Satu bulan telah berlalu.
Rayden dan Safira sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Sejak kejadian malam pertama, mereka sudah sekamar lagi, namun tak melakukan apapun. Mereka sepakat menunggu hasilnya.
Pagi ini, mereka sedang sarapan bersama.
"Mas, aku akan ke kampus, ada urusan," ucap Safira.
"Biar aku antar," ujar Rayden.
"Tidak perlu, Mas, aku tidak ingin merepotkan mu."
"Tidak, aku tidak merasa di repotkan. Dulu Hana sering sekali meminta diantar kesana kemari meski aku sedang sibuk-sibuknya."
'Hana lagi.' Safira menghela napas pelan. Namun tidak ada perasaan sedih dihatinya karena ia sudah mengetahui bahwa Rayden hanya ingin menebus kesalahannya dengan tidak melupakan Hana. Dan salah satu caranya adalah sering menyebut nama Hana.
"Ya sudah, Mas." Safira mengangguk.
Selesai sarapan, mereka pun pergi untuk mengantarkan Safira ke kampus.
Sesampainya di kampus, Safira mencium punggung tangan Rayden. Ia akan membuka pintu mobil namun Rayden menahan tangannya.
"Ada apa, Mas?" tanya Safira heran.
Rayden mendekatkan wajahnya ke Safira, lalu mencium keningnya dengan lembut.
"Hubungi aku ketika kau sudah selesai. Aku akan menjemputmu."
Wajah Safira memerah menahan malu. Hatinya bergejolak senang. Ingin rasanya ia melompat kegirangan. "Baik, Mas."
Safira hendak membuka pintu lagi. Namun Rayden kembali mencegahnya.
"Ada apa lagi, Mas?" tanya Safira yang kembali heran. 'Apa kau mau menciumku lagi?'
Tanpa menjawab, Rayden membuka pintu. Berjalan memutar, lalu membuka pintu mobil untuk Safira.
Safira merasa sangat tersanjung dengan perlakuan Rayden yang sangat manis ini.
Namun semua yang dilakukan Rayden adalah demi melihat seseorang yang sedang berada tak jauh dari mereka terbakar cemburu.
Siapa lagi kalau bukan Davin yang sedang ada keperluan dengan salah satu dosen yang merupakan temannya. Tampak sejak mobil mereka sampai, Davin langsung menyoroti. Sayang, adegan cium kening tidak dapat dilihatnya tadi.
Rayden memegang tangan Safira dengan sangat mesra. Mengusap pipinya, menimbulkan lirikan dari banyak orang yang lewat namun tak berani berbicara.
"Mas, jangan begini, malu." Safira menurunkan tangan Rayden dari pipinya.
"Memangnya kenapa? Kau kan istriku." Rayden malah menarik Safira ke dalam pelukannya. "Mau aku peluk, aku cium pun tidak jadi masalah."
"Mas, lepaskan, aku benar-benar malu."
Rayden melirik Davin yang saat ini malah berjalan ke arah mereka. Ia yakin Davin telah terbakar cemburu. Ia pun melepaskan pelukannya dari Safira.
"Mas Davin." Safira terkejut melihat keberadaan Davin di kampusnya.
"Apa kabar?" tanya Davin dengan senyuman ramah.
"Baik, Kak. Lama tidak bertemu."
"Iya, aku memang sedikit sibuk. Oh ya, Rayden, ini undangan pertunangan ku." Davin menyerahkan sebuah undangan kepada Rayden.
"Apa? Tunangan?" Rayden terkejut. Ia meraih undangan tersebut lalu membaca isinya. Di sana tertulis Davin dan Cahaya.
"Cahaya? Siapa gadis ini? Kenapa aku tidak pernah tahu? Apa dia orang yang dijodohkan denganmu?"
"Tidak, dia benar-benar kekasihku. Datanglah, tidak banyak yang aku undang, hanya keluarga dan teman-teman dekat saja."
"Tapi ini buru-buru sekali. Maksud ku tidak mungkin kau punya kekasih secepat itu." Rayden masih tidak percaya.
"Terserah, itu juga bukan urusanmu. Jika mau datang saja, jika tidak, ya sudah, itu masalahmu." Menoleh ke arah Safira. "Aku pergi dulu, ya, Safira." Davin tersenyum lalu pergi meninggalkan mereka.
Rayden mengepal erat tangannya. Jadi yang ia lakukan tadi hanya sebuah kesia-siaan. Davin sudah memiliki kekasih. Ia jadi merasa bersalah karena telah memberikan perlakuan palsu pada Safira.
"Wah, tidak menyangka Mas Davin sudah menemukan jodohnya." Safira tersenyum.
"Kau tidak sedih?" tanya Rayden.
"Untuk apa aku sedih? Aku harusnya bahagia, dia juga saudara ku sekarang."
"Bukankah dulu kau mencintainya?"
Safira terkejut dengan ucapan Rayden.
"Mas, aku harus segera masuk."
"Ya sudah, jangan lupa kabari aku, ya."
Setelah Safira pergi, Rayden pun masuk ke dalam mobil, lalu pergi.
Tampak sepasang mata yang sedari tadi mengawasinya tengah menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan kekecewaan.
*****
Safira baru saja selesai dengan urusannya. Ia hendak menelepon Rayden, namun seseorang menghampirinya.
"Permisi, maaf, aku ingin tanya, apakah ini Universitas A?" tanya seorang gadis cantik berkacamata.
"Bukan, ini Universitas F. Kalau Universitas A masih lima belas menit lagi dari sini." Safira menjelaskan. 'Apa dia tidak bisa membaca nama Universitas ini di gerbang masuk terpampang jelas dengan ukuran besar,' batinnya.
"Maaf, kacamata ku tadi terkena minuman, sehingga aku tidak bisa melihat tulisan dengan jelas," terang gadis itu.
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku antarkan saja. Karena kau harus menaiki angkutan umum lagi dari sini. Takutnya salah naik angkutan." Safira menawarkan.
"Apa tidak merepotkan?"
"Tidak, aku masih punya waktu. Ayo, kita naik taksi saja."
"Terima kasih,,,,,,"
"Safira, namaku Safira."
"Aku Wulandari. Panggil saja Wulan."
"Baiklah, Wulan, ayo kita pergi."
Mereka pun pergi ke alamat kampus yang dimaksud Wulan dengan taksi.
"Oh ya, apa kau baru di sini?" tanya Safira.
"Iya, aku baru kembali dari Kota B."
"Apa kau mahasiswa transfer?"
"Tidak, aku hanya ada perlu dengan saudara ku yang merupakan dosen di sana. Tadi aku sudah menghubunginya. Karena ia tidak bisa menjemput, makanya aku yang datang ke sana."
"Oh, tapi tidak baik jika seorang wanita sendirian di kota sebesar ini. Apalagi kau baru datang dari kota lain." Safira mengingatkan.
"Aku ke sini hanya untuk menemui kekasihku. Katanya dia sudah menikah, jadi aku ingin meminta sesuatu yang pernah aku titipkan padanya."
Safira menatap iba pada gadis itu. "Yang sabar, ya."
"Terima kasih, salahku juga karena meninggalkan dirinya terlalu lama, sehingga ia dipaksa menikah dengan pilihan orang tuanya."
"Itu semua sudah takdir. Aku yakin kau akan menemukan seseorang yang lebih baik darinya."
Wulan mengangguk dan tersenyum.
Mereka pun sampai di kampus tersebut.
"Ini Universitasnya," ucap Safira.
"Terima kasih, Safira." Wulan tersenyum. "Bolehkah aku meminta nomor ponselmu? Aku ingin membalas kebaikan mu dengan mentraktir makan jika kau ada waktu."
"Tidak perlu, aku ikhlas menolongmu."
"Kalau begitu bolehkah aku minta nomor ponsel mu saja? Aku belum punya teman di sini."
"Tentu." Safira pun memberikan nomor ponselnya pada Wulan, dan mereka pun berpisah.
Safira kembali ke kampusnya dan mengabari Rayden. Ia sengaja kembali karena tak ingin mendapatkan banyak pertanyaan dari Rayden kenapa ia bisa ada di sana.
Setengah jam kemudian, Rayden datang dan menjemputnya. Sepasang mata itu kembali mengawasi mereka. Tak membiarkan sedetikpun melepas pengawasan kepada mereka.
Hingga saat mobil mereka sudah pergi, orang yang mengawasi mereka pun pergi entah kemana.
"Safira, kita ke kantor dulu, ya. Aku harus melakukan meeting bersama Kaysan."
"Iya, Mas. Jika kau masih repot, seharusnya tidak perlu menjemput ku. Aku tidak enak jika terus,,,,,"
"Kau tidak akan pernah merepotkan ku, Hana."
Hana? Lagi-lagi nama itu yang keluar dari mulut Rayden.
"Kenapa nama Hana yang terus keluar dari mulut mu, Mas. Apa kau sengaja ingin menyakiti hatiku."
"Safira, bukan begitu. Maafkan aku."
"Sebenarnya dosa apa yang kau lakukan padanya sehingga kau jadi begini, Mas? Jika kau mencintainya, kenapa aku tidak pernah melihat kau pergi ke makamnya. Cinta seperti apa yang terus mengungkit orang yang sudah tiada? Dia itu sudah meninggal, dan kau tidak akan pernah bertemu dengannya lagi."
"Cukup Safira!!!" Rayden menghentikan laju mobil dan menepi di pinggir jalan.
Safira terkejut karena baru saja Rayden membentaknya.
"Masalahku, tidak ada hubungannya denganmu. Jadi, sebaiknya kau jangan ikut campur!" Rayden menatap Safira dengan perasaan sangat kesal.
"Kenapa kau membentakku? Kau sama sekali tidak menghargai perasaan ku, Mas. Aku selalu saja menjadi bayang-bayang Hana. Apa kau kira hatiku tidak sakit saat kau menyebut namanya." Safira menatap Rayden dengan tatapan penuh kekecewaan.
"Perlu aku ingatkan, bahwa kau yang memilih masuk ke dalam hidupku."
"Itu karena aku terpaksa! Menurutmu apa yang akan terjadi jika perusahaan orang tuaku kembali bermasalah? Mereka akan menjodohkanku dengan pria kaya tak peduli dia pria tua beristri yang doyan wanita! Apa kau kira aku mau menerima rasa sakit ini?" Kini air mata Safira jatuh berlinang.
"Mana ada orang tua sekejam itu." Rayden membantah.
"Jadi kau kira aku berbohong, Mas?"
"Ya, tentu saja, pasti kau berbohong! Kau menikah denganku demi harta, kan? Sehingga ingin punya anak agar hidupmu terjamin sampai seterusnya. Aku sudah menduga bahwa kau wanita yang hanya mengejar harta saja!"
Plakkk
Sebuah tamparan mendarat di pipi Rayden. Safira menatapnya dengan penuh kekecewaan.
"Jadi itu tanggapan mu tentangku. Kau berpikir aku wanita gila harta? Cukup, Mas! Jika kau ingin kita berpisah, silakan saja! Aku tidak peduli lagi padamu! Mencintai dirimu hanyalah sebuah kebodohan!" Safira turun dari mobil.
Ia menyetop taksi, lalu pergi dengan tangis kesedihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
good job, Safira ..
Neng Gemoy suka gaya mu ...
lanjutkaaaann ... 👍👍
2023-08-22
0
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
akhirnya Safira jujur juga ttg masalah nya ....
gitu donk Fir ...
biar Rayden juga tau kalo kamu tuh juga terpaksa menerima perjodohan dulu itu ...
biar Rayden juga mikir ...
biar Rayden gak menilai kamu sbg gadis matre ..
biar Rayden ..
biar Rayden ...
dst nya ...
🤭🤭🤭🤭
2023-08-22
0
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
Clarissa ?
awas ya, jangan coba2 jabatan Safira .. 😠
2023-08-22
0