Bab 10: Sikap yang tak Biasa

Musim kemarau telah berlalu. Kini telah datang musim dimana langit sering kali menangis menumpahkan airnya. Musim hujan adalah waktu yang tepat, dimana pohon mangga mengeluarkan hasilnya.

Dengan bentuknya yang mungil, mangga-mangga itu berjajaran rapi tergeletak di teras kelas. Sekitar ada 7 hingga 10 buah yang berhasil didapatkan. Dengan kulitnya yang semburat hijau tua. Ada yang masih meneteskan getahnya, ada pula yang sudah tidak mengeluarkan getah apapun. Ada juga teksturnya yang sedikit empuk.

Dalam sekejab, di bawah pohon kasturi itu telah berserakan banyak dedaunan hijau yang masih segar hasil dari kekreatifan sang kakak-kakak Senior.

Bisa dibilang, kami adalah murid yang sedikit nakal dalam hal makanan gratis. Ya,,, anggap saja ini harga setimpal dengan pembiayaan uang gedung sekolah Kami.

Karena telah banyak pengalaman tentang budidaya ini setiap musim hujan. Kak Micky dan kak Lucky telah faham dimana letak pisau jika mereka membutuhkan.

Di ruangan dekat greenhouse, terdapat pisau yang kadang digunakan untuk proses pembibitan.

Saat akan memakan buah mangga ini, Kami membutuhkannya. Sehingga kami harus berpindah tempat ke sana.

Dengan mengambil kantong plastik seadanya. Lalu memasukkan ke dalamnya. Kemudian membawanya ke arah greenhouse.

Kami menikmati mangga itu di depan teras ruangan kak Micky dan kak Lucky.

Memakan buah yang manis, segar dan renyah. Ditemani dengan pemandangan lahan produksi Agrikultura. Bersama angin yang berhembus sepoi-sepoi. Ini adalah seuah aktifitas yang hampir sama dengan rekreasi. Alias nikmat alam.

Aku menggigit buah mangga itu yang telah kukupas dan ku irisi bentuk sepertiga setengah dari bagian setengahnya.

"Krezzzhhh"

Hem,,,, rasanya manis, renyah dan unik berpadu menjadi satu di indra pengecapku. Cita rasanya sungguh luar biasa. Membuat 1 suapan menagih ke suapan yang berikutnya. Membuatku kikuk dan tak peduli lainnya lagi selain memakannya.

"Wah,,, ini rasanya enak sekali kak" kataku dengan menikmati mangga yang berada di depanku.

Karena Aku merasa Kami berempat adalah teman sekarib. Sudah tak ada malu-malu kucing lagi bagiku kepada kakak seniorku. Dengan lahap Aku memakannya. Seperti kucing gelandangan yang sedang kelaparan.

"Hfffftt,,, Memang sering kali yang memiliki tubuh kecil yang paling banyak makannya" kata kak Lucky sedikit menahan tertawanya.

Tak ku sadari Dia memperhatikan tingkahku sejak tadi.

Mendengar perkataannya Aku menoleh ke Kiki dan kak Micky. Dibandingkan Mereka, memang ukuran tubuhku lebih kecil dari Mereka. Sudah jelas jika kak Lucky sengaja menyindirku.

"Justru yang kecil harus lebih banyak makan, biar cepat tambah besar tahu" jawabanku tak mau kalah.

"Dari dulu badanmu juga segitu. Lari kemana makanan yang selama ini kamu makan. Atau jangan-jangan kamu cacingan ya?" kata kak Lucky.

"Apa cacingan? Ya nggak lah" jawabku.

"Kamu pernah meminum obat cacing?" tanyanya.

"Nggak ngapain?" tanyaku.

"Hewan saja butuh 6 bulan sekali diberi obat cacing. Itu juga berlaku pada manusia. Mick, lain kali belikan Milanie obat cacing geh! " kata kak Lucky.

"Ih, apaan sih kenapa kak Micky yang harus beli. Aku sendiri juga bisa" jawabku sedikit kesal dengan sikap kak Lucky yang suka bersikap seolah kak Micky adalah pacarku.

"Ha, ha, ha, ha, ha," kak Lucky terkekeh melihat expresi sebalku.

Aku duduk bersebelahan dengan Kiki. Sedangkan kak Micky duduk di sebelah kananku bersama kak Lucky di samping kanannya.

Sedangkan kak Micky dan Kiki Mereka hanya memandangi keakrabanku sama kak Lucky.

Karena semenjak kak Micky berteman dengan kak Lucky, selama ini dia tidak pernah menawarkan perkataan yang ramah. Terutama kepada perempuan. Dia hanya berkata sepentingnya saja. Namun saat denganku, baru ini kak Lucky melontarkan candaan. Seperti tak ada batasan yang dipasang antara Aku dan kak Lucky.

Apakah memang karena kak Micky telah memberitahu kak Lucky tentang perasaannya. Sehingga kak Lucky menganggap Milanie teman akrabnya juga? Atau memang ada alasan yang lain?

Pertanyaan itulah yang dipikirkan kak Micky melihat sikap teman karibnya yang tak seperti biasanya itu.

...****************...

Hari semakin gelap, membuat Kami terpaksa harus pulang dari sana. Dengan berat hati Aku melangkah pulang.

Kiki yang pergi sekolah berkendara sepeda motor itu menawarkan tumpangan kepadaku. Kebetulan teman yang selalu diboncengnya tidak masuk hari ini karena dia sakit. Kiki dan teman tetangganya selalu berboncengan setiap pergi ke sekolah. Dengan bensin yang bergantian pula. Sistem ini lebih hemat dari pada harus naik sepeda sendiri-sendiri.

"Mil, bareng Aku saja." kata Kiki.

Aku mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui ajakan Kiki. Melihat hari semakin gelap. Segera pulang adalah pilihan terbaik.

Menyetir sepeda motor dengan memakai helmnya yang dibuka kaca depannya. Suara yang terbawa angin itu menyapa telingaku.

"Mil, sumpah hari ini Aku seneng banget" kata Kiki.

"Sama, Aku juga senang dengan mangganya" jawabku.

"Iya mangganya memang enak. Tapi Aku lebih seneng banget bisa main bareng sama kak Lucky. Jantungku rasanya sangat berdebar tadi. Senyumnya, suaranya, bolamatanya yang bulat namun sipit seperti kelinci itu mampu menggugat nadiku untuk berhenti bekerja" kata Kiki.

"Ah, lebay banget sih lo Ki" kataku.

"Beneran Mil, lain kali kalo ada kak Lucky ajak Aku lagi ya Ki hehe" kata Kiki.

"Iya" jawabku.

"Ya udah Aku masuk, mampir dulu yuk!" kataku.

"Sudah mau gelap Mil, kapan-kapan aja. Aku langsung pulang ya!" kata Kiki.

"Iya hati-hati" kataku.

"Dah"

"Dah"

Aku berjalan masuk ke lorong gang antara perumahan menuju tempat kamar kosku dengan menggenggam kantong plastik berwarna merah jambu. Yang di dalamnya terisi 3 buah mangga. Sisa yang tak termakan karena waktu berlalu sangat cepat.

Dengan senyum-senyum Aku memeganginya erat-erat. Karena Aku terlanjur jatuh cinta untuk pertama kali dengan rasanya.

Membuat ku memegang erat kantongnya saat dibonceng oleh Kiki. Antisipasi agar tak ada satu pun buah yang jatuh.

Aku melanjutkanku kegiatan rutinku dengan mengaji setelah membersihkan badanku.

Di dekat kos ku terdapat sebuah masjid yang terletak di dalam gang. Masjid ini sangat dekat berjarak 1 meter dari kamar kos ku. Setiap maghrib Aku selalu mengikuti sholat berjamaah di sana. Lalu dilanjutkan dengan mengaji tentang membaca dan tafsir Al-qur'an.

Murid yang mengaji tak terlalu banyak. Berjumlah 6 orang untuk putrinya dan 15 untuk laki-lakinya. Bangku antara laki-laki dan perempuan dipisah. Dengan 1 orang ustad yang berada di depan. Kami selalu mendengarkan setiap perkataannya.

Guru ngajiku ini kira-kira telah menginjak usia 65 tahun. Dia tak dapat melihat, namun Dia hafal hadits dan tafsir Al-qur'an. Penglihatannya ini telah diambil sejak 2 tahun yang lalu. Jadi matanya tak dapat melihat bukan dari Dia lahir. Melainkan ada penyakit yang disebut katarak mata yang berhasil menggerogoti matanya.

Dengan bersilih ganti kami membaca Al-qura'an secara bergiliran.

Lalu ustadku membunyikan arti ayat yang telah kami baca.

Sungguh Aku kagum, sudah 2 tahun tak melihat, namun dia masih dapat membunyikan arti ayat Al-qur'an dengan tepat dan kata-kata yang sama persis yang ditulis di mushaf Al-qur'an.

Membuatku ingin berlomba menghafalkan nya juga.

...----------------...

Terpopuler

Comments

꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂

꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂

tanggung jawab kak, aku jadi kepengen makan buah mangga juga nih.. ☹️☹️☹️

2023-03-07

1

mom mimu

mom mimu

jadi tamparan buat diri sendiri yang masih susah hafal dan ngerti kalo masalah ngaji Al Qur'an 😢😢

semangat kakak... 💪🏻💪🏻💪🏻
aku hadiahi satu iklan deh...

2022-12-13

2

linda sagita

linda sagita

nggak asyik ah, sahabat tp kayak nggak akur, jangan dwkat2 lah am si lucky

2022-12-06

1

lihat semua
Episodes
1 Aku adalah Milanie
2 Bab 1 Hari Pertama Mengikuti Extrakulikuler
3 Bab 2 Menghindari Pertemuan
4 Bab 3 Naik ke Menara
5 Bab 4: Persiapan Diklat
6 Bab 5: Diklat
7 Bab 6: Resmi menjadi Anggota PMR
8 Bab 7: Makan di Kantin
9 Bab 8: Peduli tapi Tak ingin dilihat
10 Bab 9: Memetik Mangga Kasturi
11 Bab 10: Sikap yang tak Biasa
12 Bab 11: Mereka menganggap hubunganku apa?
13 Bab 12: Dia Menerorku
14 BAB 13: Dia mengajakku Pergi
15 Bab 14: Mendadak menjadi Singa
16 Bab 15: Dia Cemburu pada Mereka
17 Bab 16: Bertengkar dengan diri sendiri
18 Bab 17: Rindu yang mulai melambai-lambai
19 Bab 18: Keputusanku
20 Bab 19: Kuputuskan, Aku tak memilih siapapun
21 Bab 20: Aku kabur dari Rumah
22 Bab 21: Bertemu dengannya
23 Bab 22: Bermimpi
24 Bab 23: Jawaban yang Menggantung
25 Bab 24: Menyambut Kedatangan Tamu
26 Bab 25: Mencari Pekerjaan
27 Bab 26: Hari Pertama Aku Bekerja
28 Bab 27: Ternyata Dia Bozku
29 Bab 28: Laporan Salah
30 Bab 29: Meeting
31 Bab 30: Memilih Design yang Terbaik
32 Bab 31: Design Rumah Persyaratan
33 Bab 32: Menyukai Pekerjaan
34 Bab 33: Akhirnya bertemu
35 Bab 34: Kustomer yang Menyebalkan
36 Bab 35: Rencananya yang Gagal
37 Bab 36: Pulang Malam
38 Bab 37: Sedikit ucapan Terimakasih
39 Bab 38: Dia Kembali
40 Bab 39: Dia Menculikku
41 Bab 40: Dia Ingin Menolongku
42 Bab 41: Dia Menyelamatkanku Lagi
43 Bab 42: Pertimbangan
44 Bab 43: Dia Datang Bertamu
45 Bab 44: Rasa Jengkel dan Takut yang sedang Menyelimuti
46 Bab 45: Dia Menyuruhku Lembur
47 Bab 46: Makan Malam di Dini hari
48 Bab 47: Syarat yang Dipenuhi
49 Bab 48: Berunding
50 Bab 49: Bertemu Calon Mertua
51 Bab 50: Bentakan yang Menusuk
52 Bab 51: Aku Tidak Memiliki Pilihan
53 Bab 52: Cokelat Misterius
54 Bab 53: Kecewa
55 Bab 54: Dia Melampiaskan Amarahnya
56 Bab 55: Rasa Bersalah dan Terimakasih
57 Bab 56: Deal
58 Bab 57: Pernikahan
59 Bab 58: Berkemas dan Pindah
60 Bab 59: Melampiaskan Marah
61 Bab 60: Fitnah
62 Bab 61: Adaptasi
63 Bab 62: Rasa Syukur dan Menghargai
64 Bab 63: Kembali Bekerja
65 Bab 64: Ibuku Marah
66 Bab 65: Derita Fitnah
67 Bab 66: Pelaku Terungkap
68 Bab 67: Bunga yang Mendatangi Taman
69 Bab 68: Ibu Mertua Berkunjung
70 Bab 69: Pesta Perayaan Adik Ipar
71 Bab 70: Kesiangan
72 Bab 71: Cemburu
73 Bab 72: Mengandung
74 Bab 73: Saat menjadi Satu Atap
75 Bab 74: Sarapan Bersama
76 Bab 75: Selalu menjadi Tempat Salah
77 Bab 76: Mati Rasa
78 Salam dari Penulis
Episodes

Updated 78 Episodes

1
Aku adalah Milanie
2
Bab 1 Hari Pertama Mengikuti Extrakulikuler
3
Bab 2 Menghindari Pertemuan
4
Bab 3 Naik ke Menara
5
Bab 4: Persiapan Diklat
6
Bab 5: Diklat
7
Bab 6: Resmi menjadi Anggota PMR
8
Bab 7: Makan di Kantin
9
Bab 8: Peduli tapi Tak ingin dilihat
10
Bab 9: Memetik Mangga Kasturi
11
Bab 10: Sikap yang tak Biasa
12
Bab 11: Mereka menganggap hubunganku apa?
13
Bab 12: Dia Menerorku
14
BAB 13: Dia mengajakku Pergi
15
Bab 14: Mendadak menjadi Singa
16
Bab 15: Dia Cemburu pada Mereka
17
Bab 16: Bertengkar dengan diri sendiri
18
Bab 17: Rindu yang mulai melambai-lambai
19
Bab 18: Keputusanku
20
Bab 19: Kuputuskan, Aku tak memilih siapapun
21
Bab 20: Aku kabur dari Rumah
22
Bab 21: Bertemu dengannya
23
Bab 22: Bermimpi
24
Bab 23: Jawaban yang Menggantung
25
Bab 24: Menyambut Kedatangan Tamu
26
Bab 25: Mencari Pekerjaan
27
Bab 26: Hari Pertama Aku Bekerja
28
Bab 27: Ternyata Dia Bozku
29
Bab 28: Laporan Salah
30
Bab 29: Meeting
31
Bab 30: Memilih Design yang Terbaik
32
Bab 31: Design Rumah Persyaratan
33
Bab 32: Menyukai Pekerjaan
34
Bab 33: Akhirnya bertemu
35
Bab 34: Kustomer yang Menyebalkan
36
Bab 35: Rencananya yang Gagal
37
Bab 36: Pulang Malam
38
Bab 37: Sedikit ucapan Terimakasih
39
Bab 38: Dia Kembali
40
Bab 39: Dia Menculikku
41
Bab 40: Dia Ingin Menolongku
42
Bab 41: Dia Menyelamatkanku Lagi
43
Bab 42: Pertimbangan
44
Bab 43: Dia Datang Bertamu
45
Bab 44: Rasa Jengkel dan Takut yang sedang Menyelimuti
46
Bab 45: Dia Menyuruhku Lembur
47
Bab 46: Makan Malam di Dini hari
48
Bab 47: Syarat yang Dipenuhi
49
Bab 48: Berunding
50
Bab 49: Bertemu Calon Mertua
51
Bab 50: Bentakan yang Menusuk
52
Bab 51: Aku Tidak Memiliki Pilihan
53
Bab 52: Cokelat Misterius
54
Bab 53: Kecewa
55
Bab 54: Dia Melampiaskan Amarahnya
56
Bab 55: Rasa Bersalah dan Terimakasih
57
Bab 56: Deal
58
Bab 57: Pernikahan
59
Bab 58: Berkemas dan Pindah
60
Bab 59: Melampiaskan Marah
61
Bab 60: Fitnah
62
Bab 61: Adaptasi
63
Bab 62: Rasa Syukur dan Menghargai
64
Bab 63: Kembali Bekerja
65
Bab 64: Ibuku Marah
66
Bab 65: Derita Fitnah
67
Bab 66: Pelaku Terungkap
68
Bab 67: Bunga yang Mendatangi Taman
69
Bab 68: Ibu Mertua Berkunjung
70
Bab 69: Pesta Perayaan Adik Ipar
71
Bab 70: Kesiangan
72
Bab 71: Cemburu
73
Bab 72: Mengandung
74
Bab 73: Saat menjadi Satu Atap
75
Bab 74: Sarapan Bersama
76
Bab 75: Selalu menjadi Tempat Salah
77
Bab 76: Mati Rasa
78
Salam dari Penulis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!