya itu segera mengembalikan ponsel milik Elza agar adegan kekerasan itu tidak terjadi lagi. Beliau takut saja jika Fina mendadak kabur seperti pengasuh-pengasuh sebelumnya ketika tahu bagaimana Elza yang sebenarnya.
"Sebaiknya kita bicara diluar saja. Biarkan Elza di sini sendiri," ajak bu Ani seraya berdiri dari tempatnya, "akan saya tunjukkan di mana kamarmu dan kamu akan bertemu dengan pengasuh lama Elza di belakang," ujar bu Ani setelah keluar dari kamar Elza.
...🌹To Be Continue 🌹...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!