Tiba waktunya Jumini bertemu suami dan kedua orang tuanya, setelah seminggu dalam perawatan dokter, serta campur tangan Psikolog Suciyati. Selama seminggu pula ia tak mau dikunjungi orang orang yang disayanginya itu.
Rasa tersiksa jelas sangat membuat batinnya sakit. Rindu ingin memeluk orang orang yang disayanginya. Tapi, tak sanggup berhadapan dengan mereka setelah apa yang terjadi.
Ternyata niat untuk membuat kejutan pada suami berakhir di kantor polisi. Semua salahnya. Ternyata cantik tak membuat sang suami tergetar hatinya.
Belum lagi telah mencipta duka nestapa beberapa hari pada kedua orang tuanya. Beberapa hari emak dan bapaknya menderita. Mengira dirinya telah teraniayah.
Rasa sakit tamparan serta caci maki mereka, tak sepadan dengan rasa duka mendalam emak dan bapaknya atas hilangnya anak kandung mereka.
Kini ia harus berhadapan dengan orang orang tersayang itu. Sangat berat sebenarnya. Tapi realita memang harus dihadapi. Beban mental yang dipikulnya beberapa hari ini, berangsur mengipas, hingga semalam ia merasa sanggup untuk menuntaskan keraguannya bertemu mereka.
Dokter sudah menyatakan fisiknya sehat sejak dua hari lalu. Maka dinyatakan sudah bisa meninggalkan rumah sakit.
Tapi psikisnya belum puluh betul. Maka ia perlu untuk berdiam diri dan merenung. Psikolog Suciyati sebagai pendamping untuk pemulihan mental dan pikirannya terus menerus memberikan dorongan untuk dirinya. Sehingga dicapai kata sepakat pagi ini.
"Saya sudah siap pulang," ujar Jumini dengan tenang dan sinar mata penuh percaya diri.
Suciyati tersenyum menanggapi ucapan Jumini.
"Oke, mulai dengan babak baru untuk melanjutkan babak kehidupan yang sesungguhnya,"angguk Suciyati.
"Ya,"
"Semangat,"
"Semangat," tersenyum Jumini dengan wajah tak lagi murung seperti sebelumnya, walau tak bisa juga dikatakan ceriah.
Karena sesungguhnya dibalik semangat dan keberaniannya untuk bertemu mereka, tersembunyi cemas.
"Baiklah, memang hanya diri kita sendiri yang bisa membawa keluar dari beban pikiran berat. Saya hanya bersifat menguatkan dan sebagai pendamping. Jika Anda ingin meneruskan hidup Anda tanpa takut menghadapi kenyataan itu luar biasa. Takut hanya ada dalam pikiran Anda. Cemas tercipta pada perasaan Anda. Jika semua bisa disingkirkan itu adalah modal untuk meniti jalan terjal di hadapan kita," lembut Suciyati meraih tangan Jumini.
Jumini mengangguk tersenyum, "Terima kasih atas semangat yang diberikan pada saya,"
Kedua perempuan itu saling berpelukan. "Kuat, ya," bisik Suciyati.
"Ya," angguk Jumini.
*
Pagi ini di rumah Dahlan terlihat seperti akan menerima kedatangan tamu istimewa. Ruang tamu berhias bunga mawar warna putih kesukaan Jumini. Di atas meja ruang tamu terdapat vas Bunga memandang yang berisi rangkaian Bunga mawar putih.
Bukan mawar putih dari negeri. Tapi mawar putih asli tahanan lokal, yang kesehariannya ditanam Jumini di kampung halamannya dulu. Mawar putih lokal dengan semerbak wanginya, lebih menawan hatinya dari mawar Import yang memiliki tekstur kelopak terlihat lebih kuat.
Di sudut ruangan Dahlan menaruh beberapa tangkai Bunga mawar putih pada sebuah guci. Empat sudut ruangan dihias mawar putih. Di atas meja ruang terdapat vas memanjang yang berisi rangkaian mawar putih.
Hal ini mengingatkan Dahlan pada hari pernikahan mereka dua tahun lalu. Dimana semua ruangan gedung, langit langit ruangan bertabur mawar putih. Karena mawar putih yang dipergunakan mawar putih lokal, ada beberapa kelopak mawar yang terlepas, dan jatuh di pelaminan mereka, bahkan di pakaian para tamu.
Jumini memang menginginkan sensasi demikian. Beberapa lembar kelopak mawar akan terlepas, dan beterbangan di ruangan, yang akhirnya terjatuh dan singgah di beberapa tempat dalam suasana berlangsungnya pesta pernikahan.
"Dahlan," tangan Narsia menepuk pelan lengan menantunya.
"Ya, Mak,"
"Kamu sudah siap menerima Jumi?"
"Ya siap, Mak," angguk Dahlan, "Yang tak siap kan si Jumi, Mak," lanjutnya, walau tak urung hatinya ketar ketir juga berhadapan dengan istrinya yang telah diitimidasinya beberapa hari di kantor polisi
Zainal mendekat. Lelaki Lima puluh tahun lebih itu juga mengalami goncangan batin. Betapa tidak, ia sudah menuduh dan mengamuk pada anaknya sendiri
"Jika hatimu Ikhlas terima kasih bisa menerima Jumi kembali, Lan," ujar Zainal.
"Ikhlas, saya akan usahakan itu," jujur Dahlan berkata apa adanya jika hatinya sebenarnya masih bingung berhadapan dengan istrinya yang berada dalam wajah cantik perempuan asing.
Zainal saling tatap dengan Narsia. Mereka harus belajar untuk terbiasa berhadapan dan memperlakukan putri mereka seperti dulu, seperti saat Jumini masih berwajah asli. Walau jelas rasa canggung pada mulanya akan mengganggu sikap dan kebersamaan mereka. Tapi dengan seiring waktu berharap mereka bisa terbiasa dengan wajah perempuan asing pada Jumini.
Berangkatlah mereka ke rumah sakit untuk menjemput Jumini. Sepanjang jalan di dalam mobil mereka tak bersuara. Saling berdiam diri. Membisu untuk mengatur perasaan supaya jika pertemuan terjadi nanti tak ada goncangan di dada.
Setelah menyelesaikan biaya administrasi, maka mereka pun menjemput Jumi ke ruangan rawat perempuan itu.
Jumini berdiri di hadapan Dahlan dan Zainal serta Narsia. Perempuan cantik menawan yang mengenakan gaun merah muda itu didampingi dua perawat dari rumah sakit.
Dahlan menatap lekat Jumini, begitu pun Zainal dan Narsia. Mereka menyambut Jumini di teras rumah dengan sedikit tegang tergambar di raut muka masing masing, walau sudah diupayakan sesantai mungkin.
Dahlan perlahan maju lebih mendekat pada Jumi yang berdiri terpaku dengan dada berdebar.
Dua suster yang mendampingi Jumini secara bersamaan mundur ke belakang beberapa langkah. Sehingga kini suami istri itu berhadapan berdua saja.
"Aku harus tenang, aku tak boleh hilang kendali. Aku harus percaya diri bahwa aku tetap Jumini yang dulu ..." Batin Jumini berusaha untuk memberikan dorongan pada dirinya sendiri, maka sikapnya pun tetap tenang, bahkan ia berusaha rilek seakan kini pada wujudnya adalah Jumini yang dulu.
"Aku harus membayangkan perempuan cantik ini adalah Jumiku yang dulu. Jumiku yang sederhana, tapi manis dan pujaan hatiku. Bismillah bisa ..." Harap hati Dahlan.
Sedangkan Zainal yang berdampingan dengan Narsia memandang dari tempat mereka berdiri. Mereka pun sudah pasrah, dan berusaha membayangkan perempuan cantik yang menutup wajah asli putrinya itu tetaplah Jumi tersayang yang dulu. Walau tak urung dalam dada mereka bergolak dahsyat
Dahlan menatap lekat Jumi. Dalam pandangannya bergantian antara wajah asli Jumini dan wajah Korea istrinya sekarang.
"Ya Tuhan kuatkan hati hamba untuk dapat menerima wajah baru istri hamba ..." Bisik hati Dahlan lekat menatap wajah cantik di depannya.
Jumini sendiri berusaha kuat dan memang harus kuat menghadapi situasi yang telah ia ciptakan sendiri.
Beberapa detik suami istri itu saling tatap. Dan Jumini perlahan tersenyum. Senyum yang sungguh menawan dalam kecantikannya yang nyaris sempurna itu.
Dahlan tersentak menatap Jumini yang tersenyum. Ia merasa sedang berhadapan dengan perempuan cantik yang tak dikenalnya. Mukanya yang semula sudah bisa menampilkan ekspresi tenang tiba tiba tegang.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments