Pelajaran

Safira sedang berkutat dengan peralatan dapur. Sebenarnya, ada beberapa pelayan yang ingin membantunya. Namun, kesederhanaan Safira membuatnya merasa tidak enak. Apalagi menu yang ia masak sangatlah sederhana, yakni daun singkong, sambal terasi, serta tempe dan tahu.

Beberapa pelayan khusus memasak terlihat heran dengan menu yang Safira buat. Namun, ada juga yang mengetahui kelezatan dari makanan itu jika dicampur dalam satu suapan.

Safira sudah selesai memasak. Ia pun langsung memakan hidangan yang sangat disukainya itu. Pengalamannya yang lama tinggal di kampung dengan neneknya saat menyegarkan diri setelah kecelakaan, membuatnya tak asing dengan makanan seperti itu. Lidahnya terasa menyatu dengan setiap rasa dan kelezatannya.

Dengan menggunakan tangan, Safira makan dengan sangat lahap. Tak memperdulikan tatapan heran dari para pelayan karena rasa lapar telah menguasai dirinya.

"Apa makanan itu sangat enak?" tanya seorang pelayan kepada pelayan lain.

"Tanyakan saja pada Nona."

"Emmm, ini enak sekali," ucap Safira ditengah-tengah kunyahannya.

"Nona, biasanya makanan seperti ini akan lebih nikmat jika dicampur ikan asin. Apakah Nona ingin saya menggorengnya?" tawar salah seorang pelayan.

"Tidak, jangan. Aku tahu Tuan kalian pasti akan terganggu dengan aromanya. Ini saja sudah cukup." Safira tersenyum lembut.

"Baik, Nona. Lain kali, jika Nona ingin makanan seperti ini, katakan saja pada kami. Kami akan mencarinya lagi."

"Tidak, cukup kali ini saja. Aku melihat kalian kesusahan mendapatkan daun singkong ini, aku tidak akan merepotkan kalian lagi." Safira kembali tersenyum, lalu melanjutkan makannya.

Setelah selesai makan, ia pun bergegas mencuci tangannya sampai bersih agar tak meninggalkan bau yang sudah pasti tidak akan Rayden sukai.

Rayden baru saja menuruni anak tangga. Ia melihat Safira yang tengah duduk di ruang keluarga. Ia baru saja selesai membaca Alquran mini miliknya.

"Jika kau ingin yang besar, aku dapat membelinya," ucap Rayden sembari mendudukkan dirinya ke atas sofa.

"Terima kasih, Mas. Kalau yang besar aku punya. Akan dibawa sekalian mengambil barang-barang di rumahku, aku sudah berpesan kepada mama dan papa."

Rayden hanya mengangguk mengerti.

"Katakan apa saja kebutuhanmu yang tidak ada di sini. Aku akan memenuhi semuanya."

"Ini semua lebih dari cukup, Mas."

"Kalau Hana pasti akan bilang ini dan itu. Dia memang sangat cerewet dan manja." Lagi-lagi Rayden tersenyum menatap langit-langit ruangan itu.

Safira hanya tersenyum menanggapinya. Rasanya percuma jika terus memendam perih setiap kali Rayden bercerita tentang Hana. Ia pun memilih untuk mengabaikan perasaan kecewanya meski itu akan sangat menyakitkan.

"Jika Hana masih ada, tentu saat ini dia sedang repot mengatur dekorasi untuk rumah ini." Rayden menambahkan.

"Tidak baik mengungkit kepergian seseorang, kasihan dia yang sudah tenang di sana. Dengan Mas yang terus mengungkit dirinya, itu menunjukkan bahwa Mas belum bisa mengikhlaskan kepergiannya." Safira berusaha mengingatkan.

"Maaf, tapi dengan mengenangnya, aku akan tetap bisa mengingatnya dan cinta kami yang sangat indah."

"Jika kau ingin mengingatnya dan menunjukkan rasa cintamu, berdoalah, sedekahlah untuk dirinya, itu lebih baik daripada mengungkit dirinya dengan perasaan menyesal karena dia telah tiada."

Mendengar ucapan Safira, Rayden menjadi tersinggung. "Sekarang kau menceramahi ku. Seolah kau yang paling benar."

"Maafkan aku, Mas." Safira memilih mengalah saja. Tidak akan ada habisnya berdebat dengan orang yang masih terjebak dalam cinta masa lalunya. Semua yang orang katakan akan selalu salah baginya.

"Sampai berapa lama masa cutimu?"

Safira menatap ke langit-langit ruangan itu. Mencoba mengingat soal cutinya.

"Sepertinya satu minggu, Mas."

"Itu waktu yang cukup untuk pergi."

"Pergi kemana, Mas?" Safira menatap heran.

"Bulan madu." Rayden menunjukkan tiket yang merupakan kado dari orang tuanya, yaitu liburan ke luar negeri, tepatnya di Amerika.

"Apa?" Mata Safira membeliak saat melihat tiket bulan madu itu.

"Kenapa terkejut. Kita hanya akan liburan. Kita tidak akan benar-benar berbulan madu."

Safira menetralkan ekspresi wajahnya. "Iya, Mas."

"Mereka benar-benar menyangka kita akan melakukannya." Rayden tertawa kecil. "Mereka hanya tidak tahu, bahwa sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyentuhmu."

"Jadi, kau tidak ingin memiliki anak, Mas?" 

"Aku akan memiliki anak hanya dari Hana saja."

"Jangan membual, Mas. Hana sudah tiada, jangan membicarakan hal yang tidak mungkin."

"Kalau begitu, aku tidak akan mau memiliki anak."

"Tapi, apa kau tidak takut kata orang nanti? Apalagi kata keluarga mu. Pernikahan seperti apa ini?"

"Kenapa kau yang menuntut sekarang? Apa kau sangat ingin aku sentuh?" Rayden mendekatkan wajahnya ke Safira. Membuat Safira memundurkan tubuhnya.

"Bu,,,bukan begitu, Mas. Hanya saja, cara berpikir mu sangat aneh."

"Aneh katamu?" Rayden menyunggingkan senyuman. "Kenapa aneh? Aku hanya tidak mau menyentuh mu, dan kau bilang aku aneh?"

"Tentu saja aneh, seperti pria tidak normal." Safira langsung menutup mulut setelah mengatakannya. "Ma,,,maaf, Mas, aku tidak sengaja mengatakannya."

Rayden yang terbakar emosi pun langsung menarik tangan Safira, menggendongnya secara terbalik di bahu seperti seorang penculik.

"Mas! Mas, maafkan aku! Lepaskan, Mas!" Safira berteriak sambil melepaskan diri dari Rayden. Namun sayang, tenaga Rayden sangat kuat. Terlebih lagi, saat ini, ia dalam keadaan emosi.

Para pelayan yang melihatnya hanya bisa diam. Itu adalah permasalahan suami dan istri, mereka tidak berhak ikut campur.

Rayden menaiki lift menuju lantai kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar, Rayden langsung menurunkan tubuh Safira ke atas ranjang dengan posisi telentang. Safira berusaha bangkit, namun, dalam sepersekian detik, tubuh Rayden sudah berada di atasnya.

"Kau bilang aku tidak normal? Baiklah, mari kita buktikan bahwa perkataan mu itu salah." Rayden pun menarik jilbab instan yang menutupi kepala Safira, lalu meletakkannya di atas nakas.

Terlihatlah rambut hitam berkialau yang lembut dan wangi. Kecantikan Safira semakin bertambah. "Ternyata kau cantik juga, ya." Rayden kembali menyunggihkan senyumannya.

"Mas! Ingat siapa dirimu, Mas!" Safira terus berteriak sembari memukul-mukul dada Rayden yang semakin merapat ke tubuhnya.

Rayden memegang kedua tangan Safira dengan satu tangannya. Ia menatap Safira dengan begitu tajam. "Apa kau lupa, jika istri tidak boleh menolak keinginan suaminya?"

Safira langsung terdiam setelah mendengar ucapan Rayden. Tangannya tak lagi bergerak. Ia menatap Rayden dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan melakukan tugasku, tapi bukan dengan cara seperti ini. Tidak dengan emosi, atau dendam. Hanya dengan cinta."

"Cinta? Hahaha! Cinta itu tidak nyata, Safira. Jangan mudah terlena, atau kau akan berakhir seperti diriku."

"Mas, kendalikan dirimu!"

"Kendalikan? Mana bisa aku mengendalikan melihat wajah tubuh istriku sebagus ini." Rayden mulai membuka kancing kemeja Safira. 

Safira yang tak bisa menolak, hanya bisa pasrah ketika tangan Rayden mulai menyusup dibalik kemeja yang sudah terbuka beberapa kancing.

Isak tangisnya pun mulai terdengar saat tangan Rayden berhasil menyusup lebih dalam lagi di area sensitifnya.

Tubuhnya menggelinjang saat merasakan tangan Rayden merem@s dadanya. Memberikan sensasi geli bercampur nikmat. Hampir Safira terlena dengan permainan tangan Rayden.

"Mas, maafkan aku. Aku percaya bahwa kau pria normal. Aku tidak akan menuntut hakku sebagai istri, aku janji." Safira menatap Rayden yang terlihat mulai terbawa nafsu akan permainannya sendiri.

"Aku tidak percaya!" Rayden merobek paksa kemeja Safira hingga sisa kancing kemejanya terlepas semua. Memperlihatkan tubuh indah yang hanya berbalut bra saja. Sungguh ini menyakitkan baginya. Air matanya terus mengalir membasahi pelipis matanya.

Rayden yang semula menikmati bagian atas tubuh Safira langsung menghentikan aksinya. Ia tidak mau hal ini membuatnya kebablasan. Bagaimana pun, Rayden adalah pria normal. Tadinya ia hanya ingin memberikan pelajaran pada Safira, namun, tubuh Safira hampir membuatnya lupa diri.

Rayden berdiri sembari membetulkan kemeja miliknya. Ia tak menatap Safira yang kini langsung menutupi tubuhnya dengan selimut sembari menangis.

"Ini hanya peringatan awal saja. Jika kau berani mengatakan hal ini lagi, maka aku akan melakukannya hingga tuntas. Apa kau mengerti?"

"Aku mengerti, Mas, aku berjanji untuk menjaga ucapkan ku kedepannya," ucap Safira disela isak tangisnya.

Setelah mengatakan hal itu, Rayden pun pergi dari kamar tersebut. Menyisakan Safira yang masih menangis karena perbuatan Rayden barusan. Rayden suaminya, tapi ia merasa akan diperkosa.

Rayden pergi ke ruang kerjanya. Ia memukul-mukul kepalanya. "Dasar bodoh! Kenapa aku malah melakukan hal itu pada Safira. Aku hampir saja mengingkari janjiku pada Hana."

Terpopuler

Comments

⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️

⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️

makan tuh janji sama Hana ... 🤪
kamu aja sebenernya udah tergoda .. barti sudah "berkhianat" ... koq ya tetep gak sadar diri ya ...
itulah ciri2 orang sombong, Ray 🤪

2023-08-22

0

⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️

⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️

orang kek Rayden lama2 bisa g!l4 sendiri ......
sebenernya kesian ... selalu mengungkit memory yg bikin dirinya sakit sendiri krn semua cuma semu ...

2023-08-22

0

Yuli maelany

Yuli maelany

sebenarnya wanita seperti apa sih Hana tuh .....

apa seistimewa itu sampai rayden tergila-gila dan rela menyakiti wanita seperti Safira.....

2023-02-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!